Charity Fund

Bantulah Saudara-saudara kita yang menjad korban jebolnya tanggul di Situ Gintung, Tangerang, Banten-Indonesia Melalui Palang Merah Indonesia

Bantuan Bencana Umum:Bank Mandiri Cabang Wisma Baja a/c 070.00001.160.17 a/n Palang Merah Indonesia



NEWS and ARTICLES

Please read news and my articles this following :

Tuesday, September 11, 2007

Arbitrase dan Kelebihannya

Definisi Arbitrase
Menurut BLACK’S Law Dictionary: “Arbitration. The reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected person in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunal; of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation.” Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Kelebihan Arbitrase
Kelebihan arbitrase dapat dibaca pada Penjelasan Umum UU No. 30 Tahun 1999 terutama pada paragrap ke-4. Pada bagian ini dituliskan beberapa kelebihan lembaga arbitrase dibandingkan lembaga peradilan/litigasi, yakni:
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Kelebihan-kelebihan arbitrase yang termuat pada bagian Penjelasan Umum diatas, dikuatkan lagi dalam bentuk muatan isi pasal-pasal yang ada di UU No. 30 Tahun 1999. Berikut adalah pembahasan kelebihan-kelebihan tersebut disertai dengan analisis kritis terhadap kelebihan-kelebihan tersebut:

1. Rahasia
Proses Arbitrase memiliki bentuk dan prosedur administratif, komunikatif, rapat-rapat dan sidang dengan arbiter secara rahasia. Proses ini penting agar tidak ada informasi yang diungkapkan oleh para pihak atau arbiter kepada pihak lain yang tidak ada kaitannya dengan sengketa. Landasan hukum dari proses ini dapat dibaca pada bagian Penjelasan Umum paragrap ke-4 dari UU No. 30 Tahun 1999 yang menyebutkan: “dijamin kerahasiaan sengketa para pihak”, dan juga pada bagian Pasal 27 UU No. 30 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa: “semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup”. Ketentuan kerahasiaan ini adalah menyimpang dari ketentuan acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk umum. Hal ini penting untuk lebih menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase. Para pihak yang selama ini bersengketa umumnya perusahaan-perusahaan atau para pengusaha yang menekankan aspek menjaga nama baik dan menghindari publisitas agar tidak mengganggu reputasi pribadi dan kinerja perusahaan. Namun. permasalahnya adalah sampai sejauh mana kerahasiaan para pihak dijamin? Mengingat kerahasiaan menurut Pasal 27 UU No. 30 Tahun 1999 hanya pada tahap pemeriksaan sengketa. Apakah diperbolehkan mengumumkan hasil putusan sengketa arbitrase yang telah melalui tahapan pemeriksaan sengketa yang tertutup?. Jika dibaca pada Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia, terutama pada Pasal 13 angka 2 yang menyebutkan bahwa: ” Seluruh persidangan ditutup untuk umum dan segala hal yang berkaitan dengan penunjukan arbiter, termasuk dokumen-dokumen, laporan/catatan sidang-sidang, keterangan-keterangan saksi dan putusan-putusan, harus dijaga kerahasiaannya diantara para pihak, para arbiter dan BANI kecuali oleh peraturan perundang-undangan hal tersebut tidak diperlukan atau disetujui oleh semua pihak yang bersengketa.” Jadi, pada prinsipnya kerahasiaan tersebut bisa diungkapkan atas dasar persetujuan bersama atau peraturan perundang-undangan memerintahkan untuk membuka rahasia tersebut. Sehingga jika ada sebuah kasus sengketa arbitrase yang hasilnya diumumkan ke publik tanpa persetujuan para pihak, tentu melanggar ketentuan-ketentuan mengenai arbitrase.
Dengan argumentasi diatas, maka jelas keberadaan bagian Penjelasan Umum paragrap ke-4 dan Pasal 27 UU No. 30 Tahun 1999 dapat dijustifikasi dengan baik dibandingkan dengan proses litigasi (perdata) di Pengadilan yang tentunya proses pemeriksaan perkara bersifat wajib terbuka.

2. Menghindari Kelambatan
Proses hukum yang pasti dan cepat tentunya merupakan harapan semua pihak yang selama ini menjadi pihak dalam sengketa hukum, terutama dalam bidang hukum perdata yang banyak menyentuh aspek sengketa perdagangan agar tidak mengganggu proses ataupun kinerja usahanya. Proses litigasi di pengadilan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak memberikan ruang yang pasti untuk mempercepat penyelesaian sengketa. Proses litigasi ini relatif membutuhkan waktu yang sangat lama dibandingkan proses arbitrase. Hal ini tercermin dari proses urutan litigasi yang dimulai dari tahap pertama (gugatan), banding, kasasi dan peninjauan kembali. Oleh sebab itu proses arbitrase dapat menjadi salah satu terobosan untuk mengatasi permasalahan ini. Proses waktu penyelesaian perkara di arbitrase dapat dibaca pada Pasal 48 UU No. 30 Tahun 1999 yang menyebutkan:
a. ayat 1: “Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk.”;
b. ayat 2: “Dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan sesuai ketentuan Pasal 33, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang.”
Sebagai justifikasi atas kelebihan proses arbitrase ini, maka dapat dibaca pada Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa: “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.” Namun, permasalahannya adalah ada pada Pasal 48 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999, yang memungkinkan perpanjangan waktu untuk menyelesaikan perkara arbitrase, walaupun ada ketentuan yang mensyaratkan harus dengan persetujuan para pihak tetap saja hal ini menyebabkan proses penyelesaian perkara yang memakan waktu lama berdasarkan kepentingan dan keinginan para pihak. Pasal ini tentu tidak selaras dengan maksud dan tujuan sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 48 ayat (2) tersebut sehingga lebih baik dihapuskan atau direvisi dengan kalimat yang justru menjustifikasi kelebihan proses arbitrase pada bagian Penjelasan Umum paragrap UU No. 30 Tahun 1999.

3. Dapat Memilih Arbiter yang Cakap, Jujur dan Adil
Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Untuk memilih arbiter tentu memiliki kriteria-kriteria tertentu yang diharapkan para pihak. Diantaranya adalah memiliki pengetahuan, pengalaman serta latar belakang untuk memahami dan mengerti obyek sengketa. Disamping itu juga arbiter harus bertindak jujur dan adil. Dalam memilih arbiter para pihak yang bersengketa dapat menggunakan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 s.d. 16 UU No. 30 Tahun 1999. Syarat-syarat untuk diangkat menjadi arbiter adalah: cakap melakukan tindakan hukum; berumur minimum 35 tahun; tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lainnya atas putusan arbitrase; memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya minimun 15 tahun dan bukan merupakan pejabat peradilan. Jika para pihak tidak sepakat atau tidak ada ketentuan yang dibuat dalam memilih arbiter, maka dapat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter atau majelis. Arbiter yang ditunjuk atau diangkat dapat menerima atau menolak penunjukan atau pengangkatan tersebut dan wajib memberitahukannya secara tertulis kepada para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penunjukan atau pengangkatan. Jadi pada prinsipnya para pihak yang bersengketa “bebas” untuk memilih arbiter sebagaimana yang mereka butuhkan. Namun, permasalahannya adalah untuk menyatukan dua kepentingan yang berbeda (dua pihak) agak sedikit sulit dan membutuhkan waktu agar terjadi kesepakatan. Akan tetapi untuk memilih arbiter yang “expert” tentu membutuhkan kesabaran mengingat solusi yang ingin dicapai tentu merupakan suatu hal yang sangat penting bagi para pihak. Catatan dari proses memilih arbiter adalah tidak adanya kriteria untuk mencari arbiter yang jujur dan adil sebagaimana yang diamanatkan dalam bagian Penjelasan Umum paragrap ke-4 UU No. 30 Tahun 1999 sehingga hendaknya harus diatur bagaimana ukuran seorang arbiter dapat dikatakan memenuhi syarat jujur dan adil. Akan tetapi proses pemilihan arbiter dalam arbitrase jauh lebih baik dibandingkan proses litigasi yang hakim-hakimnya sudah ditetapkan dan seringkali penetapan tersebut tidak berdasarkan atas kecakapan, kejujuran dan keadilan sehingga seringkali putusan-putusan yang dihasilkan oleh proses litigasi tidak berdimensi atas pengetahuan dan pemahaman hukum yang ‘expert’ atas perkara yang ditangani.

4. Pilihan Hukum
Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase. Hukum yang mengatur materi sengketa adalah hukum yang dipilih dalam perjanjian komersial yang bersangkutan yang menimbulkan sengketa antara para pihak. Jika para pihak dalam perjanjiannya tidak mengatur mengenai hukum yang mengatur, para pihak bebas memilih hukum yang berlaku berdasarkan kesepakatan bersama. Justifikasi atas penjelasan umum ini dapat dibaca pada Pasal 56 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa: “Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.” Penjelasan atas pasal ini menyebutkan bahwa para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan untuk menentukan hukum mana yang akan diterapkan dalam proses arbitrase. Apabila para pihak tidak menentukan lain, maka hukum yang diterapkan adalah hukum tempat arbitrase. Dari bunyi dan penjelasan pasal 56 ayat (2) a quo, maka sangat dimungkinkan para pihak memilih sistem hukum yang akan digunakan. Permasalahnya adalah ‘hak’ para pihak ini biasanya tidak bisa sepenuhnya dapat dilaksanakan tergantung dari posisi yang dimiliki masing-masing pihak. Oleh sebab itu penggunaan hak tersebut terkadang tidak berjalan dengan baik dan terkadang terkesan menjadi kewajiban mengingat posisi tawar yang satu bisa jadi lemah dibandingkan yang lain. Sehingga pilihan hukum yang digunakan biasanya mengacu pada pilihan pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih baik. Namun demikian, proses memilih sistem hukum ini lebih baik dibandingkan proses litigasi yang berdasarkan kepada satu hukum acara saja, dengan tidak memandang karakteristik, asal, budaya, dan subyek hukum dalam sengketa yang dapat mengakibatkan ketidakadilan pada salah satu pihak dalam sengketa.

5. Pilihan Acara (Prosedur, Waktu dan Tempat)
Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 1999. Setelah memilih acara arbitrase yang digunakan, selanjutnya adalah menentukan jangka waktu dan tempat diselenggarakannya arbitrase. Ketentuan-ketentuan ini telah termuat dalam Pasal 31 UU No. 30 Tahun 1999. Menurut Pasal 34 UU No. 30 Tahun 1999, penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak dengan menggunakan hukum acara dari lembaga yang dipilih kecuali para pihak menentukan lain.

6. Putusan Final dan Mengikat serta Dapat Langsung Dilaksanakan
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Berdasarkan Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, Putusan Arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. Sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.

Analisis terhadap Proses Arbitrase
Posisi Kasus I
Sengketa arbitrase ini melibatkan pihak Pertamina sebagai Tergugat dan KBC Karaha Bodas sebagai Penggugat. Kasus ini berawal dari pembatalan Proyek Karaha Bodas melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1998. Dimana dalan kontrak perjanjian Pertamina dengan KBC pada Pasal 20 Joint Operation Contract dan 12. 1 Energy Sales Contract, disebutkan dengan tegas bahwa perjanjian ini tunduk pada hukum dan peraturan pemerintah Republik Indonesia. Namun, Majelis Arbitrase yang dibentuk International Center for Settlement of Investment Disputes telah mengesampingkan dan melanggar hukum dan peraturan Indonesia bahkan bertindak di luar batas kewenangan yang dimiliki (Eceed its power). Persidangan arbitrase internasional The United Nations Commission on International Trade Law (UNICITRAL) ini nyata-nyata berlangsung tidak berdasarkan kebenaran dan kepatutan (ex aequa et bono), sebagaimana prinsip yang seharusnya dianut. Juga, tidak dibuktikan terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR, serta mempertimbangkan aspek kewajaran (appropriateness). Hanya karena alasan telah wanprestasi, Majelis Arbitrase UNICITRAL menghilangkan hak Pertamina dan PLN untuk menanyakan kewajaran nilai klaim ganti rugi KBC. Ini menunjukkan, kualitas pertimbangan Majelis Arbitrase UNICITRAL pada putusan ganti rugi terhadap rencana pendapatan yang hilang (lost profit) bersifat meraba-raba, sangat spekulatif dan fiktif, karena tidak didahului dengan membuktikan adanya kerugian secara riil. Singkatnya, hanya mendasarkan pada perkiraan dan pertimbangan yang kelewat prematur, sehingga cenderung menyederhanakan persoalan.
Analisis Kasus I
Pengabaian terhadap hak untuk memilih sistem hukum yang dilakukan oleh Majelis Hakim Arbitrase UNICITRAL tentu telah melanggar prinsip-prinsip arbitrase internasional tentang penghormatan terhadap sistem hukum yang dipilih para pihak. Pengabaian ini tentu akan berakibat buruk terhadap pelaksanaan putusan arbitrase sengketa a quo.

[+/-] Read more...

Tuesday, July 17, 2007

PERANG TARIF ANTAR OPERATOR SELULER GSM-CDMA: MENGUNTUNGKAN ATAU MERUGIKAN KONSUMEN?

PERANG TARIF ANTAR OPERATOR SELULER GSM-CDMA:
MENGUNTUNGKAN ATAU MERUGIKAN KONSUMEN?

Oleh:
HUSENDRO[1]

“Pemasaran produk tarif layanan operator seluler GSM dan CDMA beberapa bulan belakangan terkesan menguntungkan konsumen pemakai jasa telekomunikasi operator tersebut padahal jika dikaji secara komprehensif, iklan-iklan yang ditayangkan oleh perusahaan operator belum tentu benar-benar menguntungkan konsumen bahkan terkadang cenderung manipulatif”

Hukum Persaingan Usaha Menjangkau Perilaku Perusahaan Operator telekomunikasi
Henry Clay (1832) pernah mengungkapkan dalam suatu kalimat: “...of all human powers operating on the affairs of mankind, none is greater than that of competition, “ untuk menggambarkan mengenai pentingnya arti suatu persaingan bagi umat manusia. Bahkan mungkin persaingan telah ada sejak dimulainya peradaban dan selama masih akan ada peradaban rasanya persaingan tidak akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Persaingan ini yang sekarang membuat teknologi telekomunikasi semakin maju dan tentunya semakin murah pula biayanya. Dengan adanya persaingan jelas akan memberikan manfaat kepada peningkatan kualitas kehidupan manusia. Apalagi selama pemerintahan Orde Baru yang otoriter, hampir semua sektor ekonomi dikuasai secara monopoli dan oligopoli oleh orang dan atau kelompok tertentu yang hanya menguntungkan orang dan atau kelompok tersebut saja. Dimana perilaku ini telah mengakibatkan kesengsaraan yang luar biasa ditanggung rakyat bahkan hingga saat ini dapat dirasakan kesulitan ekonomi yang ditimbulkan praktek ekonomi “kotor” tersebut.

Situasi dan kondisi ini membuat para pakar ekonomi dan hukum serta anggota DPR, merasa perlu membuat suatu regulasi yang mengatur persaingan usaha di Indonesia. Kesamaan ide ini telah menghasilkan sebuah produk peraturan perundang-undangan berupa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang disahkan pada 5 Maret 1999 oleh Presiden B.J. Habibie. Terlepas dibeberapa pasal masih ada kekurangan yang harus diperbaiki namun undang-undang harus tetap diapresiasi sebagai usaha negara untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi dalam iklim usaha yang sehat, efisien dan transparansi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini yang selanjutnya mengatur perilaku setiap perusahaan yang melakukan usahanya di Indonesia, termasuk juga para perusahaan operator telekomunikasi. Artinya kegiatan usaha yang dilakukan operator tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang terkandung dalam bunyi pasal demi pasal dari Undang-Undang tersebut. Jadi, jelas mengapa Undang-Undang ini dapat menjangkau perilaku perusahan operator telekomunikasi kita yang melakukan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan rakyat (baca: konsumen).

TARIF MURAH = PREDATORY PRICING?

Tarif yang murah dalam menggunakan jasa telekomunikasi baik internet maupun telepon seluler GSM dan CDMA tentunya merupakan harapan yang sangat dinantikan konsumen sejak lama. Perkembangan kebutuhan dan tingginya aktivitas masyarakat dalam menggunakan alat telekomunikasi telah membuat jasa/produk ini menjadi suatu kebutuhan primer ditengah kehidupan masyarakat. Sehingga persoalan tarif murah tentunya sangat signifikan sekali untuk membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dulu, sebelum generasi Telkom Flexy muncul, para perusahaan operator GSM mengklaim teknologi komunikasi seluler ini adalah suatu teknologi yang canggih dan tentunya harus mahal. Klaim ini telah menjadi alat legitimasi perusahaan-perusahaan tersebut untuk menerapkan tarif jasa telekomunikasi yang boleh dikatakan salah satunya yang termahal di dunia. Padahal hampir di seluruh dunia, sudah memungkinkan pengenaan tarif yang sangat murah untuk berkomunikasi yang tentunya sangat menguntungkan rakyat dan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi mereka. Selama belasan tahun perusahaan telekomunikasi telah memeras keringat dan hasil jerih payah rakyat Indonesia dengan mengeruk keuntungan setinggi-tingginya pada puluhan juta penduduk Indonesia sebagai pemakai jasa ini. Perusahaan-perusahaan tersebut sangat angkuh dalam menerapkan tarif dan cenderung menjadi alat kapitalis yang menjajah rakyat. Perilaku ini bahkan masih sangat dirasakan beberapa bulan lalu, ketika para perusahaan telekomunikasi tersebut (baca: seluler), “memaksa” Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk menindak program “Flexi Combo” yang dikeluarkan oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., padahal teknologi tersebut sangat menguntungkan rakyat dalam melakukan komunikasi antar propinsi dengan tarif murah. Pertanyaan adalah apa maksud dan tujuan BRTI tersebut? Bukankah teknologi tersebut ternyata memungkinkan membuat tarif yang sangat murah dan menjangkau pelosok daerah? Kenapa teknologi yang justru berpihak kepada ekononomi rakyat justru ditindak? Pertanyaan ini tentunya menjadi pekerjaan rumah kita untuk membenahi sistem dan regulasi telekomunikasi Indonesia yang lebih berpihak kepada kesejahteraan rakyat Indonesia. Munculnya PT Bakrie Telecom sebagai pemain baru dengan produk CDMA dengan brand “ESIA” sedikit banyak telah memberikan alternatif alat komunikasi dengan tarif murah yang membantu masyarakat walaupun disana-sini terdapat catatan yang harus diperbaiki untuk lebih memberikan kepastian keuntungan yang lebih berpihak kepada rakyat/konsumen.

Klaim perusahaan-perusahaan operator telekomunikasi yang dulu mengatakan teknologi seluler ini sangat mahal karena itu harus dijual dengan tarif jasa yang sangat mahal pula, seperti menjilat ludahnya sendiri ketika beberapa bulan belakangan ini begitu gencarnya mengeluarkan iklan-iklan yang mengesankan produk mereka sekarang sudah murah, tidak mahal lagi. Setiap hari kita dapat melihat iklan-iklan ini begitu gencar dikampanyekan di berbagai media masa dan juga alat promosi lainnya. Pertanyaan yang paling mendasar dari perilaku perusahaan ini adalah MENGAPA BARU SEKARANG MEREKA MELAKUKAN INI? Kenapa dahulu tidak melakukan program-program “tarif murah” seperti yang mereka iklankan? Apakah ada alasan-alasan tertentu yang melatarbelakangi perilaku mereka ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk diajukan melihat track record mereka yang selama ini “arogan” dan kukuh untuk mempertahankan tarif yang sangat mahal. Apalagi pemeriksaan yang silih berganti dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap kasus-kasus dugaan awal kartel, oligopoli kolusif, dan kepemilikan saham yang sama di dua perusahaan, yakni PT Telkomsel dan PT Indosat Tbk (lihat tulisan saya sebelumnya yang berjudul: Struktur Pasar Telkomsel dan Indosat: Oligopoli Kolusif?), hal ini tentunya membuat para pelaku usaha ini menjadi was-was dan berusaha menarik hati para konsumennya dengan iklan-iklan yang mengesankan tarif murah, namun jika kita kaji lebih lanjut ternyata program-program tersebut tidak memberikan keuntungan nyata bagi konsumen karena mengandung terms and conditions yang tidak menguntungkan, modusnya pun bermacam-macam ada yang harus satu jam pemakaian dulu, ada yang bonus tarif pulsanya hanya digunakan tengah malam, ada yang baru pada menit kesekian memperoleh tarif murah, dan lain-lainnya yang tentunya sebenarnya mencerminkan ketidakjujuran dalam memberikan pelayanan tarif yang murah untuk rakyat. Intinya adalah operator memainkan tarif agar terkesan murah padahal tidak. Kesan ini bisa terjadi karena operator memodifikasi struktur dan faktor pembentuk tarif. Terbentuknya tarif berasal dari konsep biaya yang ditanggung operator. Idealnya, tarif yang dikenakan terhadap konsumen adalah berasal dari penjumlahan antara cost based ditambah mark up. Mark up adalah komponen-komponen seperti keuntungan, Internal Rate of Return (IRR), dan variabel lain yang berkaitan dengan investasi.

Modus dan indikator-indikator ini serta ditambah munculnya pemain baru dengan brand: Three, memunculkan dugaan awal adanya praktek Predatory Pricing (Harga Pemangsa) diantara mereka atau pelaku usaha itu sendiri. Predatory Pricing adalah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, yang tujuan utamanya untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing usaha untuk masuk ke dalam pasar yang sama, segera setelah berhasil mengusir pelaku usaha pesaing dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan yang mungkin didapatkan. Predatory Pricing ini menjadi barrier to entry pelaku usaha lain yang ingin masuk ke dalam pasar telekomunikasi. Untuk sementara waktu atau jangka pendek praktek predatory pricing memang menguntungkan bagi konsumen karena harga produk yang dijual oleh pelaku usaha menjadi lebih murah, tetapi belum tentu di masa depan, ketika pelaku usaha sukses dalam menjalankan stategi ini dan menyebabkan dia tidak memiliki pesaing yang berarti lagi, pelaku usaha tersebut akan menaikkan harga kembali bahkan mungkin setinggi-tingginya untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya agar pengorbanan yang pernah dikeluarkan selama pelaku usaha tersebut melakukan praktek predatory pricing terbayarkan. Hukum Persaingan Usaha mengatur predatory pricing pada Pasal 7 UU No. 5 Tahun 1999 untuk predatory pricing yang didasarkan kepada perjanjian diantara pelaku usaha dan Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999 yang didasarkan kepada tindakan sepihak dari pelaku usaha. Ketentuan ini diatur secara Rule of Reason yang artinya untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, penegak hukum harus mempertimbangkan keadaan di sekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi persaingan secara tidak patut, dan untuk itu disyaratkan bahwa penegak hukum harus dapat menunjukkan akibat-akibat anti persaingan, atau kerugian yang secara nyata terdapat persaingan. Kiranya ini menjadi pekerjaan rumah KPPU untuk menyikapi dan menyelidiki jujur atau tidaknya pelaku usaha perusahaan telekomunikasi ini dalam menjalankan usahanya.

KONSUMEN KRITIS VS KETIDAKJUJURAN PELAKU USAHA

Inti dari hukum persaingan usaha adalah kejujuran dari pelaku usaha untuk menjalankan kegiatannya. Kejujuran ini syarat mutlak untuk mewujudkan persaingan usaha yang sehat, efisien dan transparan. Negara kita mau tidak mau dapat dikatakan menjadi negara kapitalis jika dilihat dari praktek ekonomi yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, apalagi dlihat dari segi aspek peraturan perundang-undangan kita. Pernyataan Presiden SBY yang menyatakan tidak ada tempat untuk kapitalisme di negara ini tentunya menjadi tanda tanya besar untuk kita semua. Kepentingan kapitalisme tentunya berorientasi pada pemodal dan mencari keuntungan dengan sebesar-besarnya. Hal ini juga berlaku bagi perusahaan telekomunikasi di Indonesia, jarang sekali perusahaan yang jujur dalam melakukan kegiatan usahanya sehingga tentunya dapat merugikan konsumen. Oleh sebab itu dibutuhkan sikap kritis konsumen terhadap produk-produk yang dikeluarkan perusahaan operator telekomunikasi tersebut. Konsumen sendiri yang harus cerdas dan kritis dalam memilih produk yang menguntungkan konsumen. Namun, tentunya kekritisan konsumen ini juga didukung oleh kebijakan negara yang pro ekonomi rakyat, karena itu dibutuhkan evaluasi menyeluruh terhadap sistem dan regulasi kita yang mengatur mengenai telekomunikasi. Sistem dan regulasi yang ada hendaknya harus pro ekonomi rakyat yang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi bangsa yang sangat baik.

[1] Staf Pengaduan Subkomisi Hak Sipil dan Politik Komnas HAM

[+/-] Read more...

Thursday, March 29, 2007

STRUKTUR PASAR TELKOMSEL DAN INDOSAT: OLIGOPOLI KOLUSIF?

“Temasek Holding (Pte) Ltd atau biasa disebut Temasek memiliki empat puluh satu persen saham di PT Indosat Tbk dan tiga puluh lima persen di PT Telkomsel”

Berdasarkan data kepemilikan saham ini, maka tidak salah jika masyarakat berasumsi bahwa ada konflik kepentingan dalam penanganan operasional manajemen di kedua perusahaan telekomunikasi tersebut, yang cukup besar market share-nya di Indonesia. Ketika sebuah perusahaan didirikan dan selanjutnya menjalankan kegiatannya, yang menjadi tujuan utama dari perusahaan tersebut adalah mencari keuntungan setinggi-tingginya dengan prinsip pengeluaran biaya yang seminimum mungkin. Begitu juga, dengan prinsip pemilikan saham. Pemilikan saham sama artinya dengan pemilikan perusahaan. Kepemilikan perusahaan oleh seseorang atau badan atau lembaga korporasi tentunya bertujuan bagaimana caranya kepemilikan tersebut dapat menghasilkan keuntungan terhadap diri si pemiliki saham tersebut. Bicara keuntungan tentunya kita tidak hanya bicara tentang keuntungan financial, tetapi juga tentang keuntungan non financial, seperti memiliki informasi penting, penguasaan efektif, pengatur kebijakan, dan lain-lainnya. Oleh sebab itu, kepemilikan saham Temasek di kedua perusahaan tersebut menarik untuk diamati dalam rangka mencermati apakah ada tercipta persaingan tidak sempurna untuk kepemilikan saham tersebut dalam bentuk OLIGOPOLI KOLUSIF?

Seperti halnya yang diketahui masyarakat bahwa Temasek adalah perusahaan holding yang sangat besar di Singapura dengan bentuk badan hukum Private Limited. Pada awalnya Temasek masuk ke pasar telekomunikasi Indonesia melalui divestasi PT Indosat Tbk pada tahun 2002 dengan cara pembelian saham tidak langsung, artinya pada saat itu yang membeli saham Indosat adalah Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) melalui suatu perusahaan yang khusus didirikan untuk membeli saham Indosat, yaitu Indonesia Communication Limited (ICL). Sedangkan STT sendiri adalah perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Singapura yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh Temasek Holding Pte Ltd. Jadi, dari susunan atau pola kepemilikan saham yang berlapis-lapis di Indosat, tersirat ada sesuatu kepentingan yang tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan financial semata tetapi lebih dari itu. Pertanyaannya adalah apakah keuntungan non financial yang sebenarnya dicari Temasek? Jawaban sederhana atas pertanyaan ini adalah : Perjalanan waktu yang akan menentukan. Tetapi sebenarnya tujuan tersebut dapat diketahui segera jika pihak Indonesia memiliki niat untuk mengetahuinya. Hal ini tentunya akan mudah menemukannya dengan berbagai metode atau teknik investigasi untuk menemukan maksud dan niat dibalik pembelian saham Indosat oleh Temasek tersebut.

Sepak terjang Temasek di dunia telekomunikasi Indonesia semakin lengkap, dengan masuknya Temasek ke Perusahaan PT Telkomsel melalui Singapore Telecommunications Mobile Pte Ltd (SingTel Mobile). Dimana kepemilikan saham SingTel Mobile di PT Telkomsel adalah sebesar tiga puluh lima persen. Sedangkan Temasek sendiri memiliki kepemilikan saham di SingTel Mobile.

Dengan adanya kepemilikan saham tidak langsung oleh Temasek pada PT Telkomsel dan PT Indosat Tbk telah memunculkan dugaan terjadinya praktek kartel dan oligopoli di bidang jasa layanan seluler. Hal ini disebabkan untuk jasa layanan seluler khususnya di jalur GSM, hanya ada tiga ‘pemain besar’ yaitu PT Telkomsel, PT Indosat dan PT Excelcomindo Pratama, Tbk (XL). Ini artinya sekitar 75 market share telekomunikasi Indonesia di “kuasai” oleh Temasek dan dugaan awal terjadinya praktek Oligopoli kolusif di pasar telekomunikasi Indonesia.

Selanjutnya, yang menjadi bahan pertanyaan kita semua adalah apakah yang dimaksud dengan Oligopoli kolusif? Di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Usaha Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dijelaskan bahwa yang dimaksud Oligopoli ialah Perjanjian yang dilarang antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa melebihi 75% dari market share atas satu jenis barang atau jasa tertentu. Jika ketentuan Undang-Undang ini ditafsirkan secara otentik maka pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha ekonomi baru dikatakan melakukan oligopoli kalau memenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur perjanjian dan unsur market share lebih dari 75%. Sehingga jika kemudian ditafsirkan secara a contrario maka, pelaku usaha yang tidak membuat perjanjian dan memiliki market share dibawah atau sama dengan 74%, tidak memenuhi definisi melakukan praktek oligopoli sehingga tidak melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dari ketentuan Undang-Undang ini jelas terlihat bahwa sesungguhnya Undang-Undang sendirilah yang membatasi pengertian dan ruang lingkup praktek oligopoli yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Pengertian dan ruang lingkup ini membuat penegakkan hukum terhadap praktek Oligopoli ini menjadi kaku dan merugikan kepentingan pesaing yang dimatikan dan juga bahkan mungkin konsumen barang atau jasa dari pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli tadi.

Istilah Oligopoli sendiri memiliki arti “beberapa penjual”. Hal ini bisa diartikan minimum 2 perusahaan dan maksimum 15 perusahaan. Hal ini terjadi disebabkan adanya barrier to entry yang mampu menghalangi pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar. Jumlah yang sedikit ini menyebabkan adanya saling ketergantungan (mutual interdepedence) antar pelaku usaha[1]. Ciri yang paling penting dari praktek oligopoli ialah bahwa setiap pelaku usaha dapat mempengaruhi harga pasar dan mutual interdependence. Praktek ini umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk ke dalam pasar dan untuk menikmati laba super normal di bawah tingkat maksimum dengan menetapkan harga jual terbatas (limiting process) sehingga menyebabkan kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli menjadi tidak ada[2]. Sehingga apabila pelaku-pelaku usaha yang tadi melakukan kolusi maka mereka akan bekerja seperti satu perusahaan yang bergabung untuk memaksimalkan laba dengan cara berlaku kolektif seperti layaknya perusahaan monopoli[3], inilah yang disebut disebut praktek oligopoli kolusif. Perilaku ini akan mematikan pesaing usaha lainnya dan sangat membebankan ekonomi masyarakat.

Kembali pada kasus pemilikan saham Temasek di PT Indosat, Tbk., dan PT Telkomsel. Walaupun tidak ada perjanjian diantara PT Telkomsel dengan PT Indosat, Tbk., tetapi persoalan oligopoli sebenarnya tidak boleh hanya dilihat dari sekedar apakah ada perjanjian atau tidak? atau berapa persentase market share-nya?. Di dalam dunia telekomunikasi Indonesia khususnya untuk provider GSM, hanya ada tiga perusahaan besar. Sehingga jelas jika terbukti kedua perusahaan tersebut melakukan “kerjasama”, maka akan ada praktek oligopoli yang kolusif. Sedikitnya perusahaan yang bergerak di sektor ini membuat mereka harus memiliki pilihan sikap, koperatif atau non koperatif. Suatu pelaku usaha/perusahaan akan bersikap non koperatif jika mereka berlaku sebagai diri sendiri tanpa ada perjanjian eksplisit maupun implisit dengan pelaku usaha/perusahaan lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya perang harga. Sedangkan beberapa pelaku usaha/perusahaan beroperasi dengan model koperatif untuk mencoba meminimalkan persaingan. Jika pelaku usaha dalam suatu oligopoli secara aktif bersikap koperatif satu sama lain, maka mereka telibat dalam KOLUSI.

Pada kasus Temasek, jelas terlihat sebagai pemegang saham tentunya menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Policy ‘mengeruk’ keuntungan ini tentunya dituangkan di seluruh aspek yang menjadi unit bisnis usahanya, termasuk didalamnya adalah PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk. Sehingga dengan status kepemilikan di dua perusahaan tersebut akan dapat mengoptimalkan maksud dan tujuan Temasek tersebut. Caranya memaksimumkan keuntungan tersebut adalah kolusi antara PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., dengan mempertimbangkan saling ketergantungan mereka, sehingga mereka menghasilkan output dan harga monopoli serta mendapatkan keuntungan monopoli. Hal ini dapat terlihat dari penentuan tarif pulsa GSM antara PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., dimana boleh dikatakan tarif harga pulsa GSM di Indonesia adalah salah satu yang termahal di dunia. Padahal, negara-negara tetangga sekitar sudah dapat menerapkan harga unit pulsa yang sangat murah dan menguntungkan masyarakat serta tidak mematikan persaingan usaha. Apalagi notabene-nya, di negara Temasek sendiri harga unit pulsa boleh dikatakan sangat murah. Lantas, kenapa di Indonesia harga pulsa menjadi sangat mahal?. Padahal secara konsep teknologi, dimungkinkan penggunaan untuk menekan harga unit pulsa menjadi sangat murah, contohnya adalah pada teknologi CDMA Flexi dan Esia yang sering dihambat perkembangan oleh “pihak-pihak tertentu” yang tidak menginginkan perkembangan bisnis usaha ini. Padahal jelas-jelas menguntungkan masyarakat.

Coba lihat selisih harga tarif pulsa antara produk PT Telkomsel dan PT Indosat yang tidak begitu jauh. Selisih tarif yang sangat kecil ini mengindikasikan dugaan awal terjadinya praktek Oligopoli Kolusif diantara mereka. Penentuan tarif harga yang sangat mahal ini, jelas adalah pengeksploitasian ekonomi masyarakat dan boleh dikatakan sebagai Kolonialisme Gaya Baru.

Jika indikasi awal sudah ditemukan, pertanyaan selanjutnya apakah pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mampu untuk menyelesaikan persoalan ini? Yang jelas adalah salah satu mandat dari KPPU adalah untuk mengawasi pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimana salah satu tujuan dari Undang-Undang ini adalah MENJAGA KEPENTINGAN UMUM DAN MENINGKATKAN EFISIENSI EKONOMI NASIONAL SEBAGAI SALAH SATU UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT. Jadi kita tunggu saja aksi dari KPPU melihat praktek oligopoli yang dilakukan PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., berani atau tidak? dan pertanyaan selanjutnya adalah berpihak ke rakyat (baca: kepentingan umum) atau tidak? Mari kita tunggu bersama-sama walaupun tanpa batas waktu..

[+/-] Read more...

Monday, January 22, 2007

KETELADANAN...

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi mengubah dunia.
Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah.

Maka cita-cita itu pun agak kupersempit, lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku. Namun tampaknya, hasrat itu pun tiada hasilnya.

Ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang yang paling dekat denganku. Tapi celakanya, mereka pun tidak mau diubah!

Dan kini, sementara aku berbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari: "Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku.

Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku; Kemudian siapa tau aku bahkan bisa mengubah dunia!"

(Terukir di sebuah makam di Westminster Abbey, Inggris, Tahun 1100 M)

[+/-] Read more...

Wednesday, January 17, 2007

Banci

Banci...
Sebuah kata yang diidentikan dengan mahluk berjenis kelamin laki-laki yang berpenampilan dan bersikap seperti wanita. Di Indonesia, kedudukan "jenis kelamin banci" masih dianggap suatu hal yang menjijikan dan tidak jarang dinistakan oleh sebagian besar orang. Mereka sering kali dianggap bukan manusia dan tidak dimanusiakan hanya karena sebuah pilihan hidup yang menjadi keyakinan mereka atau bisa juga karena "takdir". Wallahualam.

Hanya Tuhan-lah yang tau bagaimana nasib atau peruntungannya nanti diakhir jaman. Namun, yang jelas sebagai manusia mereka tetap punya hak asasi yang telah melekat sejak mereka dilahirkan. Karena itu jika kita masih punya keinginan tetap disebut manusia, maka sudah sepantasnya kita menghargai hak asasi setiap manusia yang ada dimuka bumi ini sebagai ciptaan Allah SWT, Tuhan Penguasa Alam Semesta.

Siapapun dia, apapun profesinya, dan bagaimana kehidupannya, seharusnya sebagai sesama manusia kita harus saling menghormati, menghargai, toleransi, mencintai, mengasihi, dan saling mengingatkan dalam kebajikan.

Wassalam

[+/-] Read more...

Friday, January 12, 2007

Budaya Malu Dikikis Gerakan Syahwat Merdeka

Tanggal 9 Januari 2007 yang lalu, Taufiq Ismail berbicara dihadapan dosen-dosen IPB. Makalah yangbeliau baca sama dengan pidato Taman Ismail Marzuki yaitu : 'Budaya Malu Dikikis Gerakan Syahwat Merdeka'. Di penghujung pidatonya tadi, beliau mengusap airmatanya, sedih melihat kondisi yang terjadi.Saya lampirkan tulisan beliau yang dahsyat menyentak kita semua untuk dijadikan bahan renungan:

Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka
Pidato Kebudayaan Taufiq Ismail

Sederetan gelombang besar menggebu-gebu menyerbu pantai Indonesia, naik kedaratan, masuk ke pedalaman. Gelombang demi gelombang ini datang susun-bersusun dengan suatu keteraturan, mulai 1998 ketika reformasi meruntuhkan represi 39 tahun gabungan zaman Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pembangunan, dan membuka lebar pintu dan jendela Indonesia. Hawa ruangan yang sumpek dalam dua zaman itu berganti dengan kesegaran baru. Tapi tidak terlalu lama, kini digantikan angin yang semakin kencang dan arus menderu-deru.

Kebebasan berbicara, berpendapat, dan mengeritik, berdiri-menjamurnya partai-partai politik baru, keleluasaan berdemonstrasi, ditiadakannya SIUPP(izin penerbitan pers), dilepaskannya tahanan politik, diselenggarakannya pemilihan umum bebas dan langsung, dan seterusnya, dinikmati belum sampai sewindu, tapi sementara itu silih berganti beruntun-runtun belum terpecahkan krisis yang tak habis-habis. Tagihan rekening reformasi ternyata mahal sekali.

Bahana yang datang terlambat dari benua-benua lain itu menumbuh dan menyuburkan kelompok permissif dan addiktif negeri kita, yang sejak 1998 naik daun. Arus besar yang menderu-deru menyerbu kepulauan kita adalah gelombang sebuah gerakan syahwat merdeka. Gerakan tak bersosok organisasi resmi ini tidak berdiri sendiri, tapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa mendanainya, ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media massa cetak dan elektronik jadi pengeras suaranya.

Siapakah komponen gerakan syahwat merdeka ini?

PERTAMA adalah praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok dalam perilaku seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Sebagian berjelas-jelas anti kehidupan berkeluarga normal, sebagian lebih besar, tak mau menampakkan diri.

KEDUA, penerbit majalah dan tabloid mesum, yang telah menikmati tiada perlunya SIUPP. Mereka menjual wajah dan kulit perempuan muda, lalu menawarkan jasa hubungan kelamin pada pembaca pria dan wanita lewat nomor telepon genggam, serta mengiklankan berbagai alat kelamin tiruan (kue pancong berkumis dan lemper berbaterai) dan boneka karet perempuan yang bisa dibawa bobok bekerjasama.

KETIGA, produser, penulis skrip dan pengiklan acara televisi syahwat. Seks siswa dengan guru, ayah dengan anak, siswa dengan siswa, siswa dengan pria paruh baya, siswa dengan pekerja seks komersial ---- ditayangkan pada jam prime time, kalau pemainnya terkenal. Remaja berseragam OSIS memang menjadi sasaran segmen pasar penting tahun-tahun ini. Beberapa guru SMA menyampaikan keluhan pada saya. "Citra kami guru-guru SMA di sinetron adalah citra guru tidak cerdas, kurang pergaulan dan memalukan." Mari kita ingat ekstensifnyapengaruh tayangan layar kaca ini. Setiap tayangan televisi, rata-rata170.000.000 yang memirsa. Seratus tujuh puluh juta pemirsanya.

KEEMPAT, 4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100,000 (seratusribu) situs porno Indonesia di internet. Dengan empat kali klik di komputer, anatomi tubuh perempuan dan laki-laki, sekaligus fisiologinya, dapat diakses tanpa biaya, sama mudahnya dilakukan baik dari San Francisco, Timbuktu, Rotterdam mau pun Klaten. Pornografi gratis di internet luarbiasa besar jumlahnya. Seorang sosiologAmerika Serikat mengumpamakan serbuan kecabulan itu di negaranya bagaikan"gelombang tsunami setinggi 30 meter, dan kami melawannya dengan dua telapaktangan." Di Singapura, Malaysia, Korea Selatan situs porno diblokir pemerintah untukterutama melindungi anak-anak dan remaja. Pemerintah kita tidak melakukan hal yang sama.

KELIMA, penulis, penerbit dan propagandis buku syahwat ¼ sastra dan ½ sastra. Di Malaysia, penulis yang mencabul-cabulkan karyanya penulis pria.Di Indonesia, penulis yang asyik dengan wilayah selangkang dan sekitarnya mayoritas penulis perempuan. Ada kritikus sastra Malaysia berkata: "Wah, pakTaufiq, pengarang wanita Indonesia berani-berani. Kok mereka tidak malu ya?" Memang begitulah, RASA MALU ITU YANG SUDAH TERKIKIS, bukan saja pada penulis-penulis perempuan aliran s.m.s. (sastra mazhab selangkang) itu, bahkan lebih-lebih lagi pada banyak bagian dari bangsa.

KEENAM, penerbit dan pengedar komik cabul. Komik yang kebanyakan terbitan Jepang dengan teks dialog diterjemahkan ke bahasa kita itu tampak dari kulit luar biasa-biasa saja, tapi di dalamnya banyak gambar hubungan badannya, misalnya (bukan main) antara siswa dengan Bu Guru. Harganya Rp 2.000.Sebagian komik-komik itu tidak semata lucah saja, tapi ada pula kadar ideologinya. Ideologinya adalah anjuran perlawanan pada otoritas orangtua dan guru, yang banyak aturan ini-itu, termasuk terhadap seks bebas. Dalam salah satu komik itu saya baca kecaman yang paling sengit adalah padaMenteri Pendidikan Jepang. Tentu saja dalam teks terjemahan berubah, yang dikecam jadinya Menteri Pendidikan Nasional kita.

KETUJUH, produsen, pengganda, pembajak, pengecer dan penonton VCD/DVD biru. Indonesia kini jadi sorga besar pornografi paling murah di dunia, diukurdari kwantitas dan harganya. Angka resmi produksi dan bajakan tidak saya ketahui, tapi literatur menyebut antara 2 juta - 20 juta keping setahun. Harga yang dulu Rp 30.000 sekeping, kini turun menjadi Rp 3.000, bahkan lebih murah lagi. Dengan biaya 3 batang rokok kretek yang diisap 15 menit, orang bisa menonton sekeping VCD/DVD biru dengan pelaku kulit putih dalam 6 posisi selama 60 menit. Luarbiasa murah. Anak SD kita bisa membelinya tanpa risi tanpa larangan peraturan pemerintah. Seorang peneliti mengabarkan bahwa di Jakarta Pusat ada murid-murid laki-laki yang kumpul dua sore seminggu di rumah salah seorang dari mereka, lalu menayangkan VCD-DVD porno. Sesudah selesai mereka onani bersama-sama.Siswa sekolah apa, dan kelas berapa? Siswa SD, kelas lima. Tak diceritakanapa ekses selanjutnya.

KEDELAPAN, fabrikan dan konsumen alkohol. Minuman keras dari berbagai merek dengan mudah bisa diperoleh di pasaran. Kemasan botol kecil diproduksi, mudah masuk kantong celana, harga murah, dijual di kios tukang rokok didepan sekolah, remaja dengan bebas bisa membelinya. Di Amerika dan Eropa batas umur larangan di bawah 18 tahun. Negeri kita pasar besar minuman keras, jualannya sampai ke desa-desa.

KESEMBILAN, produsen, pengedar dan pengguna narkoba. Tingkat keterlibatanIndonesia bukan pada pengedar dan pengguna saja, bahkan kini sampai pada derajat produsen dunia. Enam juta anak muda Indonesia terperangkap sebagai pengguna, ratusan ribu menjadi korbannya.

KESEPULUH, fabrikan, pengiklan dan pengisap nikotin. Korban racun nikotin57.000 orang / tahun, maknanya setiap hari 156 orang mati, atau setiap 9 menit seorang pecandu rokok meninggal dunia. Pemasukan pajak 15 trilyun(1996), tapi ongkos pengobatan berbagai penyakit akibatnya 30 trilyunrupiah.Mengapa alkohol, narkoba dan nikotin termasuk dalam kategori kontributora rus syahwat merdeka ini? Karena sifat addiktifnya, kecanduannya, yangsangat mirip, begitu pula proses pembentukan ketiga addiksi tersebut dalam susunan syaraf pusat manusia. Dalam masyarakat permissif, interaksi antara seks dengan alkohol, narkoba dan nikotin, akrab sekali, sukar dipisahkan.Interaksi ini kemudian dilengkapi dengan tindak kriminalitas berikutnya,seperti pemerasan, perampokan sampai pembunuhan. Setiap hari berita semacam ini dapat dibaca di koran-koran.

KESEBELAS, pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Dalam masyarakat permissif, iklan semacam ini menjadi jembatan komunikasi yang diperlukan.

KEDUABELAS, germo dan pelanggan prostitusi. Apabila hubungan syahwat suka-sama-suka yang gratis tidak tersedia, hubungan dalam bentuk perjanjianbayaran merupakan jalan keluarnya. Dalam hal ini prostitusi berfungsi.

KETIGABELAS, dokter dan dukun praktisi aborsi. Akibat tujuh unsur pertama diatas, kasus perkosaan dan kehamilan di luar pernikahan meningkat drastis. Setiap hari dapat kita baca kasus siswa SMP/SMA memperkosa anak SD, satu-satu atau rame-rame, ketika papi-mami tak ada di rumah dan pembantu pergi ke pasar berbelanja. Setiap ditanyakan apa sebab dia/mereka memperkosa, selalu dijawab 'karena terangsang sesudah menonton VCD/DVD biru dan ingin mencobakannya. ' Praktisi aborsi gelap menjadi tempat pelarian,bila kehamilan terjadi.

Seorang peneliti dari sebuah universitas di Jakarta menyebutkan bahwa angka aborsi di Indonesia 2,2 juta setahunnya. Maknanya setiap 15 detik seorang calon bayi di suatu tempat di negeri kita meninggal akibat dari salah satu atau gabungan ketujuh faktor di atas. Inilah produk akhirnya. Luar biasa destruksi sosial yang diakibatkannya.

Dalam gemuruh gelombang gerakan syahwat merdeka ini, pornografi dan pornoaksi menjadi bintang panggungnya, melalui gemuruh kontroversipro-kontra RUU APP. Karena satu-dua-atau beberapa kekurangan dalam RUU itu, yang total kontramenolaknya, tanpa sadar terbawa dalam gelombang gerakan syahwat merdeka ini.Tetapi bisa juga dengan sadar memang mau terbawa di dalamnya.

Salah satu kekurangan RUU itu, yang perlu ditambah-sempurnakan adalahperlindungan bagi anak-cucu kita, jumlahnya 60 juta, terhadap kekerasanpornografi. Dalam hiruk pikuk di sekitar RUU ini, terlupakan betapa dalam usia sekecil itu 80% anak-anak 9-12 tahun terpapar pornografi, situs pornodi internet naik lebih sepuluh kali lipat, lalu 40% anak-anak kita yang lebih dewasa sudah melakukan hubungan seks pra-nikah.

Sementara anak-anak diAmerika Serikat dilindungi oleh 6 Undang-undang, anak-anak kita belum,karena undang-undangnya belum ada. KUHP yang ada tidak melindungi mereka karena kunonya. Gelombang Syahwat Merdeka yang menolak total RUU ini berarti menolak melindungi anak-cucu kita sendiri.Gerakan tak bernama tak bersosok organisasi ini terkoordinasi bahu-membahu menumpang gelombang masa reformasi mendestruksi moralitas dan tatanan sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong kapitalisme jagat raya.

Menguji Rasa Malu Diri Sendiri

Seorang pengarang muda meminta pendapat saya tentang cerita pendeknya yang dimuat di sebuah media. Dia berkata, "Kalau cerpen saya itu dianggap pornografis, wah, sedihlah saya." Saya waktu itu belum sempat membacanya.Tapi saya kirimkan padanya pendapat saya mengenai pornografi.

Begini.Misalkan saya menulis sebuah cerpen. Saya akan mentes, menguji karya saya itu lewat dua tahap. Pertama, bila tokoh-tokoh di dalam karya saya itu saya ganti dengan ayah, ibu, mertua, isteri, anak, kakak atau adik saya; lalu kedua, karya itu saya bacakan di depan ayah, ibu, mertua, isteri, anak,kakak, adik, siswa di kelas sekolah, anggota pengajian masjid, jamaah gereja; kemudian saya tidak merasa malu, tiada dipermalukan, tak canggung,tak risi, tak muak dan tidak jijik karenanya, maka karya saya itu bukan karya pornografi.

Tapi kalau ketika saya membacakannya di depan orang-orang itu saya merasa malu, dipermalukan, tak patut, tak pantas, canggung, risi, muak dan jijik,maka karya saya itu pornografis.Hal ini berlaku pula bila karya itu bukan karya saya, ketika saya menilaikarya orang lain. Sebaliknya dipakai tolok ukur yang sama juga, yaitu bila orang lain menilai karya saya. Setiap pembaca bisa melakukan tes tersebutdengan cara yang serupa. Pendekatan saya adalah pengujian rasa malu itu.

Rasa malu itu yang kini luntur dalam warna tekstil kehidupan bangsa kita, dalam terlalu banyak hal.Sebuah majalah mesum dunia dengan selaput artistik, Playboy, menumpangtaufan reformasi dan gelombang liberalisme akhirnya terbit juga diIndonesia. Majalah ini diam-diam jadi tempat pelatihan awal onani pembacaAmerika, dan kini, beberapa puluh tahun kemudian, dikalahkan internet,sehingga jadilah publik pembaca Playboy dan publik langganan situs porno internet Amerika masturbator terbesar di dunia. Majalah pabrik pengerukkeuntungan dari kulit tubuh perempuan ini, mencoba menjajakan bentuk eksploitasi kaum Hawa di negeri kita yang pangsa pasarnya luarbiasa besar ini.

Bila mereka berhasil, maka bakal berderet antri masuk lagi majalah anti-tekstil di tubuh perempuan dan fundamentalis- syahwat-merdeka seperti Penthouse, Hustler, Celebrity Skin, Cheri, Swank, Velvet, Cherry Pop, XXXTeens dan seterusnya.Untuk mengukur sendiri rasa malu penerbit dan redaktur Playboy Indonesia, saya sarankan kepada mereka melakukan sebuah percobaan, yaitu mengganti model 4/5 telanjang majalah itu dengan ibu kandung, ibu mertua, kakak, adik,isteri dan anak perempuan mereka sendiri. Saran ini belum berlaku sekarang,tapi kelak suatu hari ketika Playboy Indonesia keluar perilaku aslinya dalammasalah ketelanjangan model yang dipotret.

Sekarang mereka masih malu-malu kucing. Sesudah dibuat dalam edisi dummy, promosikan foto-foto itu itu di 10 saluran televisi dan 25 suratkabar. Bagaimana? Berani? Malu atau tidak? Pendekatan lain yang dapat dipakai juga adalah menduga-memperkirakan-mengingat akibat yang mungkin terjadi sesudah orangmembaca karya pornografis itu. Sesudah seseorang membaca, katakan cerpen yang memberi sugesti secara samar-samar terjadinya hubungan kelamin, apalagi kalau dengan jelas mendeskripsikan adegannya, apakah dengan kata-kata indah yang dianggap sastrawi atau kalimat-kalimat brutal, maka pembaca akan terangsang. Sesudah terangsang yang paling penakut akan onani dan yang paling nekat akan memperkosa. Memperkosa perempuan dewasa tidak mudah, karena itu anak keciljadi sasaran.

Perkosaan banyak terjadi terhadap anak-anak kecil masih bau susu bubuk belum haid yang di rumah sendirian karena papi-mami pergi kerja,pembantu pergi ke pasar, jam 9-10 pagi. Anak-anak tanggung pemerkosa itu, ketika diinterogasi dan ditanya kenapa,umumnya bilang karena sesudah menonton VCD porno mereka terangsang inginmencoba sendiri. Merayu orang dewasa takut, mendekati perempuan-bayarantidak ada uang. Kalau diteliti lebih jauh kasus yang sangat banyak ini (peneliti yang rajin akan bisa mendapat S-3 lewat tumpukan guntingan koran),mungkin saja anak itu juga pernah membaca cerita pendek, puisi, novel ataukomik cabul.Akibat selanjutnya, merebak-meluaslah aborsi, prostitusi, penularan penyakitkelamin gonorrhoea, syphilis, HIV-AIDS, yang meruyak di kota-kota besarIndonesia berbarengan dengan akibat penggunaan alkohol dan narkoba yang takkalah destruktifnya.

Akibat Sosial Ini Tak Pernah Difikirkan Penulis Semua rangkaian musibah sosial ini tidak pernah difikirkan oleh penulis cerpen-puisi- novelis erotis yang umumnya asyik berdandan dengan dirinya sendiri, mabuk posisi selebriti, ke sana disanjung ke sini dipuji, tidak pernah bersedia merenungkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh tulisannya.Sejumlah cerpen dan novel pasca reformasi sudah dikatakan orang mendekatiVCD/DVD porno tertulis. Maukah mereka membayangkan, bahwa sesudah sebuahcerpen atau novel dengan rangsangan syahwat terbit, maka beberapa ratus atau ribu pembaca yang terangsang itu akan mencontoh melakukan apa yang disebutkan dalam alinea-alinea di atas tadi, dengan segala rentetan kemungkinan yang bisa terjadi selanjutnya? Destruksi sosial yang dilakukan penulis cerpen-novel syahwat itu,beradik-kakak dengan destruksi yang dilakukanprodusen-pengedar- pembajak- pengecer VCD/DVD porno, beredar (diperkirakan)sebanyak 20 juta keping, yang telah meruyak di masyarakat kita, masyarakatkonsumen pornografi terbesar dan termurah di dunia. Dulu harganya Rp 30.000sekeping, kini Rp 3.000, sama murahnya dengan 3 batang rokok kretek.

Mengisap rokok kretek 15 menit sama biayanya dengan memiliki dan menontonsekeping VCD/DVD syahwat sepanjang 6o menit itu. Bersama dengan produsenalkohol, narkoba dan nikotin, mereka tidak sadar telah menjadi unsur pentingpengukuhan masyarakat permissif-addiktif serba-boleh- apa-saja- genjot, yangdengan bersemangat melabrak apa yang mereka anggap tabu selama ini,berpartisipasi meluluh-lantakkan moralitas anak bangsa.Perzinaan yang Hakekatnya Pencurian adalah Ciri Sastra SelangkangAkhirnya sesudah mendapatkan korannya, saya membaca cerpen karya penulisyang disebut di atas.

Dalam segi teknik penulisan, cerpen itu lancar dibaca.Dalam segi isi sederhana saja, dan secara klise sering ditulis pengarangIndonesia yang pertama kali pergi ke luar negeri, yaitu pertemuan seoranglaki-laki di negeri asing dengan perempuan asing negeri itu. Kedua-duanyakesepian. Si laki-laki Indonesia lupa isteri di kampung. Di akhir ceritamereka berpelukan dan berciuman. Begitu saja.Dalam interaksi yang kelihatan iseng itu, cerpenis tidak menyatakan sikapyang jelas terhadap hubungan kedua orang itu. Akan ke mana hubungan ituberlanjut, juga tak eksplisit. Apakah akan sampai pada hubungan pernikahanatau perzinaan, kabur adanya.Perzinaan adalah sebuah pencurian. Yang melakukan zina, mencuri hak oranglain, yaitu hak penggunaan alat kelamin orang lain itu secara tidak sah.

Pezina melakukan intervensi terhadap ruang privat alat kelamin yang dizinai.Dia tak punya hak untuk itu. Yang dizinai bersekongkol dengan yang melakukanpenetrasi, dia juga tak punya hak mengizinkannya. Pemerkosa adalah perampokpenggunaan alat kelamin orang yang diperkosa. Penggunaan alat kelaminseseorang diatur dalam lembaga pernikahan yang suci adanya. Para pengarang yang terang-terangan tidak setuju pada lembaga pernikahan,dan/atau melakukan hubungan kelamin semaunya, yang tokoh-tokoh dalamkaryanya diberi peran syahwat merdeka, adalah rombongan pencuri bersuluhsinar rembulan dan matahari.

Mereka maling tersamar. Mereka celakanya, tidakmerasa jadi maling, karena (herannya) ada propagandis sastra menghadiahimereka glorifikasi, dan penerbit menyediakan gratifikasi. Propagandis danpenerbit sastra semacam ini, dalam istilah kriminologi, berkomplot denganmaling.Hal ini berlaku bukan saja untuk karya (yang dianggap) sastra, tapi jugauntuk bacaan turisme, rujukan tempat hiburan malam, dan direktori semacamitu. Buku petunjuk yang begitu langsung tak langsung menunjukkan caraberzina, lengkap dengan nama dan alamat tempat berkumpulnya alat-alatkelamin yang dapat dicuri haknya dengan cara membayar tunai atau dengankartu kredit gesekan.Sastra selangkang adalah sastra yang asyik dengan berbagai masalah wilayahselangkang dan sekitarnya. Kalau di Malaysia pengarang-pengarang yangmencabul-cabulkan karya kebanyakan pria, maka di Indonesia pengarang sastraselangkang mayoritas perempuan. Beberapa di antaranya mungkin memang nymphomania atau gila syahwat, hinggaada kritikus sastra sampai hati menyebutnya "vagina yang haus sperma".

Mestinya ini sudah menjadi kasus psikiatri yang baik disigi, tentangkemungkinannya jadi epidemi, dan harus dikasihani.Bila dua abad yang lalu sejumlah perempuan Aceh, Jawa dan Sulawesi Selatannaik takhta sebagai penguasa tertinggi kerajaan, Sultanah atau Ratu dengankenegarawanan dan reputasi terpuji, maka di abad 21 ini sejumlah perempuanIndonesia mencari dan memburu tepuk tangan kelompok permissif dan addiktifsebagai penulis sastra selangkang, yang aromanya jauh dari wangi, menyiarkanbau amis-bacin kelamin tersendiri, yang bagi mereka parfum sehari-hari.

Dengan Ringan Nama Tuhan DipermainkanDi tahun 1971-1972, ketika saya jadi penyair tamu di Iowa Writing Program,Universitas Iowa, di benua itu sedang heboh-hebohnya gelombang gerakanperempuan. Kini, 34-an tahun kemudian, arus riaknya sampai ke Indonesia.Kaum feminis Amerika waktu itu sedang gencar-gencarnya mengumumkanpembebasan kaum perempuan, terutama liberasi kopulasi, kebebasan berkelamin,di koran, majalah, buku dan televisi. Menyaksikan penampilan para maling hak penggunaan alat kelamin orang lainitu di layar kaca, yang cengengesan dan mringas-mringis seperti GloriaSteinem dan semacamnya, banyak orang mual dan jijik karenanya.

Mereka tidakpeduli terhadap epidemi penyakit kelamin HIV-AIDS yang meruyak menyebarseantero Amerika Serikat waktu itu, menimpa baik orang laki-laki maupunperempuan, hetero dan homoseksual, akibat kebebasan yang bablas itu.Di setasiun kereta api bawah tanah New York, seorang laki-laki korbanHIV-AIDS menadahkan topi mengemis. Belum pernah saya melihat kerangkamanusia berbalut kulit tanpa daging dan lemak sekurus dia itu. Sinar matanyakosong, suaranya parau.Kematian banyak anggota kelompok ini, terutama di kalangan seniman di tahun1970-an, tulis seorang esais, bagaikan kematian di medan perang Vietnam.Sebuah orkestra simfoni di New York, anggota-anggotanya bergiliran matisaban minggu karena kejangkitan HIV-AIDS dan narkoba, akibat kebebasanbablas itu.

Para pembebas kaum perempuan itu tak acuh pada bencana menimpabangsa karena asyik mendandani penampilan selebriti diri sendiri. Sayasangat heran. Sungguh memuakkan.Kalimat bersayap mereka adalah, "This is my body. I'll do whatever I likewith my body." "Ini tubuhku. Aku akan lakukan apa saja yang aku suka dengantubuhku ini." Congkaknya luar biasa, seolah-olah tubuh mereka itu ciptaanmereka sendiri, padahal tubuh itu pinjaman kredit mencicil dari Tuhan, cumasatu tingkat di atas sepeda motor Jepang dan Cina yang diobral di iklankoran-koran.Mereka tak ada urusan dengan Maha Produser Tubuh itu.

Penganjur masyarakatpermissif di mana pun juga, tidak suka Tuhan dilibatkan dalam urusan.Percuma bicara tentang moral dengan mereka. Dengan ringan nama Tuhandipermainkan dalam karya. Situasi kita kini merupakan riak-riak gelombangdari jauh itu, dari abad 20 ke awal abad 21 ini, advokatornya dengansemangat dan stamina mirip anak-anak remaja bertopi beisbol yang selalumeniru membeo apa saja yang berasal dari Amerika Utara itu.

PenutupCiri kolektif seluruh komponen Gerakan Syahwat Merdeka ini adalah budayamalu yang telah kikis nyaris habis dari susunan syaraf pusat dan rohanimereka, dan tak adanya lagi penghormatan terhadap hak penggunaan kelaminorang lain yang disabet-dicopet- dikorupsi dengan entengnya. Tanpa memilikihak penggunaan kelamin orang lain, maka sesungguhnya Gerakan Syahwat Merdekaadalah maling dan garong genitalia, berserikat dengan alkohol, nikotin dannarkoba, menjadi perantara kejahatan, mencecerkan HIV-AIDS, prostitusi danaborsi, bersuluh bulan dan matahari.

***IPB, 9 Januari 2007."Fa maadza ba'da-lhaqq, illa-dl_dlalaal" Leo Imanov Abdu-lLah AllahsSlave

[+/-] Read more...

Thursday, January 11, 2007

Surat Saya ke Kapolri perihal Sepeda Motor


Dengan hormat,
Sehubungan dengan pemberlakuan efektif penggunaan lajur kiri jalan yang diperuntukkan untuk sepeda motor di wilayah DKI Jakarta pada tanggal 7 Januari 2007, maka perlu saya sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa dari pemantauan terhadap berita-berita yang ada di media massa, baik cetak maupun elektronik. Saya mendapatkan kesimpulan bahwa adanya pernyataan dari pihak Kepolisian yang menyatakan bahwa dasar hukum dari penerapan aturan tersebut adalah Pasal 51 ayat (1) jo. ayat (2) huruf b PP No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan;
Bahwa dari pengamatan langsung penerapan kebijakan ini tidak dilakukan diseluruh wilayah DKI Jakarta dengan alasan yang dikemukakan oleh pihak Kepolisian, aturan ini hanya diprioritaskan untuk wilayah-wilayah yang rawan akan kemacetan;
Bahwa belum adanya rambu-rambu lalu lintas yang jelas dan terang untuk menunjukkan penerapan aturan tersebut secara faktual dan permanen. Kalaupun ada hanya bersifat sementara dan terkadang tidak diketahui oleh pengendara sepeda motor secara jelas dan nyata letaknya;
Bahwa Saya juga melihat adanya oknum polisi yang secara arogan memarahi pengendara sepeda motor dengan kata-kata yang tidak seharusnya diucapkan oleh penegak hukum sebagai aparatur negara. Padahal pengendara tersebut hanya bertanya kenapa kendaraannya diberhentikan dan dituduh melanggar aturan lajur kiri sedangkan pada saat itu dia sedang berusaha melewati angkutan bis kota yang sembarangan berhenti untuk menurunkan penumpang dan pada saat itu lajur disebelah kanan sedang padat merayap;
Bahwa setelah kebijakan ini diterapkan para pengendara sepeda motor harus ”mengantre” dibelakang bis kota yang sedang berhenti disembarang tempat jika lebar jalanan agak kecil yang akhirnya menghabiskan banyak waktu dan tidak produktif. Hal ini ditambah lagi mobil-mobil yang parkir sembarangan di pinggir-pinggir jalan tanpa juga ditindak oleh Polisi;
Bahwa 891 pengendara sepeda motor telah ditilang atas tuduhan pelanggaran atas Aturan tersebut dengan variasi denda Rp 20.000, s.d. Rp 40.000,-. Padahal jumlah uang sebesar itu pada saat kondisi ekonomi seperti sekarang ini, sangatlah berarti untuk menyambung kehidupan.
Menurut pendapat Saya:
Bahwa berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak kecualinya”;
Bahwa berdasarkan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”;
Bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan: ”Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”.
Maka perlu disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa pada prinsipnya saya sangat menghargai sekali upaya-upaya dari pihak Kepolisian yang bertugas menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat umum;
2. Bahwa salah satu upaya tersebut adalah diterapkannya Aturan Lajur Kiri tersebut dengan alasan untuk mengurangi tingginya angka kecelakaan lalu lintas di jalan raya dan mengurangi kemacetan yang terjadi di jalan-jalan DKI Jakarta;
3. Bahwa penggunaaan Pasal 51 PP No. 43 Tahun 1993 sebagai landasan hukum aturan tersebut setelah saya baca menyatakan ayat (1): ”Tata Cara berlalu lintas di jalan adalah dengan mengambil jalur jalan sebelah kiri”, selanjutnya pada ayat (2) huruf b menyatakan: ”Penggunaan jalan selain jalur sebelah kiri hanya dapat dilakukan apabila ditunjuk atau ditetapkan oleh petugas yang berwenang, untuk digunakan sebagai jalur kiri yang bersifat sementara”, bersifat tidak terang alias kabur dalam penafsiran;
4. Bahwa berdasarkan Pasal 52 PP No. 43 Tahun 1993, pengendara sepeda motor dapat melalui jalur sebelah kanan apabila ingin melewati kendaraan lain di depannya;
5. Bahwa berdasarkan Pasal a quo tidak secara nyata dinyatakan bahwa yang menggunakan jalur jalan sebelah kiri tersebut adalah sepeda motor. Sehingga menurut penafsiran saya bisa saja jalur digunakan khusus untuk mobil atau angkutan bis kota, dll.
6. Bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (1) jo. Penjelasannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus memperhatikan aspek ekonomi, lingkungan hidup dan energi. Oleh sebab itu ketika pihak Kepolisian hendak menerapkan suatu aturan seharusnya memperhatikan minimal ketiga aspek ini.
Dengan dasar dan alasan tersebut maka saya berkesimpulan sarana dan prasarana dari Aturan Kebijakan Lajur Kiri tersebut belum siap dan tidak memperhatikan kehidupan realitas kehidupan yang terjadi di masyarakan serta tidak memperhatikan aspek ekonomi, lingkungan hidup dan energi. Sehingga Aturan tersebut harus dicabut segera dan jika akan dibuat aturan baru hendaknya harus lebih manusiawi dan memperhatikan aspek-aspek sebagaimana yang telah saya sebutkan.
Atas perhatian dan kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.


[+/-] Read more...

Wednesday, January 10, 2007

Catatan Dari Sebuah Persoalan Besar yang Belum Selesai

Sebuah kebijakan operasi militer bersandi Operasi Jaring Merah yang akhirnya menempatkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Kebijakan ini menyulut gejolak sosial yang dikemudian hari ternyata menjadi konflik bersenjata yang berkepanjangan. Target operasi ini semula bertujuan menumpas gerakan yang disebut Gerakan Aceh Merdeka yang selanjutnya disingkat GAM. Terkadang Pemerintah Republik Indonesia juga menyebut Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) untuk kelompok ini. Pelaksanaan lapangan operasi tersebut telah menyebabkan jatuhnya korban masyarakat sipil dalam jumlah yang sangat besar. Data dari Amnesty International selama pelaksanaan operasi militer (1989-1998) tercatat 871 orang tewas di tempat kejadian perkara, 387 orang hilang yang kemudian ditemukan tewas, 550 orang dinyatakan hilang, 368 orang korban penganiayaan, 120 korban dibakar rumahnya, 102 korban perkosaan serta kurang lebih 400 toko, lembaga pemerintahan dan sekolah-sekolah dibakar dan dirusak. Operasi militer ini bukan hanya telah menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (Gross Violation of Human Rights) yang begitu nyata, seperti tindak kekerasan/ penganiayaan yang langsung maupun tidak langsung dirasakan sendiri oleh masyarakat, namun juga suatu pembantaian peradaban religius dan kemanusiaan (Crime Againts Culture and Humanity) yang sudah berabad-abad dibangun oleh masyarakat Aceh. Ironisnya, fakta yang ada di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan GAM/GPK juga ikut menjadi korban. Operasi militer ini menjadi suatu hal yang menakutkan dan traumatik karena aparat militer (Baca: TNI, dulunya ABRI) cenderung bertindak semena-mena terhadap masyarakat yang dicurigai mempunyai hubungan dengan GAM/GPK, tetapi terkadang kasusnya banyak yang direkayasa seperti rakyat yang tidak terlibat tindak kriminalitas apalagi melanggar hukum, dianggap sebagai anggota GAM/GPK.

Penetapan Daerah Operasi Militer terhadap Aceh adalah kebijakan politik negara yang langsung berada di bawah tanggung jawab presiden saat itu. Penetapan ini berawal dari laporan gubernur Aceh saat itu, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, tentang situasi dan kondisi keamanan yang waktu itu mengalami gangguan teror keamanan yang dilakukan oleh GPK. Sebelum ditetapkan, langkah yang sudah diambil dan dilakukan adalah pendekatan kultural dan kemasyarakatan dengan mengedepankan tokoh-tokoh agama, seperti T. Ali Hasjmy. Namun belum juga mampu meredam aksi-aksi GPK, sehingga akhirnya pemerintah memutuskan pendekatan militer dan inilah awal tragedi kemanusian tersebut.

Memang ketegangan sudah lama terjadi dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat Aceh, yang memiliki warisan budaya yang kaya dan berbeda dengan kebudayaan Jawa, serta juga ada tradisi lama yang menolak dominasi yang dilakukan pihak dari luar daerah tersebut. Ketegangan ini bermula dari “penipuan” (kursif dari penulis) yang dilakukan oleh Presiden RI yang pertama, Ir. Soekarno. Sehingga tokoh masyarakat Aceh yang sangat dikagumi dan dihormati yaitu Muhamad Daud Beureuh, “mengangkat senjata” memberontak dan melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat, dengan DI/TII-nya. Disamping itu juga pemberlakuan yang tidak adil dalam pembagian keuangan pusat dan daerah membuat rakyat Aceh berontak. Hampir sebagian besar wilayah Aceh merupakan daerah penghasil minyak yang menyumbangkan pendapatan devisa negara lebih dari 20%. Terutama di Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Timur. Namun ternyata kekayaan alam yang sangat melimpah itu hanya sedikit sekali yang manfaatnya dirasakan oleh masyarakat Aceh. Contohnya adalah PT Arun LNG Co. dan ExxonMobil, dua perusahaan pengeksplorasian minyak di Aceh. Mereka sanggup membayar gaji karyawannya sampai dengan ratusan juta rupiah dan melengkapi fasilitas di perumahan karyawan mereka dengan fasilitas sekolah dan lingkungan yang sangat baik sekali, tetapi dilain sisi disekitar lokasi pengeksplorasian mereka terdapat sekolah-sekolah yang hanya berdindingkan kayu dan beratapkan seng serta siswa-siswanya banyak yang tidak memakai alas kaki, apalagi mempunyai buku sekolah dan buku tulis. Kenyataan dan kesenjangan sosial ini telah berlangsung puluhan tahun dan sangat menyakitkan hati sebagian besar orang Aceh.

Sehingga akhirnya atas desakan dan gelombang refomasi yang terjadi di Jakarta, dengan jatuhnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan, pada tanggal 7 Agustus 1998, Panglima TNI waktu itu, Jenderal Wiranto, mencabut status Daerah Operasi Militer. Hal ini menandai berakhirnya era sepuluh tahun sejak 1989 sejak operasi militer bersandi Operasi Jaring Merah yang penuh dengan catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia. Karena pada saat ditetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer adalah suatu keputusan politik, maka pencabutan status DOM harus diikuti dengan pertanggungjawaban politik, hukum, sosial dan ekonomi. Untuk semua hal itu maka presidenlah yang paling bertanggung jawab terhadap kejahatan kemanusiaan di Aceh, selain itu juga Panglima ABRI pada saat itu. Karena keputusan politik itu berada di tingkat presiden. Kalau kemudian secara teknis muncul persoalan-persoalan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, bisa saja diusut oknum lainnya. Tapi pertanggungjawaban paling makro adalah pemberlakuan status daerah operasi militer di Aceh.

[+/-] Read more...

Tanggung Jawab Negara terhadap Lingkungan

Bencana selalu datang menimpa bangsa Indonesia. Banjir, Longsor dan Gempa Bumi telah menjadi kata-kata yang akrab di telinga kita. Kerugian materiil yang begitu besar, korban tewas dan luka, para pengungsi, dan kehancuran ekonomi adalah istilah-istilah yang begitu sering terdengar dan terbaca diberbagai media massa setiap tahunnya bahkan hampir setiap bulan. Tetapi suatu hal yang sangat memalukan sekali bagi kita yang memiliki suatu pemerintahan dan seharusnya berkewajiban mengurus hal ini, justru hampir dikatakan telah gagal dalam mengatasi persoalan-persoalan ini. Sejak peristiwa Tsunami Aceh tanggal 24 Desember 2004, yang mengakibatkan kerugian materiil yang luar biasa dan jumlah korban tewas yang sangat besar, ternyata tidak juga menjadi pelajaran kita bersama khususnya pemerintah dalam mencegah dan menangani bencana alam yang sering terjadi di negeri potensial bencana ini.

Banjir dan Longsor, adalah dua kata yang dua bulan belakangan ini mulai terdengar lagi di telinga kita. Setiap hari hampir semua media massa cetak dan elektronik memuat berita-berita yang berkaitan dengan banjir dan longsor. Bacalah judul “Banjir di Sumatera Semakin Meluas” yang termuat sebagai headline di Harian Kompas tanggal 30 Desember 2006. Status headline berita ini seharusnya juga menjadi cambuk bagi pemerintah untuk bekerja lebih serius lagi dalam menangani persoalan ini. Bukan sekedar berwacana seperti yang dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat memberikan kata sambutan di Perayaan Hari Natal Bersama tahun 2006. Kita sebagai rakyat sudah muak dengan pernyataan-pernyataan para pemimpin negara ini yang terkadang tidak solutif bahkan cenderung kontraproduktif. Coba saja kita segarkan memori kita kembali ketika Pasca Gempa Bumi Yogya terjadi. Beberapa hari setelah gempa tersebut dengan mudahnya Wakil Presiden kita, Jusuf Kalla, mengatakan pemerintah akan memberikan kompensasi kepada warga yang menjadi korban sebesar 30 juta setiap kepala keluarga. Namun dikemudian hari dengan mudahnya juga beliau berkata, uang tersebut tidak bisa dikeluarkan karena harus membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mencairkannya dan sampai sekarang janji tersebut belum terealisir.

Masih segar dalam ingatan kita juga persoalan Semburan Lumpur Panas Lapindo yang sampai makalah ini dibuat tetap masih belum selesai. Padahal telah 7 bulan berlalu pasca semburan lumpur tersebut, belum menunjukkan tanda-tanda dapat diatasi. Kerugian miliaran rupiah dan hilangnya hak sipil serta hak ekonomi, sosial, budaya masyarakat sekitar belum juga menyadarkan pemerintah kita untuk melakukan sesuatu untuk mengatasi persoalan ini.

Kita semua seharusnya malu mengakui sebagai sebuah bangsa yang beradab karena kita tidak pernah mau belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu. Kita cenderung permisif dan pelupa atau sengaja melupakan atas peristiwa-peristiwa kerusakan lingkungan yang mengakibatkan terjadinya bencana-bencana ini. Namun, yang paling bertanggungjawab dalam hal ini adalah Pemerintah. Sebagai suatu representatif pelaksanaan kekuasaan negara seharusnya pemerintah dapat memenuhi kewajibannya untuk memberikan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun sebaliknya, pemerintah sering kali bertingkah tidak mau mendengar dan bersikap seolah-olah pihak yang paling mengetahui semua persoalan. Kritik dan masukan pendapat dari organisasi-organisasi pecinta lingkungan, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), seringkali diabaikan oleh pemerintah.

Kewajiban pemerintah atas pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini dapat kita baca pada Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”[1]. Hal yang sama dapat kita baca juga pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup[2] serta Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia[3].

Dari uraian pasal demi pasal diatas dapat kita terjemahkan bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dimiliki oleh setiap orang yang berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia. Sehingga menurut ajaran Universalitas Hak Asasi Manusia, kewajiban untuk hal tersebut ada pada negara dalam hal ini pemerintah[4]. Sejak Indonesia merdeka atau setidaknya sejak berlakunya semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, seharusnya pemerintah sudah memiliki agenda dan program yang jelas bagaimana langkah-langkah yang harus diambil untuk pemenuhan kewajibannya ini.Tetapi jika kita mengacu kepada bencana-bencana yang sering terjadi dan jatuhnya korban yang begitu luar biasa, menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengatasi persoalan ini. Bencana alam memang tidak dipungkiri sering terjadi, tetapi faktor kelalaian dan ketidakprofesionalan penanganan bencana dan pencegahannya yang justru menjadi faktor terbesar dalam menimbulkan korban. Permasalahan-permasalahan yang timbul seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk memperbaiki diri dalam hal penanganan dan pencegahan bencana.

[1] Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, SH, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hal. 50.
[2] Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi ketujuh, Cet. Ketujuh belas, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Lampiran II.
[3] Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Tahun 2000 dan Hak Asasi Manusia Tahun 1999, Bandung: Penerbit Citra Umbara, 2001
[4] Lembar Fakta HAM, Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia, Edisi II, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2002

[+/-] Read more...

Monday, January 8, 2007

Mencoba Berbagi


Mencoba Berbagi...
Itulah kata-kata yang yang terlintas dalam pikiran saya ketika akan berpartisipasi dalam situs blogger ini. Dari awal sejak saya merintis (SMP) dan memutuskan melawan ketidakadilan, telah terniat dihati untuk selalu berbagi tentang pengetahuan dan cerita agar dapat menjadi inspirasi semua orang yang ingin mengetahui sebuah kebenaran dan kesalahan.
Dulu, ungkapan dan pemikiran coba saya tuangkan dalam bentuk buku-buku kecil. Buku-buku ini saya photocopy sendiri dan dibagikan untuk kalangan terbatas. Buku-buku kecil inilah yang menjadi salah satu alat proganda untuk melawan ketidakadilan dan kejahatan terhadap kemanusiaan di muka bumi ini. Namun, berkat dorongan dan saran sahabat saya, Asep Mulyana, yang menyuruh untuk membuat situs pribadi di website blogger ini agar apa yang saya pikirkan dan ingin ungkapkan dapat lebih diketahui lebih banyak orang. Thanks Kang Asep atas sarannya.
Ini saja pemikiran awal saya untuk pengisian perdana situs ini. Berharap dilain waktu dapat lebih produktif dalam berkarya dan menulis. Mohon dukungan dan saran dari teman-teman seperjuangan yang akan melawan ketidakadilan dan kejahatan kemanusiaan di muka bumi ini.
Wassalam,

Husendro

[+/-] Read more...