Charity Fund

Bantulah Saudara-saudara kita yang menjad korban jebolnya tanggul di Situ Gintung, Tangerang, Banten-Indonesia Melalui Palang Merah Indonesia

Bantuan Bencana Umum:Bank Mandiri Cabang Wisma Baja a/c 070.00001.160.17 a/n Palang Merah Indonesia



NEWS and ARTICLES

Please read news and my articles this following :

Wednesday, January 28, 2009

Permasalahan Kegiatan Usaha Distribusi LPG terkait Antitrust Law

Dinamika perkembangan dalam sektor industri yang strategis sangat menarik dikaji berdasarkan persepsi persaingan usaha. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjadikan hal tersebut sebagai upaya untuk menilai kondisi persaingan usaha yang terdapat dalam industri tersebut terkait efisiensi. Distribusi industri Liquid Petroleum Gas (LPG) kini menjadi perhatian banyak kalangan terutama setelah dilakukannya program konversi minyak tanah ke LPG pada tahun 2007.
Di pasar, terdapat dua macam produksi LPG, yaitu LPG PSO (subsidi) tabung 3 kg dan LPG Non PSO (non subsidi) 12 kg, 50 kg, bulk. Saat ini, KPPU telah mengidentifikasi sejumlah isu penting dalam distribusi komoditi LPG, yaitu kelangkaan, penetapan harga dan terjadinya hambatan masuk bagi pelaku usaha di sektor tersebut (entry barrier).

Berdasarkan analisis KPPU, terjadinya kelangkaan terhadap ketersediaan LPG di pasaran disusul dengan mahalnya harga jenis LPG non PSO di tingkat konsumen. Isu kelangkaan muncul setelah Pertamina melakukan koreksi dengan menaikan harga LPG non PSO (12Kg) pada pertengahan tahun 2008. Di sisi lain, penetapan harga terjadi karena kedua jenis LPG telah terdapat ketentuan bahwa harga LPG PSO ditetapkan oleh pemerintah dan LPG Non PSO oleh Pertamina.
Pada prinsipnya, peluang usaha untuk industri LPG Non PSO masih sangat terbuka bagi pelaku usaha swasta. Apalagi hal tersebut dimungkinkan sesuai kebijakan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, yang pada Pasal 51 menyebutkan bahwa :
(1) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga yang melaksanakan kegiatan niaga LPG wajib memiliki atau menguasai fasilitas dan sarana penyimpanan dan pengisian tabung LPG (bottling plant).
(2) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mempunyai dan menggunakan merek dagang tertentu.
(3) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga bertanggung jawab atas standar dan mutu LPG, tabung LPG.
Hanya saja industri LPG menjadi tidak menarik bagi investor karena mereka menilai bahwa harga jual LPG yang masih dibawah harga keekonomian.
Untuk mendalami dampak kebijakan pemerintah di sektor LPG, KPPU mencermati tiga kebijakan pemerintah untuk industri LPG PSO. Tiga kebijakan tersebut adalah :
1. Peraturan Presiden (Perpres) No. 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Penetapan Harga LPG PSO. Pasal-pasal yang dicermati dalam Perpres tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 9 :
”Pemerintah menugaskan badan usaha sebagai penyedia dan pendistribusi LPG PSO, dilakukan dengan cara penunjukan langsung (apabila hanya ada satu badan usaha) dan/atau lelang.”
Pasal 11 :
”Badan Usaha penyedia dan pendistribusi LPG PSO melakukan pengawasan pelaksanaan penjualan dan pendistribusian LPG PSO”
Pasal 15 :
”Menteri melakukan pengawasan dalam pelaksanaan kegiatan penyediaan dan pendistribusian LPG PSO.”
KPPU menilai bahwa meskipun telah terdapat ketentuan sebagaimana di atas, tetapi pengawasan yg dilakukan oleh Menteri terkait masih belum jelas. Ketidakjelasan tersebut jelas tergambar pada kondisi timbulnya kelangkaan pasokan LPG.
2. Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 21 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Penyediaan dan Pendistribusian LPG PSO. Pada Pasal 5 ayat 2, memuat ketentuan persyaratan penugasan penyediaan dan pendistribusian LPG PSO sebagai berikut :
- memiliki lzin Usaha Niaga Umum LPG untuk melaksanakan penyediaan dan pendistribusian LPG PSO
- memiliki aset kilang pengolahan BBM dan LPG dalam negeri termasuk pengembangannya dalam jangka panjang
- jaminan ketersediaan pasokan
- memiliki kemampuan dalam menyediakan infrastruktur dan jaringan untuk penyediaan dan pendistribusian LPG PSO di NKRI
3. Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 1661 Tahun 2008 tentang Harga Patokan LPG PSO Tahun Anggaran 2008 adalah Kepmen yang mengatu harga patokan LPG PSO, yaitu :
- Harga Patokan ditetapkan berdasarkan Contract Price (CP) Aramco rata-rata pada periode bulan bersangkutan ditambah dengan biaya distribusi (termasuk handling) dan margin keuntungan.
- Harga patokan LPG PSO ditetapkan sebesar 141,21 % dari CP Aramco ditambah Rp 390,10/kg yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan harga untuk setiap kilogram LPG PSO
Selain menyoal kebijakan terkait, maka dalam kajian industri ini, KPPU melakukan analisis terhadap perkembangan industri dan struktur industrinya. Hasil analisis KPPU menunjukkan bahwa LPG merupakan industri yang saat ini masih terkonsentrasi dimana Pertamina berperan sebagai pelaku usaha tunggal yang mempunyai akses hulu-hilir. Padahal, sejalan dengan arah konversi energi, LPG menjadi salah satu komoditi strategis yang diperlukan masyarakat luas sebagai pengganti minyak tanah. Lebih lanjut, ternyata dalam implementasi kebijakannya kemudian terjadi beberapa permasalahan terutama setelah dilakukannya program konversi.
Kelangkaan LPG merupakan permasalahan utama. Hal ini dipicu oleh mekanisme pengawasan di sisi distribusi yg kurang memadai, infrastruktur yg terbatas dan keterbatasan pasokan LPG. Industri LPG pada prinsipnya terbuka bagi siapa saja. Hanya saja, beberapa kebijakan mengakibatkan pelaku usaha menjadi sulit untuk masuk dalam industri LPG, baik untuk LPG PSO maupun LPG Non PSO.
Harga LPG Non PSO yang masih “disubsidi” oleh Pertamina menimbulkan entry barrier bagi pelaku usaha swasta. Pertamina ingin mencapai harga keekonomiannya dengan menaikkan harga LPG PSO agar memungkinkan kondisi terbukanya pasar bagi pelaku usaha lain. Tapi, pada saat yang bersamaan pula pemerintah melakukan intervensi dengan menunda kenaikan tersebut. Hal ini memperlihatkan bahwa LPG sepenuhnya telah menjadi komoditas yang diatur dan tidak dapat diserahkan ke pasar sehingga entry barrier tetap ada.
Sementara untuk LPG PSO, kebijakan yang mensyaratkan kepemilikan kilang BBM dan LPG serta pembangunan dalam jangka panjang jelas menimbulkan entry barrier. Hal mana terjadi akibat sejumlah persyaratan wajib diberlakukan dan semakin mempersulit pelaku usaha swasta yang ingin masuk sebagai penyedia dan pendistribusi LPG PSO. Dengan fakta bahwa pasokan LPG domestik tidak mencukupi kebutuhan LPG selama ini (ketergantungan impor), maka kemudian pilihan program konversi minyak tanah ke LPG menjadi pertanyaan besar. Seharusnya pemerintah melakukan pilihan komoditi lain dengan mempertimbangkan ketersediaan pasokan domestik yang ada.
Berdasarkan evaluasi dampak kebijakan, KPPU menyampaikan rekomendasi utama terkait sektor industri LPG, agar industri ini pun dapat mengadopsi nilai “ nilai persaingan sehat”, yaitu :
1. Perlunya grand strategy perencanaan yang tepat dari pemerintah terkait dengan program konversi energi dan konsekuensinya.
Dalam hal ini, seolah-olah LPG bukan lagi merupakan komoditas yang dibebaskan ke pasar baik untuk LPG PSO dan Non PSO, sehingga dengan menahan laju harga untuk LPG Non PSO, pemerintah juga perlu konsekuen siap mensubsidi Pertamina selaku pelaku usaha murni. Apabila pemerintah telah mengambil alih peran penetapan harga, maka pemerintah perlu memikirkan bahwa tidak akan terjadi pesaing baru dalam industri LPG.
2. Perlunya pengawasan yang ketat dalam pendistribusian LPG sampai ke tingkat konsumen. Dengan demikian, maka Pemerintah harus menjamin distribusi berjalan lancar sehingga dapat menjamin ketersediaan pasokan LPG bagi konsumen akhir serta jaminan harga jual LPG di titik konsumen yang wajar.
3. Perlunya penetapan formula harga jual LPG seperti halnya untuk komoditi LPG PSO.
Berdasarkan penetapan formula tersebut maka proses penetapan harga akan menjadi transparan. Penetapan formula ini juga akan melindungi konsumen jika terjadi eksploitasi produsen dalam menetapkan excessive pricing. Formula ini baik untuk diterapkan khususnya pada produk-produk yang menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga setiap kenaikan harganya akan jelas dan transparan sebab-sebabnya.
4. Pemerintah perlu memikirkan bentuk konversi energi yang dapat dipenuhi.
Saat ini, sesuai dengan data kecenderungan impor yang terus meningkat, pemerintah perlu memikirkan bentuk konversi energi yang sumber supply-nya secara full terpenuhi di dalam negeri. Apabila LPG dianggap pemerintah sebagai energi alternatif terbaik, maka perlu adanya langkah-langkah agar tidak terjadi ketergantungan impor, dan perbaikan masalah infrastruktur agar menjamin supply LPG. Atau benar-benar mencari alternatif konversi energi lainnya seperti city gas yang didukung oleh pasokan gas alam domestik yang berlimpah.
5. Perlunya harmonisasi dengan Menteri ESDM terkait dengan beberapa kebijakan yang dapat menimbulkan entry barrier bagi pelaku usaha di industri LPG.
6. Perlu adanya monitoring terhadap potensi perilaku anti persaingan dari Pertamina selaku pelaku utama dalam industri LPG.
7. Hal ini dilakukan untuk meminimasi kelangkaan di tingkat distribusi.
Jakarta, 22 Januari 2009
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

[+/-] Read more...

Govt unveils final stimulus plan to boost economy

Aditya Suharmoko, , THE JAKARTA POST , JAKARTA | Wed, 01/28/2009 8:45 AM | Headlines
After giving conflicting figures, the government has finally set the stimulus at Rp 71.3 trillion (US$6.31 billion) to boost the economy amid the threat of crisis.
The package will include the Rp 27.5 trillion stimulus previously announced, and is higher than the figure of Rp 50 trillion touted by President Susilo Bambang Yudhoyono.
The new stimulus revolves around tax savings worth Rp 43 trillion, waived taxes and import duties for businesses and certain households, worth Rp 13.3 trillion, as well as subsidies and govern-ment spending of Rp 15 trillion for businesses.

Speaking before the House of Representatives' Commission XI, which oversees financial affairs, Finance Minister Sri Mulyani Indrawati said the stimulus was aimed at increasing people's purchasing power, the competitiveness and sturdiness of businesses facing the economic downturn, and labor-intensive infrastructure spending.
Mulyani said the stimulus "is everything that cuts costs borne by businesses and the people", when asked why the stimulus was not fully designed to support businesses.
The incentives include paying the income taxes of employees — now paid by businesses — of up to Rp 6.5 trillion, subsidizing diesel by Rp 2.8 trillion, and increasing infrastructure spending by Rp 10.2 trillion.
According to the ministry, Indonesia's Rp 71.3 trillion stimulus package accounts for 1.4 percent of the country's GDP, higher than the recently announced US stimulus, percentage-wise, which only accounts for 1.2 percent of the GDP.
The government forecasts the economy to grow between 4.5 and 5.5 percent this year, a drop from an estimated 6.2 percent in 2008.
The global downturn is affecting Indonesia’s economy on all fronts, from weakening demand for exports and slowing down flows of investment, to reducing consumer purchasing power.
Businesses have long warned that massive layoffs could hit Indonesia when the impact of the global crisis hits home the hardest some time in the middle of this year.
To achieve 5 percent economic growth, the government will boost spending by 10.4 percent from a year earlier, as private consumption, the economy's main driver, looks likely to drop this year.
Fauzi Ichsan, an economist with Standard Chartered Bank, said that in the past four years, government spending was relatively low.
"The stimulus will boost growth only if the government and local administrations can spend the money effectively," he said.
Government Rp 71.3 trillion
Economic Stimulus Package

Tax savings
• Income taxes of individuals and corporates, as well as untaxed incomes: Rp 43 trillion
Waived taxes and import duties
for businesses and certain households
• Value-added taxes on oil and gas exploration, and cooking oil: Rp 3.5 trillion
• Import duties on raw materials and capital goods: Rp 2.5 trillion
• Income taxes of employees: Rp 6.5 trillion
• Income taxes for geothermal: Rp 0.8 trillion

Subsidies and government
spending for businesses
• Diesel subsidy: Rp 2.8 trillion
• Electricity rate discount for industries:
Rp 1.4 trillion
• Additional infrastructure spending: Rp 10.2 trillion
• Expansion of development for people living in rural areas (PNPM): Rp 0.6 trillion

Source: Finance Ministry

[+/-] Read more...