Charity Fund

Bantulah Saudara-saudara kita yang menjad korban jebolnya tanggul di Situ Gintung, Tangerang, Banten-Indonesia Melalui Palang Merah Indonesia

Bantuan Bencana Umum:Bank Mandiri Cabang Wisma Baja a/c 070.00001.160.17 a/n Palang Merah Indonesia



NEWS and ARTICLES

Please read news and my articles this following :

Tuesday, December 9, 2008

HUKUM ACARA PENGADILAN HAM DI INDONESIA

oleh:
Husendro, S.H.
(Bahan Kuliah Hukum Acara Pidana
tanggal 3 Desember 2008 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia

A. Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM
Undang-Undang Pengadilan HAM disahkan dan diundangkan sebagai respon terhadap adanya Pelanggaran HAM yang Berat yang terjadi di Timor-Timur dan tuntutan masyarakat internasional maupun nasional atas dugaan adanya beberapa peristiwa yang diduga merupakan kejahatan kemanusiaan yang paling serius. Sejak diundangkannya pada tanggal 23 November 2000, UU Pengadilan HAM telah dipergunakan dalam proses peradilan dugaan Pelanggaran HAM yang Berat, diantaranya adalah Peristiwa Tangjung Priok 1984, Peristiwa Timor-Timur 1999 dan Peristiwa Abepura 2000.
Undang-Undang Pengadilan HAM ini disahkan dan diundangkan pada 23 November 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026) pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam pertimbangannya, Pengadilan HAM perlu dibentuk untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan HAM serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan maupun masyarakat. Undang-Undang ini terdiri dari sepuluh bab dan lima puluh satu pasal, yakni Bab I yang berjudul Ketentuan Umum yang terdiri dari satu pasal; Bab II yang berjudul Kedudukan dan Tempat Kedudukan Pengadilan HAM yang terdiri dari dua pasal; Bab III yang berjudul Lingkup Kewenangan yang terdiri dari enam pasal; Bab IV yang berjudul Hukum Acara yang terdiri dari dua puluh empat pasal; Bab V yang berjudul Perlindungan Saksi dan Korban yang terdiri dari satu pasal; Bab VI yang berjudul Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi yang terdiri dari satu pasal; Bab VII yang berjudul Ketentuan Pidana yang terdiri dari tujuh pasal; Bab VIII yang berjudul Pengadilan HAM Ad-Hoc yang terdiri dari dua pasal; Bab IX yang berjudul Ketentuan Peralihan yang terdiri dari satu pasal; dan Bab X yang berjudul Ketentuan Penutup yang terdiri dari enam pasal.
Dasar pembentukan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM adalah sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pada bagian umum paragraf kedelapan Penjelasan Undang-Undang Pengadilan HAM disebutkan bahwa Pembentukan Undang-Undang ini didasarkan pada 2 (dua) pertimbangan, yakni: Pertama, Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat merupakan extra ordinary crimes dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materil maupun immateril yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejateraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kedua, Terhadap perkara Pelanggaran HAM yang Berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus. Kekhususannya adalah dalam penanganan Pelanggaran HAM yang Berat:
1. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad-hoc, penyidik ad-hoc, penuntut ad- hoc, dan hakim ad-hoc.
2. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
3. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
4. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
5. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluwarsa bagi Pelanggaran HAM yang Berat.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 telah memiliki hukum acara tersendiri yang dimuat di dalam berbagai ketentuannya. Namun demikian, hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tetap dijadikan acuan untuk melaksanakan proses beracara jika Undang-Undang Pengadilan HAM tidak mengatur hal-hal yang terkait dalam proses beracara untuk tindak pidana Pelanggaran HAM yang Berat sebagaimana bunyi dari Pasal 10 UU Pengadilan HAM.
Bagian yang terpenting dalam UU Pengadilan HAM selain menentukan siapa pelaku Pelanggaran HAM yang Berat, ialah menentukan apakah suatu peristiwa dapat dibuktikan adanya dugaan Pelanggaran HAM yang Berat atau tidak. Pembuktian ini menyangkut bagaimana unsur-unsur pembuktiannya dan lembaga yang berwenang melakukan pembuktian tersebut.

PENGADILAN HAM AD HOC
Untuk Pelanggaran HAM yang Berat yang terjadi sebelum diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dapat diputus dan diperiksa oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Pemberlakuan asas retroaktif ini dimungkinkan dengan dasar Pasal 28J ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Proses atau mekanisme pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sampai dengan saat ini, tetap menjadi sesuatu yang belum jelas. Perdebatan antara Komnas HAM dengan Jaksa Agung mengenai hal ini dapat dibaca hampir setiap harinya di berbagai media massa (Harian Kompas, Republika, Tempo, dll) pada sekitar bulan Februari-Maret 2008. Kata ”ad hoc” (yang berasal dari Bahasa Latin) dapat diartikan ”khusus” karena mengandung arti ”formed for a particular purpose” (dibentuk untuk suatu tujuan tertentu). Istilah ad hoc (formed for a particular purpose) juga mengandung pengertian ”tidak permanen”. Artinya, keberadaan suatu badan atau lembaga ad hoc akan berakhir apabila maksud pembentukan badan itu telah selesai dilaksanakan.
Dari sudut UU Pengadilan HAM, yang dimaksud Pengadilan HAM ad hoc adalah Pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara Pelanggaran HAM yang Berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Pengadilan HAM (sebelum 23 November 2000). Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR) berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada dalam lingkungan Peradilan Umum. Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM menyebutkan bahwa:

Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini”.

Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/PUU-V/2007 yang diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 20 Februari 2007 dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada tanggal 21 Februari 2007, Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM sepanjang kata ”dugaan” bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo berpendapat bahwa untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan respresentasi rakyat yaitu DPR. Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang berwenang untuk itu. Oleh karena itu, DPR tidak serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan UU Pengadilan HAM. Harus dipahami bahwa kata ”dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat dapat ditafsirkannya kata ”dugaan” berbeda dengan mekanisme sebagaimana diuraikan di atas.

B. Jenis Pelanggaran HAM yang Berat
Pelanggaran HAM yang Berat merupakan suatu kejahatan internasional. Dimana kejahatan ini dikategorikan sebagai musuh semua umat (hostis humanis generis). Oleh karenanya menjadi tanggung jawab semua umat manusia (obligatio erga omnes) untuk menyelesaikannya secara hukum, menghukum pelakunya secara adil. Pada awalnya doktrin ini berlaku untuk kejahatan bajak laut dan perdagangan budak pada abad 19. Selanjutnya berkembang mencakup kejahatan serius seperti genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Tidak ada satu definisi tunggal yang cukup memadai untuk menjelaskan perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai Pelanggaran HAM yang Berat (Gross Violation of Human Rights). Hal ini disebabkan berbagai bentuk pelanggaran HAM yang ada tidak cukup diterangkan dalam satu definisi hukum. Begitu juga dengan konsep Pelanggaran HAM yang Berat berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Di dalam undang-undang ini juga tidak dijelaskan mengenai definisi dan unsur-unsur dari Pelanggaran HAM yang Berat.
Berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan bahwa Pelanggaran HAM yang Berat meliputi: a. Kejahatan Genosida dan b. Kejahatan Kemanusiaan. Selanjutnya Pasal 8 UU Pengadilan HAM menyebutkan bahwa:


Kejahatan Genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.”

Kemudian pada Pasal 9 UU Pengadilan HAM disebutkan bahwa:

Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana yang dimaksud pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakaan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid.”

Akan tetapi tidak ada satu-pun bagian dalam undang-undang ini yang memuat unsur-unsur dari adanya Pelanggaran HAM yang Berat. Sehingga Mahkamah Agung Republik Indonesia membuat tafsiran tersendiri mengenai unsur-unsur adanya Pelanggaran HAM yang Berat yang diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul: “Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando”, pada tahun 2006.
Sehingga untuk memudahkah dalam memberikan analisa hukum untuk mencari unsur-unsur adanya Pelanggaran HAM yang Berat yang terjadi dalam yuridiksi Negara Indonesia, maka tulisan ini menggunakan konsep Pelanggaran HAM yang Berat berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan tafsiran Mahkamah Agung sebagaimana yang diterbitkan dalam bentuk buku sebagai sebuah pedoman para penegak hukum.

1. Unsur-unsur Umum Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Untuk kepentingan penulisan ini maka pembahasan jenis Pelanggaran HAM yang Berat lebih dititikberatkan kepada Kejahatan terhadap Kemanusiaan tanpa bermaksud mengecilkan arti Kejahatan Genosida. Hal ini disebabkan jenis Pelanggaran HAM yang Berat inilah yang paling sering terjadi dibandingkan dengan Kejahatan Genosida, khususnya di Indonesia.
a). Unsur Salah Satu Perbuatan
Setiap tindakan yang disebutkan dalam Pasal merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak ada syarat yang mengharuskan adanya lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan (misalnya: pembunuhan dan perkosaan), atau kombinasi dari tindak-tindak pidana itu. Misalnya dalam Keputusan kasus Akayesu (Prosecutor vs Akayesu, Case No. ICTR-96-4-T (Trial Chamber), September 2, 1998, para. 676-678) menyebutkan bahwa: ”...pelaku didakwa karena melakukan pemerkosaan saja...”.
b). Unsur yang Dilakukan Sebagai Bagian Dari Serangan
Tindakan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan. Misalnya, pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk sipil dapat dianggap sebagai serangan terhadap seluruh populasi sipil. Sedangkan unsur-unsur dari ”serangan” adalah:
a. Tindakan baik secara sistematis atau meluas, yang dilakukan secara berganda (multiplicity commission of act) yang dihasilkan atau merupakan bagian dari kebijakan negara atau organisasi. Tindakan berganda berarti harus bukan tindakan yang tunggal atau terisolasi.
b. Serangan baik yang secara meluas atau sistematis, tidak harus merupakan ’serangan militer’ seperti yang diatur dalam hukum humaniter internasional, tapi serangan dapat juga diartikan lebih luas, misalnya meliputi kampanye atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Serangan tersebut tidak hanya harus melibatkan angkatan bersenjata, atau kelompok bersenjata. Pasal 49 paragraf. 1 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949, menyebutkan bahwa: ”serangan dalam konteks militer adalah tindakan kekerasan terhadap musuh, baik ketika bertahan maupun menyerang”. Serangan yang tidak harus merupakan serangan militer juga terbukti di persidangan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor-Timur ketika mengadili Abilio Soares dan Eurico Guteres;
c. Persyaratan dianggap terpenuhi jika penduduk sipil adalah obyek utama dari serangan meluas.
ICTY dalam mengadili kasus Konarac, Kovac dan Vokovic menilik beberapa faktor untuk menguji apakah serangan tersebut masuk ke dalam kategori, yaitu:
1. Cara dan metode yang digunakan
2. Status korban
3. Jumlah korban
4. Apakah serangan tersebut diskriminatif?
5. Sifat kejahatan yang dilakukan
6. Adanya perlawanan terhadap penyerangan
7. Apakah para penyerangan mengikuti atau berusaha mengikuti ketentuan hukum perang?
c). Meluas atau Sistematis yang Ditujukan Kepada Penduduk Sipil
Syarat ”meluas atau sistematis” ini adalah syarat yang fundamental untuk membedakan kejahatan ini dengan kejahatan umum lain yang bukan merupakan kejahatan internasional.
Kata ”meluas” menunjuk pada jumlah korban, dan konsep ini mencakup ”massive, sering atau berulang-ulang, tindakannya dalam skala yang besar, dilaksanakan secara kolektif dan berakibat serius”. Sedangkan istilah ”sistematis” mencerminkan ”suatu pola atau metode tertentu” yang diorganisir secara menyeluruh dan menggunakan pola yang tetap. Unsur ”meluas” atau ”sistematis” tidak harus dibuktikan keduanya, kejahatan yang dilakukan dapat saja merupakan bagian dari serangan yang ”meluas” saja atau ”sistematis” saja.
Kata-kata ”meluas atau sistematis” tidak mensyaratkan bahwa setiap unsur kejahatan yang dilakukan harus selalu meluas atau sistematis. Dengan kata lain, jika terjadi pembunuhan, perkosaan dan pemukulan, maka setiap kejahatan itu tidak perlu harus meluas atau sistematis, kesatuan tindakan-tindakan diatas sudah memenuhi unsur-unsur meluas atau sistematis.
Undang-Undang Pengadilan HAM maupun Statuta Roma tidak memberikan definisi mengenai arti meluas atau sistematis. Oleh karena itu, penafsiran sistematis atau meluas mengacu kepada ICTY dan ICTR, dan doktrin. Berdasarkan yurisprudensi internasional, sebagaimana dalam putusan ICTR, dalam kasus Akayesu, dinyatakan bahwa kata meluas sebagai tindakan massive, berulang, dan berskala besar, yang dilakukan secara kolektif dengan dampak serius dan diarahkan terhadap sejumlah besar korban (multiplicity of victim). Sedangkan sistematis diartikan sebagai: ”diorganisasikan secara rapih dan mengikuti pola tertentu yang terus menerus berdasarkan kebijakan yang melibatkan sumber daya publik atau privat yang substansial”, meskipun kebijakan tersebut bukan merupakan kebijakan negara secara formal.
Untuk dapat dikatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, tindakan tersebut juga harus ”ditujukan terhadap penduduk sipil”. Syarat ini tidak mengartikan bahwa semua populasi suatu negara, entitas atau wilayah harus menjadi obyek serangan. Penggunaan istilah ”penduduk (population)” secara implisit menunjukkan adanya beberapa bentuk kejahatan yang berbeda dengan kejahatan yang bentuknya tunggal atau terhadap orang perorangan.
Kejahatan terhadap kemanusiaan juga dapat dilakukan terhadap penduduk sipil yang memiliki kebangsaan yang sama dengan pelaku, dan bahkan juga terhadap orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Istilah penduduk sipil mencakup semua orang yang tidak ikut secara aktif dalam permusuhan, atau yang bukan lagi pihak peserta tempur, termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah menyerah (hors de combat) karena sakit, terluka, ditawan atau karena alasan lainnya. Dengan demikian, milisi, paramiliter dan sejenisnya tidak dapat disebut sebagai penduduk sipil.
Berdasarkan penjelasan Pasal 9 UU Pengadilan HAM, yang dimaksud dengan serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi. Dengan demikian, serangan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap tempat-tempat kesatuan militer atau polisi bukan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal tersebut, karena tidak memenuhi unsur ’ditujukan terhadap penduduk sipil’. Akan tetapi perbuatan tersebut merupakan tindak pidana biasa yang menjadi tugas aparat kepolisian untuk mengusut dan membawa pelakunya ke pengadilan umum bukan pengadilan HAM.
d). Unsur yang Diketahuinya
Kata ”yang diketahuinya” merupakan unsur mental (mens rea) dalam kejahatan ini. Pelaku harus melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan pengetahuan untuk melakukan serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Hal ini tidak berarti bahwa dalam semua serangan harus selalu ada pengetahuan. Pengetahuan tersebut bisa pengetahuan yang aktual atau konstruktif. Secara khusus, pelaku tidak perlu mengetahui bahwa tindakannya itu adalah tindakan yang tidak manusiawi atau merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tindak pidana yang dilakukan tersebut juga tidak perlu disertai maksud diskriminatif kecuali untuk persekusi dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan.

2. Elemen-elemen dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Elemen esensial atau chapeau elemen-elemen kejahatan (element of crimes) yang terkandung dalam konsep kejahatan terhadap kemanusiaan pada umumnya juga menggunakan asas kesalahan sebagaimana yang dianut dalam hukum pidana internasional. Asas ini tercermin dalam ungkapan latin berikut ini:

actus non facit reum nisi mens sit rea” (an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy).
Berdasarkan asas ini, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk seseorang dapat dipidana, yaitu adanya unsur obyektif (actus reus) dan unsur subyektif (mens rea). Actus reus adalah adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang (delik) dan bersifat melawan hukum. Dalam textbook, actus reus seringkali dirumuskan sebagai “semua unsur yang terdapat dalam perumusan delik, kecuali unsur yang berhubungan dengan keadaan jiwa atau sikap bathin terdakwa”. Sedangkan yang dimaksud dengan mens rea adalah mencakup unsur kesalahan dalam arti luas dan meliputi kemampuan bertanggungjawab, adanya unsur kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf. Mens rea dengan demikian berhubungan dengan state of mind atau mental element, apakah itu bentuk intention (maksud atau kesengajaan) atau knowledge (pengetahuan), negligence (kealpaan) atau recklessness (kesombronoan).
Unsur actus reus pada kejahatan terhadap kemanusiaan adalah dilakukannya perbuatan menyerang (attack) yang bersifat melanggar perikemanusiaan dan hukum, yang mengakibatkan penderitaan yang berat, atau cedera berat bagi tubuh atau mental atau kesehatan fisik. Perbuatan inhumane tersebut haruslah dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas (widespread) atau sistematik (systematic) terhadap anggota penduduk sipil. Sedangkan unsur mens rea-nya adalah menyangkut mental element; pelaku sengaja (intention) atau mengetahui (knowledge) bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematik. Haruslah dapat dibuktikan bahwa perbuatannya merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil. Tanpa mental element tersebut, maka pelaku tidak memiliki mens rea untuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Yurisprudensi Mahkamah Internasional telah menjelaskan, pelaku kejahatan (tersangka/terdakwa) harus memiliki mens rea secara cukup, yang meliputi:
a. Niat untuk melakukan tindakan atau tindakan-tindakan kejahatan yang mendasari dengan apa yang dituduhkan padanya;
b. Pengetahuan bahwa ada suatu penyerangan terhadap penduduk sipil; dan
c. Pengetahuan bahwa tindakan-tindakannya adalah bagian dari penyerangan tersebut.

C. Hukum Acara Pengadilan HAM
Hukum acara atau sering disebut sebagai hukum formil ( a law of procedure) merupakan perangkat norma hukum yang penting yang mengatur proses berkenaan dengan bekerjanya sebuah sistem peradilan dalam rangka penerapan hukum materil. Di negara manapun di dunia ini hukum acara selalu menjadi bagian penting dan menjadi karakter dari sistem hukum moderen. Hukum acara mengenai perkara Pelanggaran HAM yang Berat diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap Pelanggaran HAM yang Berat dan yang berada di lingkungan Peradilan Umum.[1] Pengadilan HAM tersebut berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan, tetapi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan.[2]
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara Pelanggaran HAM yang Berat, yang dimaksud dengan ”memeriksa dan memutus” dalam ketentuan ini adalah termasuk menyelesaikan perkara yang menyangkut kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[3] Pelanggaran HAM yang Berat meliputi: a. Kejahatan genosida, dan b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.[4] Akan tetapi, Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara Pelanggaran HAM yang Berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan, yang berwenang ialah Pengadilan Negeri.[5] Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara Pelanggaran HAM yang Berat yang dilakukan diluar batas teritorial wilayah Negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Ketentuan dalam Pasal 5 ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara Indonesia yang melakukan Pelanggaran HAM yang Berat yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM ini.[6]
Hukum acara Pengadilan HAM diatur dalam Bab IV yang berjudul Hukum Acara pada UU Pengadilan HAM, yang dimulai dari Pasal 10 sampai dengan Pasal 33. Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara Pelanggaran HAM yang Berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.[7] Ketentuan-ketentuan hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

1. Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan Pelanggaran HAM yang Berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.[8] Penyelidikan ini dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi hak asasi manusia. [9] Kewenangan penyelidikan yang hanya diberikan kepada Komnas HAM ini dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komnas HAM adalah lembaga yang bersifat independen.[10] Status independen Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur-unsur masyarakat. Pengertian unsur masyarakat adalah tokoh dan anggota masyarakat yang profesional, berdedikasi, berintegritas tinggi, dan menghayati di bidang HAM.[11]
Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, penyelidik memberitahukan hal itu kepada penyidik.[12] Pelaksanaan penyelidikan dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai rangkaian tindakan Komnas HAM dalam lingkup pro justisia.[13] Menurut KUHAP, penyelidikan diintrodusir dengan motivasi perlindungan HAM dan pembatasan ketat terhadap penggunaan upaya paksa, dimana upaya paksa baru digunakan sebagai tindakan yang terpaksa dilakukan. Penyelidikan mendahului tindakan-tindakan lain yaitu untuk menentukan apakah suatu peristiwa yang diduga Pelanggaran HAM yang Berat dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Pasal 20 ayat (1) UU Pengadilan HAM menyebutkan bahwa:

Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik”.

Di dalam UU Pengadilan HAM tidak diperinci tentang penyusunan rencana penyelidikan yang berbentuk pola dari suatu rencana penyelidikan. Untuk itu dalam rangka mengadakan penyelidikan, rencana penyelidikan dapat menggunakan sistem yang dipergunakan dalam dunia intelejen dengan penyesuaian seperlunya. Rencana penyelidikan tersebut harus memuat tentang:
a. Sumber informasi yang perlu dihubungi (orang, organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat, kelompok orang, instansi, tempat dan lain-lain);
b. Informasi atau alat bukti apa yang dibutuhkan dari sumber tersebut (yang bermanfaat untuk pembuktian telah terjadi pelanggaran HAM);
c. Cara memperoleh informasi atau alat bukti tersebut (terbuka, tertutup, wawancara, interogasi, pemotretan dan sebagainya);
d. Petugas pelaksana; dan
e. Batas waktu kegiatan.

Dalam melakukan penyelidikan, Komnas HAM berwenang untuk:[14]
a. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti
c. Memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya;
d. Memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;
e. Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. Memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya;
g. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1) pemeriksaan surat;
2) penggeledahan dan penyitaan;
3) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;
4) mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
Setelah dilakukannya penyelidikan dan kesimpulannya telah disampaikan, Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan kepada penyidik paling lambat 7 (tujuh) hari setelah hasil kesimpulan disampaikan.[15] Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan yang disampaikan masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.[16]
Jika dibandingkan dengan konsep penyelidikan menurut UU Hukum Acara Pidana, maka yang dimaksud Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP).[17] Dari perumusan tersebut dapat diketahui bahwa penyelidikan bukan merupakan fungsi yang berdiri sendiri, melainkan merupakan sub fungsi dan bagian tak terpisahkan dari fungsi penyidikan (yang di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia dikenal sebagai kegiatan Reserse), yaitu suatu metode/cara/kegiatan yang mendahului tindakan upaya paksa yang dilakukan dalam penyidikan (misalnya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan lain-lain). Konsep ini tentu berbeda dengan apa yang diatur dalam UU Pengadilan HAM yang memisahkan lembaga yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Dalam hukum acara pidana yang lama yang diatur dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (H.I.R) hanya dikenal ketentuan mengenai opsporing (investigation) yang diatur dalam H.I.R. Bab II tentang Mengusut Kejahatan dan Pelanggaran (van het opsporen der misdrijeven en overtredingen). Opsporing diterjemahkan dengan istilah pengusutan yang dalam KUHAP dikenal dengan istilah penyidikan. Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur tindakan pengusutan (Opsporing) menjadi 2 (dua) tahap, yaitu tahap penyelidikan dan tahap penyidikan dengan maksud dan tujuan untuk mencegak terjadinya upaya penegakkan hukum secara tergesa-gesa dan kurang berhati-hati atau kurang cermat yang seringkali menyebabkan petugas penegak hukum tergelincir dalam tindakan yang kurang menghargai harkat dan martabat manusia seperti pada masa-masa lalu.
Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini (KUHAP) untuk melakukan penyelidikan.[18] Untuk mengetahui kewenangan penyelidik dapat dibaca pada Pasal 5 UU Hukum Acara Pidana.

Pasal 5
(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan b kepada penyidik.

Dalam praktik hukum yang bertugas melaksanakan penyelidikan adalah pejabat Polri yang oleh atasan/pimpinannya selaku penyidik ditugaskan melakukan penyelidikan. Di lingkungan Polri kegiatan penyelidikan ini dikenal atau dinamakan sebagai penyelidikan reserse dan petugasnya dikenal sebagai penyelidik/reserse (detektive). Untuk lebih mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan penyelidikan reserse, maka dibawah ini dicantumkan kutipan uraian mengenai penyelidikan reserse yang terdapat dalam Surat Keputusan Kapolri No.Pol.: Skep/1205/IX/2000 tertanggal 11 September 2000 mengenai Juklak Kapolri tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana. Dalam Juklak tersebut ketentuan penyelidikan reserse diatur dalam Bab III angka 8 huruf c, yakni sebagai berikut:
1. Dasar hukum
a. Pasal 5 KUHAP; b. Pasal 9 KUHAP; c. Pasal 75 KUHAP; d. Pasal 102 KUHAP; e. Pasal 103 KUHAP; f. Pasal 104 KUHAP; g. Pasal 105 KUHAP; h. Pasal 111 KUHAP.
2. Yang berwenang melakukan penyelidikan reserse adalah Polisi Negara Republik Indonesia yang khusus ditugaskan untuk itu.
3. Pertimbangan dilakukan penyelidikan reserse:
a. Berbagai bentuk laporan yang diterima reserse;
b. Berita Acara Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara;
c. Berita Acara Pemeriksaan tersangka dan atau saksi.
4. Penyelidikan reserse dapat dilakukan untuk:
a. Mencari keterangan-keterangan guna menentukan suatu peristiwa yang dilaporkan atau diadukan merupakan tindak pidana atau bukan;
b. Melengkapi keterangan yang telah diperoleh agar jelas sebelum dapatnya dilakukan penindakan;
c. Persiapan pelaksanaan penindakan.
5. Sasaran penyelidikan adalah:
a. Orang;
b. Benda/Barang;
c. Tempat (termasuk rumah dan tempat-tempat tertutup lainnya).
6. Penyelidikan reserse dilakukan dengan cara terbuka sepanjang hal itu dapat menghasilkan keterangan-keterangan yang diperlukan, dan dilakukan secara tertutup apabila terdapat kesulitan mendapatkannya.
7. Hasil penyelidikan dituangkan dalam bentuk laporan dan harus benar-benar diolah sehingga merupakan keterangan-keterangan yang berguna untuk:
a. Keperluan menentukan benar atau tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana;
b. Memperoleh kejelasan dalam rangka melengkapi keterangan-keterangan guna kepentingan penindakan dan petunjuk-petunjuk dalam melakukan pemeriksaan.
2. Penyidikan
Apabila hasil penyelidikan Komnas HAM dianggap cukup bukti permulaan atau telah memenuhi unsur-unsur terjadinya Pelanggaran HAM yang Berat serta sudah lengkap dan dapat diterima oleh penyidik, maka tahap selanjutnya adalah dilakukannya penyidikan.
Undang-Undang Pengadilan HAM tidak memuat definisi penyidikan. Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU Pengadilan HAM, definisi penyidikan yang dimuat dalam UU Hukum Acara Pidana dapat digunakan. Oleh sebab itu, yang dimaksud Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.[19]
Pada tahap penyidikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara Pelanggaran HAM yang Berat diberikan kepada Jaksa Agung.[20] Kewenangan penyidikan tersebut tidak termasuk kewenangan menerima laporan atau pengaduan.[21] Berbeda halnya dengan konsep hukum acara pidana yang membolehkan penyidik menerima laporan atau pengaduan.[22] Dalam melakukan penyidikan tersebut, Jaksa Agung ”dapat’” mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat. Kata ”dapat” dalam ketentuan ini dimaksudkan agar Jaksa Agung dalam mengangkat penyidik ad hoc dilakukan sesuai dengan kebutuhan.[23]
Dalam menjalanan tugasnya, penyidik berhak melakukan upaya penangkapan; penahanan; pemeriksaan surat; penggeledahan; penyitaan; pemeriksaan setempat terhadap rumah, bangunan dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu; mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidik.
Kelanjutan dari adanya Pelanggaran HAM yang Berat yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang, apabila penyidik mempunyai dugaan keras disertai bukti-bukti permulaan yang cukup maka penyidik berwenang melakukan penangkapan terhadap tersangka pelaku Pelanggaran HAM yang Berat tersebut.[24] Tahap selanjutnya, jika dirasakan perlu tersangka tersebut dapat dikenakan penahanan.
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP).[25] Sedangkan yang dimaksud penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP).[26]
Berkenaan dengan masalah penangkapan dan penahanan tersebut, maka penyidik dalam menggunakan kedua haknya tersebut haruslah dilandasi keyakinan adanya ”presumption of guilty”. Hal ini berarti bahwa sebelum penyidik mengambil keputusan untuk menangkap dan atau menahan, maka penyidik harus mempunyai bukti permulaan yang cukup serta dugaan keras telah dilakukan Pelanggaran HAM yang Berat oleh tersangka.
Apabila penyidik masih merasa ragu mengenai kesalahan tersangka, maka harus dipilih tindakan yang meringankan, dengan jalan tidak melakukan penangkapan atau penahanan atas diri tersangka. Tindakan penyidik mengambil putusan yang demikian dalam ilmu hukum dikenal dengan asas ”in de bio proreo”.
Penangkapan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang karena hal itu melanggar HAM. Untuk menangkap seseorang, maka penyidik harus mengeluarkan surat perintah penangkapan disertai pencantuman identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara Pelanggaran HAM yang Berat yang dipersangkakan dan harus disertai surat tugas.[27] Tanpa surat perintah penangkapan, tersangka dapat menolak petugas yang bersangkutan, kecuali tertangkap tangan.[28] Perintah penangkapan baru dikeluarkan kalau sudah ada dugaan keras telah terjadi Pelanggaran HAM yang Berat disertai pula bukti permulaan yang cukup.
Permasalahan yang dihadapi mengenai masalah penangkapan ini antara lain adalah definisi/pengertian apa yang dimaksud dengan bukti permulaan. Undang-Undang Pengadilan HAM maupun UU Hukum Acara Pidana tidak memberikan definisi bukti permulaan. Sehingga hal ini dapat menjadikan tafsiran yang berbeda-beda diantara penegak hukum sendiri. Penangkapan dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari.[29]
Untuk perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan Pelanggaran HAM yang Berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi Pelanggaran HAM yang Berat.[30]
Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Jika waktu 180 (seratus delapan puluh) hari tersebut telah habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai daerah hukumnya. Jadi total masa penahanan di tingkat penyidikan dapat berjumlah 240 (dua ratus empat puluh) hari.[31]
Untuk tindakan-tindakan penyidik lainnya, seperti ketentuan mengenai penggeledahan dapat dilihat pada Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 UU Hukum Acara Pidana; Penyitaan dapat dlihat pada Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 UU Hukum Acara Pidana; Pemeriksaan Surat pada Pasal 47 sampai dengan 49 UU Hukum Acara Pidana.
Penyidikan terhadap Pelanggaran HAM yang Berat harus diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari tersebut dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Apabila selama masa 180 (seratus delapan puluh) hari itu habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang untuk masa paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai daerah hukumnya. Jadi total waktu yang diberikan kepada penyidik untuk melakukan penyidikan adalah paling lama 240 (dua ratus empat puluh) hari.[32] Apabila dalam jangka waktu 240 (dua ratus empat puluh) hari penyidikan tidak menghasilkan bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) oleh Jaksa Agung.[33] Jika pihak korban atau keluarganya tidak dapat menerima SP3 tersebut, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[34]
Setelah SP3 dikeluarkan, proses penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan.[35]
3. Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ”pidana” ke pengadilan ”negeri” yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.[36] Dalam konteks Pelanggaran HAM yang Berat berdasarkan Pasal 10 UU Pengadilan HAM, maka kata ”pidana” diganti menjadi Pelanggaran HAM yang Berat dan kata ”negeri” diganti menjadi ”HAM atau HAM Ad Hoc”. Sehingga jika ditafsirkan bunyinya menjadi, Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara Pelanggaran HAM yang Berat ke pengadilan HAM atau Pengadilan HAM Ad Hoc yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Penuntutan perkara Pelanggaran HAM yang Berat dilakukan oleh Jaksa Agung.[37] Dalam menjalankan tugas penuntutan, Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc dari unsur pemerintah dan atau masyarakat.[38]
Penuntutan wajib dilaksanakan paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.[39] Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.[40] Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.[41] Surat dakwaan yang dibuat diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.[42] Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan huruf b diatas dinyatakan batal demi hukum.[43]
Penyerahan hasil penyidikan Pelanggaran HAM yang Berat kepada penuntut umum tidak mesti atau serta merta dilakukannya penuntutan, dengan cara dilimpahkan berkasnya ke Pengadilan HAM. Hal itu sangat tergantung pada hasil penilaian Penuntut apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan. Dalam kasus Pelanggaran HAM yang Berat, Jaksa Agung sebagai penyidik sekaligus sebagai Penuntut. Kondisi ini berarti tidak mungkin dilakukan chek and balance yang obyektif dalam hal terjadi perbedaan pandangan antara penyidik dan penuntut. Hal ini berbeda dari UU Hukum Acara Pidana yang menempatkan Polisi sebagai penyidik dan Jaksa sebagai penuntut. Prinsip pemisahan memungkinkan dapat dilakukannya chek and balance terhadap hasil penyidikan maupun tindakan-tindakan penuntut. Dalam kasus Pelanggaran HAM fungsi chek and balance dapat dilakukan oleh korban atau keluarganya melalui praperadilan. Sedangkan untuk Komnas HAM sebagai penyelidik sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara Pelanggaran HAM yang Berat.[44]
4. pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Setelah berkas penuntutan dilimpahkan ke Pengadilan HAM, kemudian dibentuk Majelis Hakim untuk memeriksa dan memutus perkaranya. Majelis hakim yang dibentuk berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.[45] Majelis hakim ini diketuai oleh hakim yang berasal dari Pengadilan HAM yang bersangkutan.[46] Untuk pengangkatan dan pemberhentian hakim ad hoc dilakukan oleh Presiden selaku kepala negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Sedangkan yang dimaksud hakim ad hoc adalah hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati HAM dan kewajiban dasar manusia.[47]
Pengadilan HAM memiliki jangka waktu selama 180 (seratus delapan puluh) hari untuk memeriksa dan memutus perkara Pelanggaran HAM yang Berat terhitung sejak perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan HAM.[48]
Bila para pihak tidak menerima atau puas apa yang telah menjadi putusan Majelis Hakim di tingkat Pengadilan HAM, maka dapat ditempuh upaya hukum. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP).[49]
Untuk upaya hukum banding, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi.[50] Hakim yang memeriksa dan memutus berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.[51] Upaya hukum kasasi dimohonkan ke Mahkamah Agung yang memeriksa dan memutus dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.[52] Hakim yang memeriksa dan memutus berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.[53] Berbeda halnya dengan pengangkatan hakim ad hoc pada tingkat Pengadilan HAM dan Pengadilan Tinggi, pada tingkat kasasi, hakim ad hoc diangkat oleh Presiden selaku kepala negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat.[54]
Mengenai upaya hukum peninjauan kembali yang tidak diatur dalam UU Pengadilan, maka berdasarkan Pasal 10 UU Pengadilan HAM digunakan ketentuan dan tata cara upaya hukum peninjauan kembali yang ada dalam UU Hukum Acara Pidana. Permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.[55]
Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:[56]
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Atas dasar alasan yang sama sebagaimana yang tersebut pada Pasal 263 ayat (2) UU Hukum Acara Pidana, peninjauan kembali dapat diajukan apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.[57]
Jika pada upaya hukum banding dan kasasi pengajuanya dibatasi oleh jangka waktu, maka pada upaya hukum peninjauan kembali tidak dibatasi oleh jangka waktu.[58]


Terima kasih

[1]Indonesia. UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (a). ps. 1 angka (3) jo. Ps. 2

[2]Ibid. ps. 3.

[3]Ibid. ps. 4 jo. penjelasannya.

[4]Ibid. ps. 7.

[5]Ibid. ps. 6 jo. penjelasannya.

[6]Ibid. ps. 5 jo. penjelasannya.

[7]Ibid. ps. 10.

[8]Ibid. ps. 1 angka 5.

[9]Ibid. ps. 1angka 7.

[10]Ibid. ps. 18 ayat (1) jo. penjelasannya.

[11]Ibid. ps. 18 ayat (2) jo. penjelasannya.

[12]Ibid. ps. 19 ayat (2).

[13]Ibid. penjelasan ps. 19 ayat (1).

[14]Indonesia. (a). Ps. 19 ayat (1).

[15]Ibid. ps. 20 ayat (2).

[16]Ibid. ps. 20 ayat (3).

[17]Indonesia. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (b). ps. 1 angka 5.

[18]Ibid. 1 angka 4 jo. ps. 4.

[19]Ibid.. ps. 1 angka 2.

[20]Indonesia. (a). Op.cit. ps. 21 ayat (1).

[21]Ibid. ps. 21 ayat (2).

[22]Indonesia (b). Op.cit. ps. 106.

[23]Indonesia. (a). Op.cit. ps. 21 ayat (3).

[24]Ibid. ps. 11 ayat (1).

[25]KUHAP. ps. 1 angka 20.

[26]Ibid. ps. 1 angka 21.

[27]Indonesia (a), Op.cit., ps. 11 ayat (2).

[28]Ibid. ps.11 ayat (4).

[29]Ibid. ps. 11 ayat (5).

[30]Ibid. ps. 12 ayat (3).

[31]Ibid. ps. 13.

[32]Ibid. ps. 22 ayat (1) s.d. (3).

[33]Ibid. ps. 22 ayat (4).

[34]Ibid. ps. 22 ayat (6).

[35]Ibid. ps. 22 ayat (5).

[36]KUHAP. ps. 1 angka 7.

[37]Indonesia (a). Op.cit. ps. 23 ayat (1).

[38]Ibid. ps. 23 ayat (2).

[39]Ibid. ps. 24.

[40]KUHAP. ps. 139.

[41]Ibid. ps. 140 ayat (1).

[42]Ibid. ps. 143 ayat (2).

[43]Ibid. ps. 143 ayat (3).

[44]UU Pengadilan HAM. ps. 25.

[45]Ibid. ps. 27 ayat (2).

[46]Ibid. ps. 27 ayat (3).

[47]Ibid. ps. 28 ayat (1) jo. penjelasannya.

[48]Ibid. ps. 31.

[49]Indonesia (b), Op.cit., ps. 1 angka 12.

[50]Indonesia (a), Op.cit., ps. 32 ayat (1).

[51]Ibid. ps. 32 ayat (2).

[52]Ibid. ps. 33 ayat (1).

[53]Ibid. ps. 33 ayat (2).

[54]Ibid. ps. 33 ayat (4).

[55]Indonesia (b), Op.cit., ps. 263 ayat (1).

[56]Ibid. ps. 263 ayat (2).

[57]Ibid. ps. 263 ayat (3).

[58]Ibid. ps. 264 ayat (3)

[+/-] Read more...