Sekitar ratusan rakyat miskin
Seri Artikel: Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
PENGANTAR
Setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Pada dasarnya, manusia diciptakan dalam kelompok ras atau etnis yang berbeda-beda yang merupakan hak absolut dan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian dari ras atau etnis tertentu. Adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antar-kelompok ras dan etnis dalam masyarakat dan negara. Kondisi masyarakat Indonesia, yang berdimensi majemuk dalam berbagai sendi kehidupan, seperti budaya, agama, ras dan etnis, berpotensi menimbulkan konflik. Ciri budaya gotong royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku musyawarah/mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya konflik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis. Kerusuhan rasial yang pernah terjadi menunjukkan bahwa di Indonesia sebagian warga negara masih terdapat adanya diskriminasi atas dasar ras dan etnis, misalnya, diskriminasi dalam dunia kerja atau dalam kehidupan sosial ekonomi.
Di Indonesia pernah dan sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan dan pembunuhan. Umumnya dulu sering terjadi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, salah satunya ialah Peristiwa 13-15 Mei 1998, namun demikian juga sering terjadi pada etnis lainnya. Tercatat beberapa konflik etnis yang memakan banyak korban antara lain menimpa etnis Dayak, Madura, Buton, Bugis, Makassar, Betawi, beberapa suku di Papua, NTT, Ambon/Maluku, suku Jawa yang tinggal di Aceh dan sebagainya. Rasialisme ini tidak selalu muncul dalam bentrok fisik yang bersifat massal. Kebanyakan justru muncul dalam situasi keseharian hidup masyarakat. Diskriminasi, misalnya penerimaan pekerja hanya dari etnis tertentu, tidak boleh menggunakan jilbab ketika bekerja (Kasus rumah sakit Mitra Keluarga di Bekasi, Jawa Barat), dan sebagainya. Disadari atau tidak praktek gejala awal diskriminasi hadir dan terus ada di negara ini. Sebagai contoh sampai saat ini ada aturan tidak tertulis mengenai pembagian lapak kerja di pasar-pasar pusat perdagangan di Indonesia yang dibagi berdasarkan ras atau etnis tertentu, yakni lapak yang ditempati pedagang dari sumatera utara, lapak yang mayoritas ditempati pedagang Minang, seperti halnya di Blok M, Pasar Tanah Abang, Pasar Senen, dan sebagainya. “Jasa keamanan” pun masih menggunakan kelompok etnis, yang umumnya dari Betawi (misalnya Forum Betawi Rempug), Ambon, Timor, dan Batak.
Konflik yang sering terjadi muncul karena adanya ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan. Konflik di atas tidak hanya merugikan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat konflik tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat pembangunan nasional yang sedang berlangsung. Hal itu juga mengganggu hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian dan keamanan di dalam suatu negara serta menghambat hubungan persahabatan antarbangsa.
Dalam sejarah kehidupan manusia, diskriminasi ras dan etnis telah mengakibatkan keresahan, perpecahan serta kekerasan fisik, mental, dan sosial yang semua itu merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Untuk mengatasi hal itu, lahirlah Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa melalui Resolusi Majelis Umum PBB 2106 A (XX) tanggal 21 Desember 1965. Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965). Selain meratifikasi, Indonesia juga mempunyai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang tercermin dalam sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi ras dan etnis. Oleh sebab itulah, kehadiran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yang disahkan di Jakarta, 10 November 2008 diharapkan sebagai salah satu ‘tools’ untuk upaya rekonsialisasi kehidupan berbangsa dan bernegara serta menatap masa depan yang lebih baik dan sejarah sebagai sebuah ‘nation’.
DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS
Diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pengertian ras sendiri adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan, dan etnis adalah adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan. Sedangkan yang dimaksud Tindakan Diskriminasi adalah perbuatan yang berkenaan dengan diskriminasi ras dan etnis. Tindakan ini dapat berupa:
a. Memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau
b. Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:
1) membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;
2) berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
3) mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau
4) melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.
Jenis "hak-hak sipil", antara lain hak untuk:
1. Bebas berpergian dan berpindah tempat dan berdomisili dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia;
2. Meninggalkan dan kembali ke wilayah negara kesatuan Republik Indonesia;
3. Mempertahankan kewarganegaraan;
4. Membentuk keluarga, memilih pasangan hidup dan melanjutkan keturunan;
5. Memiliki harta milik atas nama sendiri maupun bersama dengan orang lain;
6. Berpikir, berperasaan, berekspresi dan mengeluarkan pendapat dengan bebas;
7. Menggunakan bahasa apa pun dengan bebas;
8. Berkumpul dan berserikat dengan bebas dan damai; dan
9. Mendapatkan informasi.
Jenis "hak-hak politik", antara lain hak untuk:
1. Mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum, lembaga peradilan dan badan-badan administrasi publik lainnya;
2. Mendapat rasa aman dan perlindungan dari negara terhadap kekerasan ras dan etnis baik kekerasan fisik, sosial maupun psikis baik disebabkan oleh aparatur pemerintah atau oleh perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi tertentu;
3. Berpartisipasi dalam pemerintahan sebagaimana dalam kegiatan publik pada tingkat apa pun; dan Berpartisipasi dalam bela negara.
Jenis "hak-hak ekonomi", antara lain hak untuk:
1. Berusaha mencari penghidupan yang layak di seluruh wilayah negara Indonesia;
2. Bekerja, memilih pekerjaan, memiliki kondisi kerja yang adil dan diinginkan;
3. Mendapat gaji yang pantas sesuai dengan pekerjaan dan sistem penggajian;
4. Membentuk dan menjadi anggota dari serikat pekerja;
5. Memperoleh perlindungan terhadap pengangguran; dan
6. Memiliki perumahan.
Jenis "hak-hak sosial dan budaya", antara lain hak untuk:
1. Memperoleh pelayanan kesehatan, pengobatan, jaminan sosial dan pelayanan-pelayanan sosial lainnya;
2. Memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama atas segala bentuk pelayanan umum;
3. Memperoleh kesempatan dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa budaya, sosial, dan ekonomi;
4. Memperoleh kesempatan yang sama untuk mengekspresikan budayanya;
5. Menikmati, mendapatkan dan memperoleh jaminan atas terselenggaranya pendidikan dan pelatihan yang bertujuan untuk mencerdaskan dan/atau menambah keterampilannya, tanpa membedakan ras dan etnis; dan
6. Menyelenggarakan pendidikan tanpa memperhatikan ciri khas ras dan etnisnya.
Untuk lebih jelas dan lengkap mengenai jenis hak dan bentuknya dapat dibaca pada UUD 1945; UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovensi Internasional Hak Sipil dan Politik; dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
PELAKU DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS
Pelaku dalam hal ini bisa terdiri dari orang sebagai pribadi hukum (orang perseorangan) maupun orang sebagai badan hukum, baik publik maupun swasta (korporasi). Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik yang merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
PENGAWASAN PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS
Pengawasan terhadap segala bentuk upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. Pengawasan itu meliputi:
1. Pemantauan dan penilaian atas kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah yang dinilai berpotensi menimbulkan diskriminasi ras dan etnis;
2. Pencarian fakta dan penilaian kepada orang perseorangan, kelompok masyarakat, atau lembaga publik atau swasta yang diduga melakukan tindakan diskriminasi ras dan etnis;
3. Pemberian rekomendasi kepada pemerintah dan pemerintah daerah atas hasil pemantauan dan penilaian terhadap tindakan yang mengandung diskriminasi ras dan etnis;
4. Pemantauan dan penilaian terhadap pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyelenggaraan penghapusan diskriminasi ras dan etnis; dan
5. Pemberian rekomendasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk melakukan pengawasan kepada pemerintah yang tidak mengindahkan hasil temuan Komnas HAM.
Berdasarkan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, pengaturan lebih lanjut mengenai tatacara pengawasan ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun demikian, selain kewenangan yang diberikan oleh UU ini, Komnas HAM juga dapat menjadikan UU Nomor 39 Tahun 1999 sebagai acuan kerja terutama terkait hal-hal yang bersifat diskriminasi.
Pasal 89 ayat (3)UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM:
Untuk melakukan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan:
a. Pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
b. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau ruang lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;
c. Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;
d. Pemanggilan saksi untuk dimintai dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu dimintai menyerahkan bukti yang diperlukan;
e. Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
g. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan
h. Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebu wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
Sasaran Pengawasan Komnas HAM menurut UU PDRE adalah:
a. Kebijakan Pemerintah;
b. Orang perseorangan;
c. Kelompok masyarakat (Paguyuban Etnis, Organisasi Kemasyarakatan, dll);
d. Lembaga publik (badan dan atau lembaga yang dibentuk pemerintah atau menjalankan layanan publik yang sumber dananya dari pemerintah, BUMN dan BUMD);
e. Lembaga Swasta (perusahaan swasta, dll).
Oleh karena itu jika ada perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh si pelaku sebagaimana yang disebut pada huruf b, c, d, dan e diatas, maka dapat si korban dapat melaporkannya kepada Komnas HAM. Komnas HAM berdasarkan kewenangan yang dimilikinya dapat melakukan pencarÃan fakta dan melakukan penilaian terhadap fakta tersebut apakah telah terjadi suatu tindakan diskriminasi ras dan etnis atau tidak. Laporan yang disampaikan korban atau warga masyarakat dapat berupa keterangan dan barang bukti yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan yang bersifat diskriminasi ras dan etnis yang dilakukan.
GANTI KERUGIAN
Gugatan ganti kerugian dapat dilakukan oleh orang perorangan atau berkelompok (gugatan perwakilan/class action). Gugatan ini diajukan kepada Pengadilan Negeri terhadap diri si Tergugat, dalam hal ini adalah pelaku tindakan diskriminasi. Gugatan perwakilan (class action) adalah hak sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar:
- kesamaan permasalahan,
- fakta hukum dan
- tuntutan yang ditimbulkan karena kegiatan diskriminasi berdasarkan ras dan etnis.
KETENTUAN PIDANA
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi ras dan etnis, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Unsur penting dalam ketentuan ini adalah kesengajaan. Sehingga untuk mempidana si pelaku harus terlebih kesengajaan, yakni unsur willen en wetten (berkehendak dan mengetahui). (Pasal 15)
Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Tindakan yang dimaksud dalam ketentuan ini ialah: (Pasal 16)
1) membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;
2) berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
3) mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain.
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 4, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari masing-masing ancaman pidana maksimumnya. Sehingga jadinya: (Pasal 17)
- Perampasan nyawa yang diancam dengan Pasal 338 KUHP hukuman maksimumnya menjadi 20 tahun pidana penjara;
- Oleh karena tidak ditentukan penganiayaan jenis apa yang dimaksud dalam ketentuan ini, maka dapat ditafsirkan yang dimaksud adalah penganiayaan biasa yang diancam dengan Pasal 351 KUHP, sehingga hukuman maksimumnya menjadi 2 tahun 8 bulan atau denda paling banyak Rp 300,- ditambah 1/3 nya;
- Tindak pidana pemerkosaan diancam Pasal 285 KUHP dengan hukuman pidana penjara maksimum 16 tahun;
- Untuk perbuatan cabul sendiri dapat diancam dengan Pasal 289 dan 290 KUHP;
- Untuk pencurian dengan kekerasan diancam Pasal 365 KUHP dengan hukuman pidana penjara maksimum 12 tahun;
- Untuk perampasan kemerdekaan diancam Pasal 328 KUHP dengan hukuman pidana penjara maksimum 16 tahun.
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam pada 2 jenis tindak pidana terakhir, pelaku dapat juga dijatuhi pidana tambahan berupa restitusi atau pemulihan hak korban.
KORPORASI SEBAGAI PELAKU
Tindak pidana pada Pasal 16 dan 17 dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh: orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Oleh sebab itu, penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Dalam hal panggilan terhadap korporasi, pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurusnya.
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 16 dan 17. Selain pidana denda, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum.
MEKANISME PELAPORAN
Setiap orang berhak melaporkan terkait dugaan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis ke Komnas HAM atau pihak ke polisian untuk selanjutnya diproses dengan hukum acara pidana yang berlaku. Laporan dapat berupa surat atau keterangan tertulis dengan disertai alat bukti dan/atau barang bukti pendukung lainnya atau bisa juga datang langsung ke instansi yang terkait, yakni Komnas HAM dan Kepolisian RI.
Alamat Pelaporan:
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI
Jl. Latuharhary Nomor 4B, Menteng, Jakarta Pusat-10310, Indonesia
Telp. 62-21-3925230, faks. 62-21-3925227
e-mail: info@komnasham.go.id
www.komnasham.go.id
PENUTUP
Dengan pemberlakuan UU ini, paling tidak bisa menjadi salah satu alat yang memaksa warga negara/penduduk untuk tidak melakukan tindakan diskriminasi. Walaupun disana sini masih terdapat beberapa aturan yang belum jelas dan membutuhkan penjelasan lebih lanjut, namun upaya ini harus dihargai sebagai sebuah upaya untuk menutup masa lalu bangsa yang kelam dengan berbagai peristiwa tindakan diskriminasi ras dan etnis. Rekonsialisasi, apakah bersifat ‘paksaan’ melalui regulasi seperti ini atau bersifat sukarela melalui perjanjian damai, dllnya, harus tetap diwujudkan untuk menuju masa depan bangsa dan negara Indonesia yang lebih baik dan lebih sejahtera lagi.
No comments:
Post a Comment