Charity Fund

Bantulah Saudara-saudara kita yang menjad korban jebolnya tanggul di Situ Gintung, Tangerang, Banten-Indonesia Melalui Palang Merah Indonesia

Bantuan Bencana Umum:Bank Mandiri Cabang Wisma Baja a/c 070.00001.160.17 a/n Palang Merah Indonesia



NEWS and ARTICLES

Please read news and my articles this following :

Wednesday, January 10, 2007

Catatan Dari Sebuah Persoalan Besar yang Belum Selesai

Sebuah kebijakan operasi militer bersandi Operasi Jaring Merah yang akhirnya menempatkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Kebijakan ini menyulut gejolak sosial yang dikemudian hari ternyata menjadi konflik bersenjata yang berkepanjangan. Target operasi ini semula bertujuan menumpas gerakan yang disebut Gerakan Aceh Merdeka yang selanjutnya disingkat GAM. Terkadang Pemerintah Republik Indonesia juga menyebut Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) untuk kelompok ini. Pelaksanaan lapangan operasi tersebut telah menyebabkan jatuhnya korban masyarakat sipil dalam jumlah yang sangat besar. Data dari Amnesty International selama pelaksanaan operasi militer (1989-1998) tercatat 871 orang tewas di tempat kejadian perkara, 387 orang hilang yang kemudian ditemukan tewas, 550 orang dinyatakan hilang, 368 orang korban penganiayaan, 120 korban dibakar rumahnya, 102 korban perkosaan serta kurang lebih 400 toko, lembaga pemerintahan dan sekolah-sekolah dibakar dan dirusak. Operasi militer ini bukan hanya telah menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (Gross Violation of Human Rights) yang begitu nyata, seperti tindak kekerasan/ penganiayaan yang langsung maupun tidak langsung dirasakan sendiri oleh masyarakat, namun juga suatu pembantaian peradaban religius dan kemanusiaan (Crime Againts Culture and Humanity) yang sudah berabad-abad dibangun oleh masyarakat Aceh. Ironisnya, fakta yang ada di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan GAM/GPK juga ikut menjadi korban. Operasi militer ini menjadi suatu hal yang menakutkan dan traumatik karena aparat militer (Baca: TNI, dulunya ABRI) cenderung bertindak semena-mena terhadap masyarakat yang dicurigai mempunyai hubungan dengan GAM/GPK, tetapi terkadang kasusnya banyak yang direkayasa seperti rakyat yang tidak terlibat tindak kriminalitas apalagi melanggar hukum, dianggap sebagai anggota GAM/GPK.

Penetapan Daerah Operasi Militer terhadap Aceh adalah kebijakan politik negara yang langsung berada di bawah tanggung jawab presiden saat itu. Penetapan ini berawal dari laporan gubernur Aceh saat itu, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, tentang situasi dan kondisi keamanan yang waktu itu mengalami gangguan teror keamanan yang dilakukan oleh GPK. Sebelum ditetapkan, langkah yang sudah diambil dan dilakukan adalah pendekatan kultural dan kemasyarakatan dengan mengedepankan tokoh-tokoh agama, seperti T. Ali Hasjmy. Namun belum juga mampu meredam aksi-aksi GPK, sehingga akhirnya pemerintah memutuskan pendekatan militer dan inilah awal tragedi kemanusian tersebut.

Memang ketegangan sudah lama terjadi dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat Aceh, yang memiliki warisan budaya yang kaya dan berbeda dengan kebudayaan Jawa, serta juga ada tradisi lama yang menolak dominasi yang dilakukan pihak dari luar daerah tersebut. Ketegangan ini bermula dari “penipuan” (kursif dari penulis) yang dilakukan oleh Presiden RI yang pertama, Ir. Soekarno. Sehingga tokoh masyarakat Aceh yang sangat dikagumi dan dihormati yaitu Muhamad Daud Beureuh, “mengangkat senjata” memberontak dan melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat, dengan DI/TII-nya. Disamping itu juga pemberlakuan yang tidak adil dalam pembagian keuangan pusat dan daerah membuat rakyat Aceh berontak. Hampir sebagian besar wilayah Aceh merupakan daerah penghasil minyak yang menyumbangkan pendapatan devisa negara lebih dari 20%. Terutama di Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Timur. Namun ternyata kekayaan alam yang sangat melimpah itu hanya sedikit sekali yang manfaatnya dirasakan oleh masyarakat Aceh. Contohnya adalah PT Arun LNG Co. dan ExxonMobil, dua perusahaan pengeksplorasian minyak di Aceh. Mereka sanggup membayar gaji karyawannya sampai dengan ratusan juta rupiah dan melengkapi fasilitas di perumahan karyawan mereka dengan fasilitas sekolah dan lingkungan yang sangat baik sekali, tetapi dilain sisi disekitar lokasi pengeksplorasian mereka terdapat sekolah-sekolah yang hanya berdindingkan kayu dan beratapkan seng serta siswa-siswanya banyak yang tidak memakai alas kaki, apalagi mempunyai buku sekolah dan buku tulis. Kenyataan dan kesenjangan sosial ini telah berlangsung puluhan tahun dan sangat menyakitkan hati sebagian besar orang Aceh.

Sehingga akhirnya atas desakan dan gelombang refomasi yang terjadi di Jakarta, dengan jatuhnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan, pada tanggal 7 Agustus 1998, Panglima TNI waktu itu, Jenderal Wiranto, mencabut status Daerah Operasi Militer. Hal ini menandai berakhirnya era sepuluh tahun sejak 1989 sejak operasi militer bersandi Operasi Jaring Merah yang penuh dengan catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia. Karena pada saat ditetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer adalah suatu keputusan politik, maka pencabutan status DOM harus diikuti dengan pertanggungjawaban politik, hukum, sosial dan ekonomi. Untuk semua hal itu maka presidenlah yang paling bertanggung jawab terhadap kejahatan kemanusiaan di Aceh, selain itu juga Panglima ABRI pada saat itu. Karena keputusan politik itu berada di tingkat presiden. Kalau kemudian secara teknis muncul persoalan-persoalan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, bisa saja diusut oknum lainnya. Tapi pertanggungjawaban paling makro adalah pemberlakuan status daerah operasi militer di Aceh.

[+/-] Read more...

Tanggung Jawab Negara terhadap Lingkungan

Bencana selalu datang menimpa bangsa Indonesia. Banjir, Longsor dan Gempa Bumi telah menjadi kata-kata yang akrab di telinga kita. Kerugian materiil yang begitu besar, korban tewas dan luka, para pengungsi, dan kehancuran ekonomi adalah istilah-istilah yang begitu sering terdengar dan terbaca diberbagai media massa setiap tahunnya bahkan hampir setiap bulan. Tetapi suatu hal yang sangat memalukan sekali bagi kita yang memiliki suatu pemerintahan dan seharusnya berkewajiban mengurus hal ini, justru hampir dikatakan telah gagal dalam mengatasi persoalan-persoalan ini. Sejak peristiwa Tsunami Aceh tanggal 24 Desember 2004, yang mengakibatkan kerugian materiil yang luar biasa dan jumlah korban tewas yang sangat besar, ternyata tidak juga menjadi pelajaran kita bersama khususnya pemerintah dalam mencegah dan menangani bencana alam yang sering terjadi di negeri potensial bencana ini.

Banjir dan Longsor, adalah dua kata yang dua bulan belakangan ini mulai terdengar lagi di telinga kita. Setiap hari hampir semua media massa cetak dan elektronik memuat berita-berita yang berkaitan dengan banjir dan longsor. Bacalah judul “Banjir di Sumatera Semakin Meluas” yang termuat sebagai headline di Harian Kompas tanggal 30 Desember 2006. Status headline berita ini seharusnya juga menjadi cambuk bagi pemerintah untuk bekerja lebih serius lagi dalam menangani persoalan ini. Bukan sekedar berwacana seperti yang dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat memberikan kata sambutan di Perayaan Hari Natal Bersama tahun 2006. Kita sebagai rakyat sudah muak dengan pernyataan-pernyataan para pemimpin negara ini yang terkadang tidak solutif bahkan cenderung kontraproduktif. Coba saja kita segarkan memori kita kembali ketika Pasca Gempa Bumi Yogya terjadi. Beberapa hari setelah gempa tersebut dengan mudahnya Wakil Presiden kita, Jusuf Kalla, mengatakan pemerintah akan memberikan kompensasi kepada warga yang menjadi korban sebesar 30 juta setiap kepala keluarga. Namun dikemudian hari dengan mudahnya juga beliau berkata, uang tersebut tidak bisa dikeluarkan karena harus membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mencairkannya dan sampai sekarang janji tersebut belum terealisir.

Masih segar dalam ingatan kita juga persoalan Semburan Lumpur Panas Lapindo yang sampai makalah ini dibuat tetap masih belum selesai. Padahal telah 7 bulan berlalu pasca semburan lumpur tersebut, belum menunjukkan tanda-tanda dapat diatasi. Kerugian miliaran rupiah dan hilangnya hak sipil serta hak ekonomi, sosial, budaya masyarakat sekitar belum juga menyadarkan pemerintah kita untuk melakukan sesuatu untuk mengatasi persoalan ini.

Kita semua seharusnya malu mengakui sebagai sebuah bangsa yang beradab karena kita tidak pernah mau belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu. Kita cenderung permisif dan pelupa atau sengaja melupakan atas peristiwa-peristiwa kerusakan lingkungan yang mengakibatkan terjadinya bencana-bencana ini. Namun, yang paling bertanggungjawab dalam hal ini adalah Pemerintah. Sebagai suatu representatif pelaksanaan kekuasaan negara seharusnya pemerintah dapat memenuhi kewajibannya untuk memberikan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun sebaliknya, pemerintah sering kali bertingkah tidak mau mendengar dan bersikap seolah-olah pihak yang paling mengetahui semua persoalan. Kritik dan masukan pendapat dari organisasi-organisasi pecinta lingkungan, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), seringkali diabaikan oleh pemerintah.

Kewajiban pemerintah atas pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini dapat kita baca pada Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”[1]. Hal yang sama dapat kita baca juga pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup[2] serta Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia[3].

Dari uraian pasal demi pasal diatas dapat kita terjemahkan bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dimiliki oleh setiap orang yang berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia. Sehingga menurut ajaran Universalitas Hak Asasi Manusia, kewajiban untuk hal tersebut ada pada negara dalam hal ini pemerintah[4]. Sejak Indonesia merdeka atau setidaknya sejak berlakunya semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, seharusnya pemerintah sudah memiliki agenda dan program yang jelas bagaimana langkah-langkah yang harus diambil untuk pemenuhan kewajibannya ini.Tetapi jika kita mengacu kepada bencana-bencana yang sering terjadi dan jatuhnya korban yang begitu luar biasa, menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengatasi persoalan ini. Bencana alam memang tidak dipungkiri sering terjadi, tetapi faktor kelalaian dan ketidakprofesionalan penanganan bencana dan pencegahannya yang justru menjadi faktor terbesar dalam menimbulkan korban. Permasalahan-permasalahan yang timbul seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk memperbaiki diri dalam hal penanganan dan pencegahan bencana.

[1] Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, SH, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hal. 50.
[2] Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi ketujuh, Cet. Ketujuh belas, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Lampiran II.
[3] Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Tahun 2000 dan Hak Asasi Manusia Tahun 1999, Bandung: Penerbit Citra Umbara, 2001
[4] Lembar Fakta HAM, Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia, Edisi II, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2002

[+/-] Read more...