Charity Fund

Bantulah Saudara-saudara kita yang menjad korban jebolnya tanggul di Situ Gintung, Tangerang, Banten-Indonesia Melalui Palang Merah Indonesia

Bantuan Bencana Umum:Bank Mandiri Cabang Wisma Baja a/c 070.00001.160.17 a/n Palang Merah Indonesia



NEWS and ARTICLES

Please read news and my articles this following :

Thursday, March 5, 2009

ICC Keluarkan Perintah Penangkapan atas Presiden Sudan

Hakim-hakim Mahkamah Kejahatan Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan atas presiden Sudan Omar al-Bashir, atas tuduhan melakukan kejahatan perang dan kejahatan atas umat manusia di Darfur.Tapi para hakim itu tidak menuduh Bashir melakukan genosida, seperti yang dituntut oleh para jaksa mahkamah internasional.Kata para hakim, ada cukup bukti untuk menangkap presiden al-Bashir atas tuduhan pembunuhan, penyiksaan, perkosaan dan sejumlah tuduhan lainnya.

Pejabat Sudan sebelumnya mengatakan tidak akan mengakui ataupun bekerja sama dengan mahkamah yang berkantor di Den Haag itu. Kata penasihat presiden Bashir, ini adalah usaha sejumlah negara asing untuk menggerogoti kestabilan pemerintah Sudan.
Keputusan mahkamah kejahatan internasional untuk menangkap Bashir itu adalah yang pertama, yang dikenakan pada seorang presiden yang masih berkuasa. Kelompok-kelompok pemberontak Darfur menyambut keputusan mahkamah itu. Kata PBB aksi-aksi kekerasan yang terjadi sejak tahun 2003 telah menewaskan 200,000 orang lebih dan mengakibatkan pengungsian lebih dari 2,5 juta penduduk.
Pendukung Omar al-Bashir melakukan unjuk rasa atas keputusan ICC, 04 Mar 2009
Dalam perkembangan lainnya, pemerintah Sudan telah mengusir sebanyak 10 badan bantuan asing, hanya beberapa jam setelah mahkamah kejahatan internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan atas presiden Omar al-Bashir.
Kata jurubicara PBB Michele Montas, para pejabat Sudan mencabut izin operasi bagi enam sampai 10 kelompok bantuan asing, dan minta supaya mereka segera keluar dari Sudan.
Wakil presiden Sudan Ali Osman Taha mengatakan, kelompok-kelompok bantuan itu diusir karena melanggar peraturan di Sudan, tapi ia tidak menjelaskan lebih lanjut.
Diantara kelompok bantuan yang diusir itu adalah Oxfam, Dokter Tanpa Tapal Batas, Care dan Save The Children. Kelompok bantuan asing itu telah memberikan bantuan penting bagi 2,5 juta pengungsi Darfur. Sekretaris-jenderal PBB Ban Ki-moon mengatakan, pengusiran badan bantuan itu bisa mengakibatkan kemunduran gawat usaha bantuan penyelamatan di kawasan itu.

[+/-] Read more...

Thursday, January 29, 2009

Pejabat China Dilarang Jalan-jalan

Kamis, 29 Januari 2009 | 13:41 WIB (www.kompas.com)
BEIJING, KAMIS — China telah memerintahkan para pejabatnya mengurangi mobil mahal dan perjalanan ke luar negeri pada tahun ini. Beijing kini sedang berusaha untuk mengatasi dampak krisis keuangan global. Hal ini dikatakan media pemerintah, Kamis (29/1).

Para pejabat juga harus berhati-hati tidak membelanjakan terlalu banyak untuk pertemuan dan resepsi, kantor berita Xinhua melaporkan dengan mengutip sumber tanpa nama di kementerian keuangan. Sementara itu, pemerintah akan memperkuat pengawasannya terhadap penggunaan uang publik dan memberantas korupsi.

Menteri Keuangan Xie Xuren mengingatkan, Senin, bahwa perekonomian menghadapi kondisi yang "sangat berat" pada tahun ini dan mengindikasikan anggaran pemerintah akan ketat karena pajak akan dipangkas untuk mengatasi penurunan perekonomian.

Pidato Menteri Keuangan itu merupakan sinyal terbaru dari kekhawatiran pejabat terhadap keadaan keuangan dan perekonomian negara ketika sejumlah masalah yang diakibatkan krisis global terus menghantam perekonomian China yang bergantung pada ekspor.

Beijing pada November mengumumkan paket stimulus 590 miliar dollar AS untuk mendorong permintaan domestik.

[+/-] Read more...

Editorial: Politicizing economic issues

The Jakarta Post | Thu, 01/29/2009 10:05 AM | Opinion
With parliamentary and presidential elections coming up in April and July respectively, we find it increasingly difficult to ascertain whether politicians or officials, when commenting on economic issues, are making fair observations or are simply campaigning for their parties.
It is understandable if officials of the incumbent government focus their public commentaries on the positive aspects of the economy, while politicians of the opposition parties tend to be extremely critical in their assessment.

Look, for example, how President Susilo Bambang Yudhoyono went all out to exploit the government-mandated fuel price cuts over the past three months for his political grandstanding, as if claiming credit for what should have been attributed to the economic downturn in developed economies.
There is nothing wrong, nor illegal, in the official emphasis on the positive multiplier of the fuel-price decrease and other positive indicators of the economy. It is also politically understandable if opposition parties emphasize the shortcomings of the incumbent government, citing the high unemployment and poverty rates.
It would, though, be damaging to the market confidence in our economic management and the credibility of government policies if inordinately optimistic forecasts by officials and members of the President’s political camp meant mainly for election grandstanding were seriously considered in policy making.
Likewise, an irrationally adversary stance on the part of the opposition parties in parliament against any law or reform proposals from the government could adversely affect our macroeconomic stability, especially now when firm and quick decisions are required to cope with the fallout from the recession in the world’s economic powerhouses.
True, our economic resilience and institutions are now much stronger than during the 1997-1998 economic and political crisis, and our dependence on exports is not as large as many other countries such as Vietnam, Thailand, Malaysia and Singapore.
But the blunt fact is our economy is suffering from the brunt of the sharp downturn in the developed countries and major emerging economies. The government can still be highly optimistic, expecting 4.5-5.5 percent economic growth this year, as against 2.75-4 percent predicted by independent analysts. But it is much better to err on the conservative side than on highly optimistic forecasts because the adjustments needed to cope with the impact of the latter error are more painful for the common people.
This is, we think, the main challenge for Finance Minister Sri Mulyani Indrawati, who is in charge of fiscal management, and Bank Indonesia Governor Boediono as the chief of the monetary management.
Since both officials do not belong to any political parties, their integrity, competence and leadership become the key to maintaining the credibility of government policies. As the leaders of the economic management they should have the courage to stand up against any demand even from the President for economic measures which seem beneficial in the short term but damaging in the long term.
The first test case will be the sorely needed amendments to the 2009 state budget. The budget revision should reflect a consistently high fiscal discipline, despite the big pump priming to cushion the impact of the global economic downturn.

[+/-] Read more...

Wednesday, January 28, 2009

Permasalahan Kegiatan Usaha Distribusi LPG terkait Antitrust Law

Dinamika perkembangan dalam sektor industri yang strategis sangat menarik dikaji berdasarkan persepsi persaingan usaha. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjadikan hal tersebut sebagai upaya untuk menilai kondisi persaingan usaha yang terdapat dalam industri tersebut terkait efisiensi. Distribusi industri Liquid Petroleum Gas (LPG) kini menjadi perhatian banyak kalangan terutama setelah dilakukannya program konversi minyak tanah ke LPG pada tahun 2007.
Di pasar, terdapat dua macam produksi LPG, yaitu LPG PSO (subsidi) tabung 3 kg dan LPG Non PSO (non subsidi) 12 kg, 50 kg, bulk. Saat ini, KPPU telah mengidentifikasi sejumlah isu penting dalam distribusi komoditi LPG, yaitu kelangkaan, penetapan harga dan terjadinya hambatan masuk bagi pelaku usaha di sektor tersebut (entry barrier).

Berdasarkan analisis KPPU, terjadinya kelangkaan terhadap ketersediaan LPG di pasaran disusul dengan mahalnya harga jenis LPG non PSO di tingkat konsumen. Isu kelangkaan muncul setelah Pertamina melakukan koreksi dengan menaikan harga LPG non PSO (12Kg) pada pertengahan tahun 2008. Di sisi lain, penetapan harga terjadi karena kedua jenis LPG telah terdapat ketentuan bahwa harga LPG PSO ditetapkan oleh pemerintah dan LPG Non PSO oleh Pertamina.
Pada prinsipnya, peluang usaha untuk industri LPG Non PSO masih sangat terbuka bagi pelaku usaha swasta. Apalagi hal tersebut dimungkinkan sesuai kebijakan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, yang pada Pasal 51 menyebutkan bahwa :
(1) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga yang melaksanakan kegiatan niaga LPG wajib memiliki atau menguasai fasilitas dan sarana penyimpanan dan pengisian tabung LPG (bottling plant).
(2) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mempunyai dan menggunakan merek dagang tertentu.
(3) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga bertanggung jawab atas standar dan mutu LPG, tabung LPG.
Hanya saja industri LPG menjadi tidak menarik bagi investor karena mereka menilai bahwa harga jual LPG yang masih dibawah harga keekonomian.
Untuk mendalami dampak kebijakan pemerintah di sektor LPG, KPPU mencermati tiga kebijakan pemerintah untuk industri LPG PSO. Tiga kebijakan tersebut adalah :
1. Peraturan Presiden (Perpres) No. 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Penetapan Harga LPG PSO. Pasal-pasal yang dicermati dalam Perpres tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 9 :
”Pemerintah menugaskan badan usaha sebagai penyedia dan pendistribusi LPG PSO, dilakukan dengan cara penunjukan langsung (apabila hanya ada satu badan usaha) dan/atau lelang.”
Pasal 11 :
”Badan Usaha penyedia dan pendistribusi LPG PSO melakukan pengawasan pelaksanaan penjualan dan pendistribusian LPG PSO”
Pasal 15 :
”Menteri melakukan pengawasan dalam pelaksanaan kegiatan penyediaan dan pendistribusian LPG PSO.”
KPPU menilai bahwa meskipun telah terdapat ketentuan sebagaimana di atas, tetapi pengawasan yg dilakukan oleh Menteri terkait masih belum jelas. Ketidakjelasan tersebut jelas tergambar pada kondisi timbulnya kelangkaan pasokan LPG.
2. Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 21 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Penyediaan dan Pendistribusian LPG PSO. Pada Pasal 5 ayat 2, memuat ketentuan persyaratan penugasan penyediaan dan pendistribusian LPG PSO sebagai berikut :
- memiliki lzin Usaha Niaga Umum LPG untuk melaksanakan penyediaan dan pendistribusian LPG PSO
- memiliki aset kilang pengolahan BBM dan LPG dalam negeri termasuk pengembangannya dalam jangka panjang
- jaminan ketersediaan pasokan
- memiliki kemampuan dalam menyediakan infrastruktur dan jaringan untuk penyediaan dan pendistribusian LPG PSO di NKRI
3. Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 1661 Tahun 2008 tentang Harga Patokan LPG PSO Tahun Anggaran 2008 adalah Kepmen yang mengatu harga patokan LPG PSO, yaitu :
- Harga Patokan ditetapkan berdasarkan Contract Price (CP) Aramco rata-rata pada periode bulan bersangkutan ditambah dengan biaya distribusi (termasuk handling) dan margin keuntungan.
- Harga patokan LPG PSO ditetapkan sebesar 141,21 % dari CP Aramco ditambah Rp 390,10/kg yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan harga untuk setiap kilogram LPG PSO
Selain menyoal kebijakan terkait, maka dalam kajian industri ini, KPPU melakukan analisis terhadap perkembangan industri dan struktur industrinya. Hasil analisis KPPU menunjukkan bahwa LPG merupakan industri yang saat ini masih terkonsentrasi dimana Pertamina berperan sebagai pelaku usaha tunggal yang mempunyai akses hulu-hilir. Padahal, sejalan dengan arah konversi energi, LPG menjadi salah satu komoditi strategis yang diperlukan masyarakat luas sebagai pengganti minyak tanah. Lebih lanjut, ternyata dalam implementasi kebijakannya kemudian terjadi beberapa permasalahan terutama setelah dilakukannya program konversi.
Kelangkaan LPG merupakan permasalahan utama. Hal ini dipicu oleh mekanisme pengawasan di sisi distribusi yg kurang memadai, infrastruktur yg terbatas dan keterbatasan pasokan LPG. Industri LPG pada prinsipnya terbuka bagi siapa saja. Hanya saja, beberapa kebijakan mengakibatkan pelaku usaha menjadi sulit untuk masuk dalam industri LPG, baik untuk LPG PSO maupun LPG Non PSO.
Harga LPG Non PSO yang masih “disubsidi” oleh Pertamina menimbulkan entry barrier bagi pelaku usaha swasta. Pertamina ingin mencapai harga keekonomiannya dengan menaikkan harga LPG PSO agar memungkinkan kondisi terbukanya pasar bagi pelaku usaha lain. Tapi, pada saat yang bersamaan pula pemerintah melakukan intervensi dengan menunda kenaikan tersebut. Hal ini memperlihatkan bahwa LPG sepenuhnya telah menjadi komoditas yang diatur dan tidak dapat diserahkan ke pasar sehingga entry barrier tetap ada.
Sementara untuk LPG PSO, kebijakan yang mensyaratkan kepemilikan kilang BBM dan LPG serta pembangunan dalam jangka panjang jelas menimbulkan entry barrier. Hal mana terjadi akibat sejumlah persyaratan wajib diberlakukan dan semakin mempersulit pelaku usaha swasta yang ingin masuk sebagai penyedia dan pendistribusi LPG PSO. Dengan fakta bahwa pasokan LPG domestik tidak mencukupi kebutuhan LPG selama ini (ketergantungan impor), maka kemudian pilihan program konversi minyak tanah ke LPG menjadi pertanyaan besar. Seharusnya pemerintah melakukan pilihan komoditi lain dengan mempertimbangkan ketersediaan pasokan domestik yang ada.
Berdasarkan evaluasi dampak kebijakan, KPPU menyampaikan rekomendasi utama terkait sektor industri LPG, agar industri ini pun dapat mengadopsi nilai “ nilai persaingan sehat”, yaitu :
1. Perlunya grand strategy perencanaan yang tepat dari pemerintah terkait dengan program konversi energi dan konsekuensinya.
Dalam hal ini, seolah-olah LPG bukan lagi merupakan komoditas yang dibebaskan ke pasar baik untuk LPG PSO dan Non PSO, sehingga dengan menahan laju harga untuk LPG Non PSO, pemerintah juga perlu konsekuen siap mensubsidi Pertamina selaku pelaku usaha murni. Apabila pemerintah telah mengambil alih peran penetapan harga, maka pemerintah perlu memikirkan bahwa tidak akan terjadi pesaing baru dalam industri LPG.
2. Perlunya pengawasan yang ketat dalam pendistribusian LPG sampai ke tingkat konsumen. Dengan demikian, maka Pemerintah harus menjamin distribusi berjalan lancar sehingga dapat menjamin ketersediaan pasokan LPG bagi konsumen akhir serta jaminan harga jual LPG di titik konsumen yang wajar.
3. Perlunya penetapan formula harga jual LPG seperti halnya untuk komoditi LPG PSO.
Berdasarkan penetapan formula tersebut maka proses penetapan harga akan menjadi transparan. Penetapan formula ini juga akan melindungi konsumen jika terjadi eksploitasi produsen dalam menetapkan excessive pricing. Formula ini baik untuk diterapkan khususnya pada produk-produk yang menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga setiap kenaikan harganya akan jelas dan transparan sebab-sebabnya.
4. Pemerintah perlu memikirkan bentuk konversi energi yang dapat dipenuhi.
Saat ini, sesuai dengan data kecenderungan impor yang terus meningkat, pemerintah perlu memikirkan bentuk konversi energi yang sumber supply-nya secara full terpenuhi di dalam negeri. Apabila LPG dianggap pemerintah sebagai energi alternatif terbaik, maka perlu adanya langkah-langkah agar tidak terjadi ketergantungan impor, dan perbaikan masalah infrastruktur agar menjamin supply LPG. Atau benar-benar mencari alternatif konversi energi lainnya seperti city gas yang didukung oleh pasokan gas alam domestik yang berlimpah.
5. Perlunya harmonisasi dengan Menteri ESDM terkait dengan beberapa kebijakan yang dapat menimbulkan entry barrier bagi pelaku usaha di industri LPG.
6. Perlu adanya monitoring terhadap potensi perilaku anti persaingan dari Pertamina selaku pelaku utama dalam industri LPG.
7. Hal ini dilakukan untuk meminimasi kelangkaan di tingkat distribusi.
Jakarta, 22 Januari 2009
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

[+/-] Read more...

Govt unveils final stimulus plan to boost economy

Aditya Suharmoko, , THE JAKARTA POST , JAKARTA | Wed, 01/28/2009 8:45 AM | Headlines
After giving conflicting figures, the government has finally set the stimulus at Rp 71.3 trillion (US$6.31 billion) to boost the economy amid the threat of crisis.
The package will include the Rp 27.5 trillion stimulus previously announced, and is higher than the figure of Rp 50 trillion touted by President Susilo Bambang Yudhoyono.
The new stimulus revolves around tax savings worth Rp 43 trillion, waived taxes and import duties for businesses and certain households, worth Rp 13.3 trillion, as well as subsidies and govern-ment spending of Rp 15 trillion for businesses.

Speaking before the House of Representatives' Commission XI, which oversees financial affairs, Finance Minister Sri Mulyani Indrawati said the stimulus was aimed at increasing people's purchasing power, the competitiveness and sturdiness of businesses facing the economic downturn, and labor-intensive infrastructure spending.
Mulyani said the stimulus "is everything that cuts costs borne by businesses and the people", when asked why the stimulus was not fully designed to support businesses.
The incentives include paying the income taxes of employees — now paid by businesses — of up to Rp 6.5 trillion, subsidizing diesel by Rp 2.8 trillion, and increasing infrastructure spending by Rp 10.2 trillion.
According to the ministry, Indonesia's Rp 71.3 trillion stimulus package accounts for 1.4 percent of the country's GDP, higher than the recently announced US stimulus, percentage-wise, which only accounts for 1.2 percent of the GDP.
The government forecasts the economy to grow between 4.5 and 5.5 percent this year, a drop from an estimated 6.2 percent in 2008.
The global downturn is affecting Indonesia’s economy on all fronts, from weakening demand for exports and slowing down flows of investment, to reducing consumer purchasing power.
Businesses have long warned that massive layoffs could hit Indonesia when the impact of the global crisis hits home the hardest some time in the middle of this year.
To achieve 5 percent economic growth, the government will boost spending by 10.4 percent from a year earlier, as private consumption, the economy's main driver, looks likely to drop this year.
Fauzi Ichsan, an economist with Standard Chartered Bank, said that in the past four years, government spending was relatively low.
"The stimulus will boost growth only if the government and local administrations can spend the money effectively," he said.
Government Rp 71.3 trillion
Economic Stimulus Package

Tax savings
• Income taxes of individuals and corporates, as well as untaxed incomes: Rp 43 trillion
Waived taxes and import duties
for businesses and certain households
• Value-added taxes on oil and gas exploration, and cooking oil: Rp 3.5 trillion
• Import duties on raw materials and capital goods: Rp 2.5 trillion
• Income taxes of employees: Rp 6.5 trillion
• Income taxes for geothermal: Rp 0.8 trillion

Subsidies and government
spending for businesses
• Diesel subsidy: Rp 2.8 trillion
• Electricity rate discount for industries:
Rp 1.4 trillion
• Additional infrastructure spending: Rp 10.2 trillion
• Expansion of development for people living in rural areas (PNPM): Rp 0.6 trillion

Source: Finance Ministry

[+/-] Read more...

Saturday, January 24, 2009

Israel Siap Hadapi Tuduhan: Bukti-bukti Kejahatan Kemanusiaan Sudah Ada

Mustafa, bocah lelaki berusia 5 tahun, Jumat (23/1), berjongkok di depan rumah orangtuanya di Bukit Jabaliya, Jabaliya Timur, Jalur Gaza, yang hancur dibom pesawat tempur Israel, F-16, pada 27 Desember 2008. Selama tiga minggu, pesawat tempur, helikopter, dan tank Israel memorakporandakan wilayah ini.
Koran Kompas,Sabtu, 24 Januari 2009 | 04:27 WIB

Oleh Trias Kuncahyono dan Mustafa Abd Rahman

GAZA CITY, JUMAT — Perdana Menteri Israel Ehud Olmert meminta Menteri Kehakiman Daniel Friedman membentuk tim untuk membela militer dan warga sipil Israel. Pemerintah bertanggung jawab penuh mengirimkan pasukan Israel untuk melindungi rakyatnya. Demikian pernyataan tertulis Pemerintah Israel, Jumat (23/1). Hingga Jumat, kehidupan di Jalur Gaza tenang tanpa letusan senjata. Warga melakukan shalat Jumat tanpa ketakutan.Di pasar utama kamp pengungsi Jebaliya, massa memadati toko-toko dan restoran yang sudah dipenuhi bahan makanan. Sebanyak 221 sekolah yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa dibuka kembali pada Sabtu ini. Israel juga membuka perbatasan dengan Jalur Gaza.Namun, hal itu tidak menutup potensi Israel didakwa melakukan kejahatan kriminal di Jalur Gaza.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon meminta pelaku serangan Kantor Badan Bantuan Sosial dan Pekerja PBB (UNRWA) di Gaza City segera ditangkap dan diadili. Lembaga Amnesti Internasional juga menyebutkan, Israel ”tidak diragukan lagi” telah menggunakan amunisi fosfor putih di kawasan permukiman padat penduduk di Gaza. Ini melanggar hukum internasional, bahkan bisa dianggap kejahatan perang. Israel bersikeras mengatakan, pasukan Israel telah berusaha semaksimal mungkin menghindari korban warga sipil di daerah yang padat penduduk. Israel justru balik menuding Hamas sengaja bersembunyi di belakang warga sipil dan memasang warga sipil sebagai tameng hidup.

Lebih kejam

Pakar hak asasi manusia untuk isu HAM di Tepi Barat dan Jalur Gaza, Richard Falk, menyatakan, sebenarnya, bukti bahwa Israel telah melakukan kejahatan perang saat menyerang Gaza selama 23 hari sudah jelas. Namun, untuk membuktikan Israel melanggar aturan hukum internasional dan melakukan kejahatan perang, diperlukan penyelidikan independen dan mendalam. Apalagi melihat fakta, Israel tidak berusaha memperbolehkan penduduk sipil menghindari serangannya. Israel justru mengunci warga sipil dalam zona perang. ”Itu jelas lebih parah dibandingkan dengan yang pernah dialami kaum Yahudi yang dibiarkan kelaparan dan dibunuh Nazi pada Perang Dunia II,” kata Falk.

Seharusnya, lanjut Falk, Israel memberikan kesempatan kepada anak-anak, orang cacat, atau warga yang sakit untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman di luar Gaza atau di Israel selatan. ”Semua penduduk di Gaza yang terperangkap di dalam zona perang tanpa diberikan kesempatan untuk mengungsi akan mengalami gangguan mental sepanjang hidupnya,” ujarnya.

Serangan Israel ke Gaza justru makin memperkuat gerakan ekstremis dan membuat warga Palestina semakin marah. Direktur UNRWA John Ging meminta utusan khusus Amerika Serikat untuk Timur Tengah yang baru ditunjuk, George Mitchell, untuk berbicara dengan penduduk sipil di Gaza yang tidak terkait dengan dunia politik sebagai bagian dari jalur diplomasi yang baru.

Penduduk sipil, menurut Ging, saat ini bukan saja masih shock dengan serangan Israel, tetapi juga semakin marah. Membuat suatu mekanisme dalam penyelidikan jumlah korban tewas dan kehancuran infrastruktur di Gaza diharapkan akan meredam kemarahan penduduk dan memperbaiki kepercayaan rakyat pada hukum. ”Semakin banyak ekstremis pasca-agresi Israel karena tak ada lagi yang percaya pada hukum dan keadilan. Kita harus dapat membuktikan itu salah,” ujarnya.

Perjalanan

Keputusan Pemerintah Mesir mengizinkan wartawan masuk ke Jalur Gaza lewat Pintu Gerbang Rafah muncul tiba-tiba, Rabu sore. Puluhan wartawan dari beberapa negara yang sudah menunggu selama tiga hari untuk memasuki Gaza segera menghambur masuk ke kantor imigrasi. Keinginan yang sudah ditahan selama tiga hari tiga malam itu meledak bagai air bah dan mendorong wartawan berebut untuk segera sampai ke bagian imigrasi. Wartawan berdesakan, berebut, dan saling dorong menyerahkan paspor dan surat keterangan dari kedutaan masing-masing ke kantor dinas intelijen dan imigrasi.

Walhasil, dibutuhkan waktu hingga tiga jam untuk menyelesaikan semua urusan. Setelah urusan imigrasi selesai, para wartawan—termasuk tujuh wartawan dari Indonesia—diangkut sebuah bus dari terminal imigrasi Mesir ke terminal imigrasi Palestina yang hanya berjarak beberapa meter dan dipisahkan oleh dinding perbatasan.

Begitu masuk ke terminal imigrasi Palestina, dua polisi dari Hamas menyambut wartawan dengan ramah. Mereka hanya meminta paspor dan menyuruh wartawan duduk menunggu. Seorang polisi dari Hamas mengatakan, ongkos taksi ke Gaza City yang berjarak sekitar 35 kilometer hanya 20 sikel (uang Israel yang berlaku di wilayah Jalur Gaza) atau sekitar Rp 50.000. (REUTERS/AFP/AP/LUK)

[+/-] Read more...

Friday, January 23, 2009

Exxon, Chevron in $6.76b deal to feed gas-hungry local market

Ika Krismantari , The Jakarta Post , Jakarta | Fri, 01/23/2009 7:43 AM | Headlines
Global energy giants, including ExxonMobil Corp and Chevron Corp, on Thursday signed deals worth US$6.76 billion with domestic industries to supply gas. The signing took place at the fourth international gas exhibition and conference in Jakarta.Under the deal, Exxon has agreed to supply gas to fertilizer and related products giant PT Petrokimia Gresik and state electricity company PT PLN in deals worth $1.4 billion and $1.7 billion, respectively.

Exxon will deliver the natural gas from the Cepu block, where the oil giant acts as the operator in cooperation with state oil and gas firm PT Pertamina.
However, it is not yet clear how much gas will be delivered.
Chevron and its partners under the East Kalimantan production sharing contracts will supply gas to fertilizer producer PT Pupuk Kaltim in the province at an estimated value of $1.6 billion.
Thursday's signings mark stronger commitments from foreign oil and gas companies operating in Indonesia to supply part of their gas output to the domestic market.
A day earlier at the conference, Finance Minister Sri Mulyani Indrawati revealed the government’s plans to prioritize gas production for domestic consumption rather than for export in the coming years.
She said this was because local consumption was expected to continue rising in line with growth in local industries and a burgeoning middle class.
While aware of the possible dilemma facing gas companies in meeting demand for overseas
buyers, Mulyani said she believed the government had no other option than to prioritize the national interest.
Mulyani, who is also acting coordinating minister for the economy, urged gas producers to main-
tain production or produce more gas to meet local and overseas demand.
Estimates from the country's upstream oil and gas regulator, BPMigas, show national demand
for gas is set to rise steadily at a rate of 2.8 percent annually, reaching 6 billion cubic feet per day by 2020.
In 2007, demand stood at 4.2 billion cubic feet per day.
In Java, where most industries are based, demand will increase by 4.9 percent annually, reaching 4.1 billion cubic feet per day by 2020.
In light of this progressive trend of gas domestic needs, the government has significantly increased the gas supply portion for domestic industries from 29.6 percent in 2002 to 49.5 percent in 2008, according to BPMigas.
Indonesia, the world’s third largest liquefied natural gas (LNG) exporter, has been trying to in-crease its gas production to meet both foreign and domestic needs. Ironically, gas production has been on a downward trend for the past several years, due in part to aging fields.
This year’s production, for instance, is expected to reach 7.3 billion cubic feet per day, lower than the 7.9 billion cubic feet per day recorded in 2008.
BPMigas chairman Raden Priyono said the government would rely on a number of big LNG projects to help increase national gas production, including the Tangguh LNG plant in Papua, the Senoro LNG plant in Central Sulawesi, and the development of the Masela gas block in the Timor Sea.


[+/-] Read more...

Komisi-Komisi Negara Minta Dukungan Nyata Pemerintah

Kewenangan yang memadai sangat menentukan pelaksanaan fungsi dan tugas komisi.
Sejumlah komisi negara mendesak DPR dan Pemerintah memberikan dukungan nyata bagi pelaksanaaan fungsi, tugas, dan wewenang setiap komisi. Dukungan nyata meliputi sumber daya manusia, infrastruktur pendukung, dan sumber dana yang memadai.
Desakan itu disampaikan perwakilan dari enam komisi negara dalam pernyataan bersama di Jakarta, Kamis (22/01). Keenam state auxiliary organ itu adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI).

Urun rembug antar enam komisi ini bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, wakil dari enam komisi itu sudah lima kali melakukan pertemuan untuk sekedar tukar informasi. Namun untuk pertemuan yang digelar kali ini, mereka berhasil melahirkan pernyataan bersama.
Evaluasi atas pengalaman selama ini menemukan lima isu penting yang jadi kendala. Selain isu sumber daya manusia dan sumber dana, komisi-komisi negara menghadapi kendala keterbatasan kewenangan. Dua masalah lain adalah kurangnya komitmen politik pemerintah dan legislatif, serta partisipasi masyarakat.
Masalah sumber dana misalnya. Salah satu persoalan yang mencuat adalah mengenai ‘indepedensi’ anggaran yang diterima komisi. Jika KPK memiliki mata anggaran sendiri, tidak demikian dengan Komisi Kejaksaan. Komisi yang dikoordinatori Menkopolkumham ini berada di bawah mata anggaran Kejaksaan Agung. Anggaran untuk komisi negara di tahun ini sudah tertuang dalam Peraturan Presiden No 72 Tahun 2008 tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat untuk tahun 2009.
Selain masalah anggaran, para pimpinan komisi juga menyoroti sejumlah kendala dan hambatan sehingga membuat kinerja komisi tidak maksimal. Komnas HAM misalnya. Menurut Ifdhal Kasim, ketua komisi ini, Komnas masih saja menghadapi keterbatasan dukungan sumber daya manusia. Bahkan, rekomendasi Komisi sering diabaikan karena sifatnya tidak mengikat, diperburuk komitmen politik yang rendah dalam merespon isu-isu hak asasi manusia. Intinya, kewenangan Komnas masih terbatas.
Demikian pula Komisi Kejaksaan. Selain dibelit persoalan anggaran dan sumber daya, Komisi ini seolah berada di bawah bayang-bayang Kejaksaan Agung. Sebab, kedudukan sekretariatnya dibentuk dan berada di lingkungan Kejaksaan Agung. Belum lagi dasar hukum pembentukan Komisi Kejaksaan –melalui Perpres No 18 Tahun 2005- yang dinilai lemah, terutama kalau dibandingkan dengan Komisi Yudisial yang dibentuk melalui UUD 1945. (Sumber Hukumonline.com/23-01-09)

[+/-] Read more...

Wednesday, January 21, 2009

Pidato Barack Husein Obama Ketika Dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat Ke-44

OBAMA: My fellow citizens:

I stand here today humbled by the task before us, grateful for the trust
you have bestowed, mindful of the sacrifices borne by our ancestors. I
thank President Bush for his service to our nation, as well as the
generosity and cooperation he has shown throughout this transition.

Forty-four Americans have now taken the presidential oath. The words have
been spoken during rising tides of prosperity and the still waters of
peace. Yet, every so often the oath is taken amidst gathering clouds and
raging storms. At these moments, America has carried on not simply because
of the skill or vision of those in high office, but because we the people
have remained faithful to the ideals of our forebears, and true to our
founding documents.

So it has been. So it must be with this generation of Americans.

That we are in the midst of crisis is now well understood. Our nation is
at war, against a far-reaching network of violence and hatred. Our economy
is badly weakened, a consequence of greed and irresponsibility on the part
of some, but also our collective failure to make hard choices and prepare
the nation for a new age. Homes have been lost; jobs shed; businesses
shuttered. Our health care is too costly; our schools fail too many; and
each day brings further evidence that the ways we use energy strengthen
our adversaries and threaten our planet.

These are the indicators of crisis, subject to data and statistics. Less
measurable but no less profound is a sapping of confidence across our land
— a nagging fear that America's decline is inevitable, and that the next
generation must lower its sights.

Today I say to you that the challenges we face are real. They are serious
and they are many. They will not be met easily or in a short span of time.
But know this, America — they will be met.

On this day, we gather because we have chosen hope over fear, unity of
purpose over conflict and discord.

On this day, we come to proclaim an end to the petty grievances and false
promises, the recriminations and worn out dogmas, that for far too long
have strangled our politics.

We remain a young nation, but in the words of Scripture, the time has come
to set aside childish things. The time has come to reaffirm our enduring
spirit; to choose our better history; to carry forward that precious gift,
that noble idea, passed on from generation to generation: the God-given
promise that all are equal, all are free and all deserve a chance to
pursue their full measure of happiness.

In reaffirming the greatness of our nation, we understand that greatness
is never a given. It must be earned. Our journey has never been one of
shortcuts or settling for less. It has not been the path for the
faint-hearted — for those who prefer leisure over work, or seek only the
pleasures of riches and fame. Rather, it has been the risk-takers, the
doers, the makers of things — some celebrated but more often men and women
obscure in their labor, who have carried us up the long, rugged path
towards prosperity and freedom.

For us, they packed up their few worldly possessions and traveled across
oceans in search of a new life.

For us, they toiled in sweatshops and settled the West; endured the lash
of the whip and plowed the hard earth.

For us, they fought and died, in places like Concord and Gettysburg;
Normandy and Khe Sanh.

Time and again these men and women struggled and sacrificed and worked
till their hands were raw so that we might live a better life. They saw
America as bigger than the sum of our individual ambitions; greater than
all the differences of birth or wealth or faction.

This is the journey we continue today. We remain the most prosperous,
powerful nation on Earth. Our workers are no less productive than when
this crisis began. Our minds are no less inventive, our goods and services
no less needed than they were last week or last month or last year. Our
capacity remains undiminished. But our time of standing pat, of protecting
narrow interests and putting off unpleasant decisions — that time has
surely passed. Starting today, we must pick ourselves up, dust ourselves
off, and begin again the work of remaking America.

For everywhere we look, there is work to be done. The state of the economy
calls for action, bold and swift, and we will act — not only to create new
jobs, but to lay a new foundation for growth. We will build the roads and
bridges, the electric grids and digital lines that feed our commerce and
bind us together. We will restore science to its rightful place, and wield
technology's wonders to raise health care's quality and lower its cost. We
will harness the sun and the winds and the soil to fuel our cars and run
our factories. And we will transform our schools and colleges and
universities to meet the demands of a new age. All this we can do. All
this we will do.

Now, there are some who question the scale of our ambitions — who suggest
that our system cannot tolerate too many big plans. Their memories are
short. For they have forgotten what this country has already done; what
free men and women can achieve when imagination is joined to common
purpose, and necessity to courage.

What the cynics fail to understand is that the ground has shifted beneath
them — that the stale political arguments that have consumed us for so
long no longer apply. The question we ask today is not whether our
government is too big or too small, but whether it works — whether it
helps families find jobs at a decent wage, care they can afford, a
retirement that is dignified. Where the answer is yes, we intend to move
forward. Where the answer is no, programs will end. Those of us who manage
the public's dollars will be held to account — to spend wisely, reform bad
habits, and do our business in the light of day — because only then can we
restore the vital trust between a people and their government.

Nor is the question before us whether the market is a force for good or
ill. Its power to generate wealth and expand freedom is unmatched, but
this crisis has reminded us that without a watchful eye, the market can
spin out of control — and that a nation cannot prosper long when it favors
only the prosperous. The success of our economy has always depended not
just on the size of our gross domestic product, but on the reach of our
prosperity; on our ability to extend opportunity to every willing heart —
not out of charity, but because it is the surest route to our common good.

As for our common defense, we reject as false the choice between our
safety and our ideals. Our founding fathers ... our found fathers, faced
with perils we can scarcely imagine, drafted a charter to assure the rule
of law and the rights of man, a charter expanded by the blood of
generations. Those ideals still light the world, and we will not give them
up for expedience's sake. And so to all the other peoples and governments
who are watching today, from the grandest capitals to the small village
where my father was born: know that America is a friend of each nation and
every man, woman, and child who seeks a future of peace and dignity, and
that we are ready to lead once more.

Recall that earlier generations faced down fascism and communism not just
with missiles and tanks, but with sturdy alliances and enduring
convictions. They understood that our power alone cannot protect us, nor
does it entitle us to do as we please. Instead, they knew that our power
grows through its prudent use; our security emanates from the justness of
our cause, the force of our example, the tempering qualities of humility
and restraint.

We are the keepers of this legacy. Guided by these principles once more,
we can meet those new threats that demand even greater effort — even
greater cooperation and understanding between nations. We will begin to
responsibly leave Iraq to its people, and forge a hard-earned peace in
Afghanistan. With old friends and former foes, we will work tirelessly to
lessen the nuclear threat, and roll back the specter of a warming planet.
We will not apologize for our way of life, nor will we waver in its
defense, and for those who seek to advance their aims by inducing terror
and slaughtering innocents, we say to you now that our spirit is stronger
and cannot be broken; you cannot outlast us, and we will defeat you.

For we know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We
are a nation of Christians and Muslims, Jews and Hindus — and
non-believers. We are shaped by every language and culture, drawn from
every end of this Earth; and because we have tasted the bitter swill of
civil war and segregation, and emerged from that dark chapter stronger and
more united, we cannot help but believe that the old hatreds shall someday
pass; that the lines of tribe shall soon dissolve; that as the world grows
smaller, our common humanity shall reveal itself; and that America must
play its role in ushering in a new era of peace.

To the Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest
and mutual respect. To those leaders around the globe who seek to sow
conflict, or blame their society's ills on the West — know that your
people will judge you on what you can build, not what you destroy. To
those who cling to power through corruption and deceit and the silencing
of dissent, know that you are on the wrong side of history; but that we
will extend a hand if you are willing to unclench your fist.

To the people of poor nations, we pledge to work alongside you to make
your farms flourish and let clean waters flow; to nourish starved bodies
and feed hungry minds. And to those nations like ours that enjoy relative
plenty, we say we can no longer afford indifference to the suffering
outside our borders; nor can we consume the world's resources without
regard to effect. For the world has changed, and we must change with it.

As we consider the road that unfolds before us, we remember with humble
gratitude those brave Americans who, at this very hour, patrol far-off
deserts and distant mountains. They have something to tell us, just as the
fallen heroes who lie in Arlington whisper through the ages. We honor them
not only because they are guardians of our liberty, but because they
embody the spirit of service; a willingness to find meaning in something
greater than themselves. And yet, at this moment — a moment that will
define a generation — it is precisely this spirit that must inhabit us
all.

For as much as government can do and must do, it is ultimately the faith
and determination of the American people upon which this nation relies. It
is the kindness to take in a stranger when the levees break, the
selflessness of workers who would rather cut their hours than see a friend
lose their job which sees us through our darkest hours. It is the
firefighter's courage to storm a stairway filled with smoke, but also a
parent's willingness to nurture a child, that finally decides our fate.

Our challenges may be new. The instruments with which we meet them may be
new. But those values upon which our success depends — hard work and
honesty, courage and fair play, tolerance and curiosity, loyalty and
patriotism — these things are old. These things are true. They have been
the quiet force of progress throughout our history. What is demanded then
is a return to these truths. What is required of us now is a new era of
responsibility — a recognition, on the part of every American, that we
have duties to ourselves, our nation, and the world, duties that we do not
grudgingly accept but rather seize gladly, firm in the knowledge that
there is nothing so satisfying to the spirit, so defining of our
character, than giving our all to a difficult task.

This is the price and the promise of citizenship.

This is the source of our confidence — the knowledge that God calls on us
to shape an uncertain destiny.

This is the meaning of our liberty and our creed — why men and women and
children of every race and every faith can join in celebration across this
magnificent Mall, and why a man whose father less than sixty years ago
might not have been served at a local restaurant can now stand before you
to take a most sacred oath.

So let us mark this day with remembrance, of who we are and how far we
have traveled. In the year of America's birth, in the coldest of months, a
small band of patriots huddled by dying campfires on the shores of an icy
river. The capital was abandoned. The enemy was advancing. The snow was
stained with blood. At a moment when the outcome of our revolution was
most in doubt, the father of our nation ordered these words be read to the
people:

"Let it be told to the future world ... that in the depth of winter, when
nothing but hope and virtue could survive...that the city and the country,
alarmed at one common danger, came forth to meet (it)."

America, in the face of our common dangers, in this winter of our
hardship, let us remember these timeless words. With hope and virtue, let
us brave once more the icy currents, and endure what storms may come. Let
it be said by our children's children that when we were tested we refused
to let this journey end, that we did not turn back nor did we falter; and
with eyes fixed on the horizon and God's grace upon us, we carried forth
that great gift of freedom and delivered it safely to future generations.

Thank you. God bless you. And God bless the United States of America.

[+/-] Read more...

Tuesday, January 20, 2009

FORMING THE INTERNATIONAL CRIMINAL TRIBUNAL FOR ISRAEL’S AGGRESSION IN PALESTINE (ICTIAP) ?

PENGANTAR
Menjadi sebuah pertanyaan besar apakah akan ada pembentukan Pengadilan Pidana Internasional untuk mengadili agresi Israel yang dilakukan di Palestina yang dimulai pada tanggal 29 Desember 2008 sampai dengan pernyataan gencatan senjata sepihak oleh Israel pada tanggal 18 Januari 2009. Mekanisme peradilan terhadap agresi tersebut adalah salah satu jalan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan di Palestine khususnya kota Gaza. Jika tidak peristiwa agresi Israel tersebut dapat menimbulkan efek bola salju yang luar biasa terhadap situasi keamanan dan perdamaian dunia. Situasi dunia akan semakin tidak aman, karena banyak pihak yang bersimpati kepada rakyat Palestina akan melakukan usaha-usaha balas dendam terhadap Israel dan pihak-pihak yang dianggap mendukung agresi Israel. Usaha-usaha main hakim sendiri diprediksi akan semakin meningkat dan ini sangat berbahaya bagi proses perdamaian dunia.
Agresi Israel telah mengakibatkan kematian dalam jumlah yang luar biasa pada masyarakat sipil Palestina. Menurut data dari Otoritas Kesehatan Palestina di Jalur Gaza dan juga data-data yang dihimpun dari berbagai sukarelawan kesehatan di daerah tersebut, maka didapat data miniminal 1120 orang Palestina tewas, sebagian besar adalah masyarakat sipil dan 2/3 dari jumlah yang meninggal adalah perempuan dan anak-anak. Lebih dari 5000 orang luka berat dan cacat, dalam artian kakinya atau tangannya hancur terkena bom. Tentara Israel juga telah menembak mati 2 orang wartawan yang sedang meliput perang, menembaki petugas dan sukarelawan petugas kesehatan dan kemanusiaan, menghancurkan fasilitas-fasitas sipil seperti mesjid, rumah sakit dan sebuah sekolah yang didirikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa juga dibom yang mengakibatkan lebih dari 38 orang anak tewas. Selain menewaskan warga civil (non-combatant) yang melanggar konvensi jenewa, Israel juga menggunakan senjata pemusnah massal yang sangat dilarang PBB, yakni Bom Fosphor yang dapat menghacurkan benda apapun yang ada disekililingnya, dan juga menurut keterangan seorang dokter sukarelawan yang berasal dari Norwegia, diduga Israel telah menggunakan bom jenis DIME (dense inert metal explosive) yang mengandung bubuk tungsten (senyawa bahan kimia yang sangat langka). Ledakan bom DIME bagi orang yang terkena akan menghacurkan seluruh tubuhnya sampai ke tulang-tulangnya. Luka akibat bom Jenis DIME banyak ditemukan pada warga Palestina yang tewas.
Berdasarkan dari data-data yang diperoleh, patut diduga keras Israel telah melakukan beberapa jenis kejahatan terhadap kamusiaan yang sangat serius dan melanggar prinsip hukum humaniter sebagaimana yang terdapat di beberapa sumber hukum internasional dan juga beberapa yurisprudensi, diantarnya yakni Konvensi-konvensi Jenewa 1949, putusan-putusan di dalam International Criminal Tribunal for Rwanda, International Criminal Tribunal former Yugoslavia, dan juga ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai kejahatan-kejahatan tersebut di Statuta Roma 1998. Oleh sebab itu berikut adalah jenis kejahatan yang telah dilakukan Israel:
1. Genosida (Pembunuhan Massal)
Adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama. Agresi militer Israel berdasarkan keterangan saksi maupun korban jelas patut diduga keras telah melakukan perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur-unsur terjadinya Genosida dengan cara: membunuh warga sipil, mengakibatkan penderitaan fisik berupa cacat badan, kehilangan kaki dan tangan.
2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity)
Adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Salah satu perbuatan yang dilakukan militer Israel adalah pembunuhan terhadap warga sipil yang tidak terlibat konflik (non-combatant)
3. Kejahatan Perang (War crimes)
Kejahatan perang berarti : a. merujuk kepada Konvensi Jenewa 1949, yakni melakukan pembunuhan dengan sengaja terhadap warga sipil, perbuatan yang menyebabkan luka badan yang sangat serius; b. Pelanggaran hukum dan kebiasaan internasional, yakni dengan sengaja menyerang penduduk sipil, penyerangan terhadap fasilitas sipil (tempat ibadah, rumah sakit, sekolah), dengan sengaja menyerang instalasi PBB, penggunaan senjata pemusnah massal (bom Fosphor dan DIME).
4. Kejahatan agresi (the Crimes of aggression)
Yaitu Israel dengan sengaja dan sadar telah melakukan serangan dan masuk kedalam terhadap wilayah batas territorial dan yuridis Palestina.
Secara umum 4 jenis kejahatan inilah yang telah dilakukan Israel atas Palestina. Gambaran ini hanya bersifat umum yang tentunya membutuhkan penyelidikan lebih lanjut untuk mengungkapkan fakta-fakta yang sebenarnya terjadi pada peristiwa tersebut untuk menyeret pelakunya kehadapan sebuah sidang pengadilan internasional yang adil dan bermartabat.
MEKANISME PEMBENTUKAN PENGADILAN
Dunia internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa sebenarnya telah memiliki Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengadili kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang sifatnya extra ordinary crimes. Keberadaan ICC untuk menjamin rasa keadilan dan kedamaian umat manusia di dunia ini. Namun, Statuta Roma 1948 sebagai landasan hukum ICC dan mulai di berlakukan pada tanggal 1 Juli 2002 tidak mau diakui Israel. Terbukti sampai dengan saat ini Israel tidak meratifikasi Statuta tersebut, termasuk juga negara yang selama ini mengagungkan-agungkan hak asasi manusia, United States of America. Padahal sampai dengan tulisan ini dibuat, statuta tersebut sudah ditandangani 108 negara (see at : http://www.icc-cpi.int) belum termasuk Indonesia yang sedang dalam proses peratifikasian.
Oleh sebab itu, untuk mengadili agresi Israel di Palestine perlu dibentuk Mahkamah Pidana Internasional Ad Hoc untuk mengadili peristiwa tersebut, contohnya seperti ICTR dan ICTY. Usulan pembentukan ini dapat dilakukan setiap negara anggota PBB dan dirapatkan serta diputuskan dalam Sidang Dewan Keamanan PBB. Jika DK PBB setuju atas usul tersebut, maka akan dibentuk badan pengadilan ad hoc dan selanjutnya badan pengadilan ad hoc tersebut akan membentuk tim yang misinya mencari bukti-bukti awal dan alat bukti lainnya yang selanjutnya bila memenuhi syarat berkasnya akan dilimpahkan kepada prosecutor.
KENDALA
Kendala terhadap pembentukan ICTIAP ini adalah adanya hak veto yang dimiliki negara-negara pemenang perang dunia kedua, salah satunya Amerika Serikat yang sudah menjadi informasi publik merupakan sekutu terdekat Israel. Sehingga sangat sulit untuk mewujudkan terbentuknya ICTIAP.
SOLUSI
Ada beberapa solusi yang diajukan untuk mengatasi kendala diatas, yakni:
1. Adanya usulan tentang pembentukan ICTIAP dari salah satu atau beberapa negara anggota PBB;
2. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab harus bersatu dan mendesak serta melobi semua negara untuk mendukung usulan pembentukan ICTIAP;
3. Semua negara harus memaksa Amerika dan negara-negara pemegang hak veto lainnya untuk tidak menggunakan hak vetonya dengan mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan keamanan dunia jangka panjang.
4. dan jika juga tidak berhasil untuk usulan selanjutnya negara-negara diseluruh dunia non-pemegang hak veto harus mengusulkan hak veto dihapuskan karena hanya menimbulkan ketidakadilan dan kesewenangan semata. Jika cara ini tidak berhasil juga maka saran terakhir adalah pembentukan New United Nations (NUN) dengan prinsip berkeadilan global.
Salaam

[+/-] Read more...

Thursday, January 15, 2009

UU NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS : UPAYA REKONSIALISASI KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA


Sekitar ratusan rakyat miskin kota mendemo Balaikota DKI Jakarta pada Rabu kemarin (4/7) menuntut agar dipermudah dalam membuat Surat Keterangan tidak mampu (SKTM) serta kartu Gakin dan ASKIN. Selama ini, birokrat dituding melakukan diskriminatif terhadap warga miskin. AMA/RAKYAT MERDEKA[Photo] (Photo)

Seri Artikel: Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

PENGANTAR

Setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Pada dasarnya, manusia diciptakan dalam kelompok ras atau etnis yang berbeda-beda yang merupakan hak absolut dan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian dari ras atau etnis tertentu. Adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antar-kelompok ras dan etnis dalam masyarakat dan negara. Kondisi masyarakat Indonesia, yang berdimensi majemuk dalam berbagai sendi kehidupan, seperti budaya, agama, ras dan etnis, berpotensi menimbulkan konflik. Ciri budaya gotong royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku musyawarah/mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya konflik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis. Kerusuhan rasial yang pernah terjadi menunjukkan bahwa di Indonesia sebagian warga negara masih terdapat adanya diskriminasi atas dasar ras dan etnis, misalnya, diskriminasi dalam dunia kerja atau dalam kehidupan sosial ekonomi.

Di Indonesia pernah dan sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan dan pembunuhan. Umumnya dulu sering terjadi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, salah satunya ialah Peristiwa 13-15 Mei 1998, namun demikian juga sering terjadi pada etnis lainnya. Tercatat beberapa konflik etnis yang memakan banyak korban antara lain menimpa etnis Dayak, Madura, Buton, Bugis, Makassar, Betawi, beberapa suku di Papua, NTT, Ambon/Maluku, suku Jawa yang tinggal di Aceh dan sebagainya. Rasialisme ini tidak selalu muncul dalam bentrok fisik yang bersifat massal. Kebanyakan justru muncul dalam situasi keseharian hidup masyarakat. Diskriminasi, misalnya penerimaan pekerja hanya dari etnis tertentu, tidak boleh menggunakan jilbab ketika bekerja (Kasus rumah sakit Mitra Keluarga di Bekasi, Jawa Barat), dan sebagainya. Disadari atau tidak praktek gejala awal diskriminasi hadir dan terus ada di negara ini. Sebagai contoh sampai saat ini ada aturan tidak tertulis mengenai pembagian lapak kerja di pasar-pasar pusat perdagangan di Indonesia yang dibagi berdasarkan ras atau etnis tertentu, yakni lapak yang ditempati pedagang dari sumatera utara, lapak yang mayoritas ditempati pedagang Minang, seperti halnya di Blok M, Pasar Tanah Abang, Pasar Senen, dan sebagainya. “Jasa keamanan” pun masih menggunakan kelompok etnis, yang umumnya dari Betawi (misalnya Forum Betawi Rempug), Ambon, Timor, dan Batak.

Konflik yang sering terjadi muncul karena adanya ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan. Konflik di atas tidak hanya merugikan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat konflik tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat pembangunan nasional yang sedang berlangsung. Hal itu juga mengganggu hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian dan keamanan di dalam suatu negara serta menghambat hubungan persahabatan antarbangsa.

Dalam sejarah kehidupan manusia, diskriminasi ras dan etnis telah mengakibatkan keresahan, perpecahan serta kekerasan fisik, mental, dan sosial yang semua itu merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Untuk mengatasi hal itu, lahirlah Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa melalui Resolusi Majelis Umum PBB 2106 A (XX) tanggal 21 Desember 1965. Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965). Selain meratifikasi, Indonesia juga mempunyai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang tercermin dalam sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi ras dan etnis. Oleh sebab itulah, kehadiran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yang disahkan di Jakarta, 10 November 2008 diharapkan sebagai salah satu ‘tools’ untuk upaya rekonsialisasi kehidupan berbangsa dan bernegara serta menatap masa depan yang lebih baik dan sejarah sebagai sebuah ‘nation’.

DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS

Diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pengertian ras sendiri adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan, dan etnis adalah adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan. Sedangkan yang dimaksud Tindakan Diskriminasi adalah perbuatan yang berkenaan dengan diskriminasi ras dan etnis. Tindakan ini dapat berupa:

a. Memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau

b. Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:

1) membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;

2) berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;

3) mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau

4) melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

Jenis "hak-hak sipil", antara lain hak untuk:

1. Bebas berpergian dan berpindah tempat dan berdomisili dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia;

2. Meninggalkan dan kembali ke wilayah negara kesatuan Republik Indonesia;

3. Mempertahankan kewarganegaraan;

4. Membentuk keluarga, memilih pasangan hidup dan melanjutkan keturunan;

5. Memiliki harta milik atas nama sendiri maupun bersama dengan orang lain;

6. Berpikir, berperasaan, berekspresi dan mengeluarkan pendapat dengan bebas;

7. Menggunakan bahasa apa pun dengan bebas;

8. Berkumpul dan berserikat dengan bebas dan damai; dan

9. Mendapatkan informasi.

Jenis "hak-hak politik", antara lain hak untuk:

1. Mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum, lembaga peradilan dan badan-badan administrasi publik lainnya;

2. Mendapat rasa aman dan perlindungan dari negara terhadap kekerasan ras dan etnis baik kekerasan fisik, sosial maupun psikis baik disebabkan oleh aparatur pemerintah atau oleh perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi tertentu;

3. Berpartisipasi dalam pemerintahan sebagaimana dalam kegiatan publik pada tingkat apa pun; dan Berpartisipasi dalam bela negara.

Jenis "hak-hak ekonomi", antara lain hak untuk:

1. Berusaha mencari penghidupan yang layak di seluruh wilayah negara Indonesia;

2. Bekerja, memilih pekerjaan, memiliki kondisi kerja yang adil dan diinginkan;

3. Mendapat gaji yang pantas sesuai dengan pekerjaan dan sistem penggajian;

4. Membentuk dan menjadi anggota dari serikat pekerja;

5. Memperoleh perlindungan terhadap pengangguran; dan

6. Memiliki perumahan.

Jenis "hak-hak sosial dan budaya", antara lain hak untuk:

1. Memperoleh pelayanan kesehatan, pengobatan, jaminan sosial dan pelayanan-pelayanan sosial lainnya;

2. Memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama atas segala bentuk pelayanan umum;

3. Memperoleh kesempatan dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa budaya, sosial, dan ekonomi;

4. Memperoleh kesempatan yang sama untuk mengekspresikan budayanya;

5. Menikmati, mendapatkan dan memperoleh jaminan atas terselenggaranya pendidikan dan pelatihan yang bertujuan untuk mencerdaskan dan/atau menambah keterampilannya, tanpa membedakan ras dan etnis; dan

6. Menyelenggarakan pendidikan tanpa memperhatikan ciri khas ras dan etnisnya.

Untuk lebih jelas dan lengkap mengenai jenis hak dan bentuknya dapat dibaca pada UUD 1945; UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovensi Internasional Hak Sipil dan Politik; dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

PELAKU DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS

Pelaku dalam hal ini bisa terdiri dari orang sebagai pribadi hukum (orang perseorangan) maupun orang sebagai badan hukum, baik publik maupun swasta (korporasi). Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik yang merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

PENGAWASAN PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS

Pengawasan terhadap segala bentuk upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. Pengawasan itu meliputi:

1. Pemantauan dan penilaian atas kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah yang dinilai berpotensi menimbulkan diskriminasi ras dan etnis;

2. Pencarian fakta dan penilaian kepada orang perseorangan, kelompok masyarakat, atau lembaga publik atau swasta yang diduga melakukan tindakan diskriminasi ras dan etnis;

3. Pemberian rekomendasi kepada pemerintah dan pemerintah daerah atas hasil pemantauan dan penilaian terhadap tindakan yang mengandung diskriminasi ras dan etnis;

4. Pemantauan dan penilaian terhadap pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyelenggaraan penghapusan diskriminasi ras dan etnis; dan

5. Pemberian rekomendasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk melakukan pengawasan kepada pemerintah yang tidak mengindahkan hasil temuan Komnas HAM.

Berdasarkan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, pengaturan lebih lanjut mengenai tatacara pengawasan ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun demikian, selain kewenangan yang diberikan oleh UU ini, Komnas HAM juga dapat menjadikan UU Nomor 39 Tahun 1999 sebagai acuan kerja terutama terkait hal-hal yang bersifat diskriminasi.

Pasal 89 ayat (3)UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM:

Untuk melakukan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan:

a. Pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;

b. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau ruang lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;

c. Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;

d. Pemanggilan saksi untuk dimintai dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu dimintai menyerahkan bukti yang diperlukan;

e. Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;

f. Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;

g. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan

h. Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebu wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.

Sasaran Pengawasan Komnas HAM menurut UU PDRE adalah:

a. Kebijakan Pemerintah;

b. Orang perseorangan;

c. Kelompok masyarakat (Paguyuban Etnis, Organisasi Kemasyarakatan, dll);

d. Lembaga publik (badan dan atau lembaga yang dibentuk pemerintah atau menjalankan layanan publik yang sumber dananya dari pemerintah, BUMN dan BUMD);

e. Lembaga Swasta (perusahaan swasta, dll).

Oleh karena itu jika ada perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh si pelaku sebagaimana yang disebut pada huruf b, c, d, dan e diatas, maka dapat si korban dapat melaporkannya kepada Komnas HAM. Komnas HAM berdasarkan kewenangan yang dimilikinya dapat melakukan pencarían fakta dan melakukan penilaian terhadap fakta tersebut apakah telah terjadi suatu tindakan diskriminasi ras dan etnis atau tidak. Laporan yang disampaikan korban atau warga masyarakat dapat berupa keterangan dan barang bukti yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan yang bersifat diskriminasi ras dan etnis yang dilakukan.

GANTI KERUGIAN

Gugatan ganti kerugian dapat dilakukan oleh orang perorangan atau berkelompok (gugatan perwakilan/class action). Gugatan ini diajukan kepada Pengadilan Negeri terhadap diri si Tergugat, dalam hal ini adalah pelaku tindakan diskriminasi. Gugatan perwakilan (class action) adalah hak sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar:

- kesamaan permasalahan,

- fakta hukum dan

- tuntutan yang ditimbulkan karena kegiatan diskriminasi berdasarkan ras dan etnis.

KETENTUAN PIDANA

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi ras dan etnis, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Unsur penting dalam ketentuan ini adalah kesengajaan. Sehingga untuk mempidana si pelaku harus terlebih kesengajaan, yakni unsur willen en wetten (berkehendak dan mengetahui). (Pasal 15)

Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Tindakan yang dimaksud dalam ketentuan ini ialah: (Pasal 16)

1) membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;

2) berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;

3) mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain.

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 4, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari masing-masing ancaman pidana maksimumnya. Sehingga jadinya: (Pasal 17)

- Perampasan nyawa yang diancam dengan Pasal 338 KUHP hukuman maksimumnya menjadi 20 tahun pidana penjara;

- Oleh karena tidak ditentukan penganiayaan jenis apa yang dimaksud dalam ketentuan ini, maka dapat ditafsirkan yang dimaksud adalah penganiayaan biasa yang diancam dengan Pasal 351 KUHP, sehingga hukuman maksimumnya menjadi 2 tahun 8 bulan atau denda paling banyak Rp 300,- ditambah 1/3 nya;

- Tindak pidana pemerkosaan diancam Pasal 285 KUHP dengan hukuman pidana penjara maksimum 16 tahun;

- Untuk perbuatan cabul sendiri dapat diancam dengan Pasal 289 dan 290 KUHP;

- Untuk pencurian dengan kekerasan diancam Pasal 365 KUHP dengan hukuman pidana penjara maksimum 12 tahun;

- Untuk perampasan kemerdekaan diancam Pasal 328 KUHP dengan hukuman pidana penjara maksimum 16 tahun.

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam pada 2 jenis tindak pidana terakhir, pelaku dapat juga dijatuhi pidana tambahan berupa restitusi atau pemulihan hak korban.

KORPORASI SEBAGAI PELAKU

Tindak pidana pada Pasal 16 dan 17 dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh: orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Oleh sebab itu, penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Dalam hal panggilan terhadap korporasi, pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurusnya.

Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 16 dan 17. Selain pidana denda, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum.

MEKANISME PELAPORAN

Setiap orang berhak melaporkan terkait dugaan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis ke Komnas HAM atau pihak ke polisian untuk selanjutnya diproses dengan hukum acara pidana yang berlaku. Laporan dapat berupa surat atau keterangan tertulis dengan disertai alat bukti dan/atau barang bukti pendukung lainnya atau bisa juga datang langsung ke instansi yang terkait, yakni Komnas HAM dan Kepolisian RI.

Alamat Pelaporan:

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI

Jl. Latuharhary Nomor 4B, Menteng, Jakarta Pusat-10310, Indonesia

Telp. 62-21-3925230, faks. 62-21-3925227

e-mail: info@komnasham.go.id

www.komnasham.go.id

PENUTUP

Dengan pemberlakuan UU ini, paling tidak bisa menjadi salah satu alat yang memaksa warga negara/penduduk untuk tidak melakukan tindakan diskriminasi. Walaupun disana sini masih terdapat beberapa aturan yang belum jelas dan membutuhkan penjelasan lebih lanjut, namun upaya ini harus dihargai sebagai sebuah upaya untuk menutup masa lalu bangsa yang kelam dengan berbagai peristiwa tindakan diskriminasi ras dan etnis. Rekonsialisasi, apakah bersifat ‘paksaan’ melalui regulasi seperti ini atau bersifat sukarela melalui perjanjian damai, dllnya, harus tetap diwujudkan untuk menuju masa depan bangsa dan negara Indonesia yang lebih baik dan lebih sejahtera lagi.

[+/-] Read more...