Charity Fund

Bantulah Saudara-saudara kita yang menjad korban jebolnya tanggul di Situ Gintung, Tangerang, Banten-Indonesia Melalui Palang Merah Indonesia

Bantuan Bencana Umum:Bank Mandiri Cabang Wisma Baja a/c 070.00001.160.17 a/n Palang Merah Indonesia



NEWS and ARTICLES

Please read news and my articles this following :

Friday, December 5, 2008

Undang-Undang Pornografi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;

b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia;

c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;

Mengingat: Pasal 20 Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:


Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2

Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.

Pasal 3

Undang-Undang ini bertujuan:

a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;

b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;

c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;

d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan

e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN

Pasal 4

(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:

a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.

(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:

a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau

d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Pasal 5

Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

Pasal 6

Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal 7

Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 8

Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 9

Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 10

Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Pasal 11

Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.

Pasal 12

Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.

Pasal 13

(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.

(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.

Pasal 14

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PERLINDUNGAN ANAK

Pasal 15

Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.

Pasal 16

(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PENCEGAHAN

Bagian Kesatu
Peran Pemerintah

Pasal 17

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 18

Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:

a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;

b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan

c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 19

Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang:

a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;

b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;

c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan

d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.

Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat

Pasal 20

Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 21

(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara:

a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;

c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan

d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22

Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 23

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 24

Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:

a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan

b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.

Pasal 25

(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.

(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.

(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.

Pasal 26

Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.

Pasal 27

(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.

(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.

(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.

BAB VI
PEMUSNAHAN

Pasal 28

(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.

(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:

a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;
b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 29

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 30

Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 31

Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 32

Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 33

Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 34

Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 35

Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 36

Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 37

Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.

Pasal 38

Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 39

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.

Pasal 40

(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.

(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

(7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.

Pasal 41

Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. pembekuan izin usaha;
b. pencabutan izin usaha;
c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d. pencabutan status badan hukum.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42

Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 43

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.

Pasal 44

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 45

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA




LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 181.


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI


I. UMUM

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.

Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia.

Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi.

Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah:

1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama;

2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan

3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.

Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.

Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.

Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga negara.


II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.


Pasal 2

Cukup jelas.


Pasal 3

Perlindungan terhadap seni dan budaya yang termasuk cagar budaya diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku.


Pasal 4

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Huruf a

Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "kekerasan seksual" antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan" adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.

Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 5

Yang dimaksud dengan "mengunduh" (download) adalah mengambil fail dari jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya.


Pasal 6

Larangan "memiliki atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.
Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga yang dimaksud.


Pasal 7

Cukup jelas


Pasal 8

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.


Pasal 9

Cukup jelas


Pasal 10

Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani.


Pasal 11

Cukup jelas


Pasal 12

Cukup jelas


Pasal 13

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan.
Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan.
Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, dan pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.


Pasal 14

Cukup jelas


Pasal 15

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.


Pasal 16

Cukup jelas


Pasal 17

Cukup jelas


Pasal 18

Huruf a

Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas.


Pasal 19

Huruf a

Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.


Pasal 20

Cukup jelas.


Pasal 21

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "peran serta masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum lainnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 22

Cukup jelas


Pasal 23

Cukup jelas


Pasal 24

Cukup jelas


Pasal 25

Yang dimaksud dengan "penyidik" adalah penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Pasal 26

Cukup jelas


Pasal 27

Cukup jelas


Pasal 28

Cukup jelas


Pasal 29

Cukup jelas


Pasal 30

Cukup jelas


Pasal 31

Cukup jelas


Pasal 32

Cukup jelas


Pasal 33

Cukup jelas


Pasal 34

Cukup jelas


Pasal 35

Cukup jelas


Pasal 36

Cukup jelas


Pasal 37

Cukup jelas


Pasal 38

Cukup jelas


Pasal 39

Cukup jelas


Pasal 40

Cukup jelas


Pasal 41

Cukup jelas


Pasal 42

Cukup jelas


Pasal 43

Cukup jelas


Pasal 44

Cukup jelas


Pasal 45

Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4928

[+/-] Read more...

Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2008
TENTANG
PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa umat manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan umat manusia dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama tanpa perbedaan apa pun, baik ras maupun etnis;

b. bahwa segala tindakan diskriminasi ras dan etnis bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;

c. bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis;

d. bahwa adanya diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis;

Mengingat: 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial,1965) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852);

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

2. Ras adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan.

3. Etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan.

4. Warga Negara adalah penduduk negara atau bangsa Indonesia berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, atau pewarganegaraan yang mempunyai hak dan kewajiban.

5. Tindakan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah perbuatan yang berkenaan dengan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

6. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

7. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik yang merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

8. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, selanjutnya disebut Komnas HAM, adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.

9. Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

(1) Penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.

(2) Asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan tetap memerhatikan nilai-nilai agama, sosial, budaya, dan hukum yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 3

Penghapusan diskriminasi ras dan etnis bertujuan mewujudkan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan.

BAB III
TINDAKAN DISKRIMINATIF

Pasal 4

Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa:

a. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau

b. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:

1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;

2. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;

3. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau

4. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

BAB IV
PEMBERIAN PERLINDUNGAN DAN JAMINAN

Pasal 5

Penghapusan diskriminasi ras dan etnis wajib dilakukan dengan memberikan:

a. perlindungan, kepastian, dan kesamaan kedudukan di dalam hukum kepada semua warga negara untuk hidup bebas dari diskriminasi ras dan etnis;

b. jaminan tidak adanya hambatan bagi prakarsa perseorangan, kelompok orang, atau lembaga yang membutuhkan perlindungan dan jaminan kesamaan penggunaan hak sebagai warga negara; dan

c. pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya pluralisme dan penghargaan hak asasi manusia melalui penyelenggaraan pendidikan nasional.

Pasal 6

Perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, serta melibatkan partisipasi seluruh warga negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 7

Untuk penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pemerintah dan pemerintah daerah wajib:

a. memberikan perlindungan yang efektif kepada setiap warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis dan menjamin terlaksananya secara efektif upaya penegakan hukum terhadap setiap tindakan diskriminasi yang terjadi, melalui proses peradilan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. menjamin setiap warga negara untuk memperoleh pertolongan, penyelesaian, dan penggantian yang adil atas segala kerugian dan penderitaan akibat diskriminasi ras dan etnis;

c. mendukung dan mendorong upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis, dan menjamin aparatur negara dan lembaga-lembaga pemerintahan bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

d. melakukan tindakan yang efektif guna memperbarui, mengubah, mencabut, atau membatalkan peraturan perundang-undangan yang mengandung diskriminasi ras dan etnis.

BAB V
PENGAWASAN

Pasal 8

(1) Pengawasan terhadap segala bentuk upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilakukan oleh Komnas HAM.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pemantauan dan penilaian atas kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah yang dinilai berpotensi menimbulkan diskriminasi ras dan etnis;

b. pencarian fakta dan penilaian kepada orang perseorangan, kelompok masyarakat, atau lembaga publik atau swasta yang diduga melakukan tindakan diskriminasi ras dan etnis;

c. pemberian rekomendasi kepada pemerintah dan pemerintah daerah atas hasil pemantauan dan penilaian terhadap tindakan yang mengandung diskriminasi ras dan etnis;

d. pemantauan dan penilaian terhadap pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyelenggaraan penghapusan diskriminasi ras dan etnis; dan

e. pemberian rekomendasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk melakukan pengawasan kepada pemerintah yang tidak mengindahkan hasil temuan Komnas HAM.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN SERTA WARGA NEGARA

Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Warga Negara

Pasal 9

Setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis.

Pasal 10

Setiap warga negara wajib:
a. membantu mencegah terjadinya diskriminasi ras dan etnis; dan

b. memberikan informasi yang benar dan bertanggung jawab kepada pihak yang berwenang jika mengetahui terjadinya diskriminasi ras dan etnis;

Bagian Kedua
Peran Serta Warga Negara

Pasal 11

Setiap warga negara berperan serta dalam upaya penyelenggaraan perlindungan dan pencegahan terhadap diskriminasi ras dan etnis.

Pasal 12

Peran serta warga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilaksanakan dengan cara:
a. meningkatkan keutuhan, kemandirian, dan pemberdayaan anggota masyarakat;
b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan serta kepeloporan masyarakat;

c. menumbuhkan sikap tanggap anggota masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan

d. memberikan saran, pendapat, dan menyampaikan informasi yang benar dan bertanggung jawab.

BAB VII
GANTI KERUGIAN

Pasal 13

Setiap orang berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya.

Pasal 14

Setiap orang secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 15

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 16

Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 17

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 4, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari masing-masing ancaman pidana maksimumnya.

Pasal 18

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa restitusi atau pemulihan hak korban.

Pasal 19

(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu korporasi, maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Pasal 20

Dalam hal panggilan terhadap korporasi, pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurusnya.

Pasal 21

(1) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17.

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 22

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan ras dan etnis, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 23

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA




LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 170


PENJELASAN
A T A S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2008
TENTANG
PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS


I. UMUM

Setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Pada dasarnya, manusia diciptakan dalam kelompok ras atau etnis yang berbeda-beda yang merupakan hak absolut dan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian dari ras atau etnis tertentu. Adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antar-kelompok ras dan etnis dalam masyarakat dan negara.

Kondisi masyarakat Indonesia, yang berdimensi majemuk dalam berbagai sendi kehidupan, seperti budaya, agama, ras dan etnis, berpotensi menimbulkan konflik. Ciri budaya gotong royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku musyawarah/mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya konflik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis.

Kerusuhan rasial yang pernah terjadi menunjukkan bahwa di Indonesia sebagian warga negara masih terdapat adanya diskriminasi atas dasar ras dan etnis, misalnya, diskriminasi dalam dunia kerja atau dalam kehidupan sosial ekonomi.

Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan dan pembunuhan. Konflik tersebut muncul karena adanya ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan.

Konflik di atas tidak hanya merugikan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat konflik tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat pembangunan nasional yang sedang berlangsung. Hal itu juga mengganggu hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian dan keamanan di dalam suatu negara serta menghambat hubungan persahabatan antarbangsa.

Dalam sejarah kehidupan manusia, diskriminasi ras dan etnis telah mengakibatkan keresahan, perpecahan serta kekerasan fisik, mental, dan sosial yang semua itu merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Untuk mengatasi hal itu, lahirlah Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa melalui Resolusi Majelis Umum PBB 2106 A (XX) tanggal 21 Desember 1965. Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965). Selain meratifikasi, Indonesia juga mempunyai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang tercermin dalam sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi ras dan etnis.

Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang mengandung ketentuan tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi ras dan etnis, tetapi masih belum memadai untuk mencegah, mengatasi, dan menghilangkan praktik diskriminasi ras dan etnis dalam suatu undang-undang.

Berdasarkan pandangan dan pertimbangan di atas, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai:

1. asas dan tujuan penghapusan diskriminasi ras dan etnis;
2. tindakan yang memenuhi unsur diskriminatif;

3. pemberian perlindungan kepada warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis;

4. penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, serta seluruh warga negara;

5. pengawasan terhadap segala bentuk upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis oleh Komnas HAM;

6. hak warga negara untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya;

7. kewajiban dan peran serta warga negara dalam upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis;

8. gugatan ganti kerugian atas tindakan diskriminasi ras dan etnis; dan
9. pemidanaan terhadap setiap orang yang melakukan tindakan berupa:

a. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; dan

b. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu.

Penyusunan Undang-Undang ini merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.


II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.


Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "nilai-nilai agama" adalah nilai-nilai yang dianut oleh setiap agama yang mengatur tata hubungan manusia dengan manusia serta lingkungannya.


Pasal 3

Cukup jelas.


Pasal 4

Huruf a

Pembatasan dalam ketentuan ini, misalnya pembatasan seseorang dari ras atau etnis tertentu untuk memasuki suatu lembaga pendidikan atau untuk menduduki suatu jabatan publik hanya seseorang dari ras atau etnis tertentu.

Huruf b

Angka 1

Yang dimaksud dengan "tempat umum" adalah tempat yang, antara lain, disinggahi atau dikunjungi atau menjadi tempat berkumpul orang-orang, seperti toko, tempat bekerja, taman, tempat parkir, transportasi umum, media massa.

Angka 2

Cukup jelas.

Angka 3

Cukup jelas.

Angka 4

Cukup jelas


Pasal 5

Cukup jelas.


Pasal 6

Yang dimaksud dengan "masyarakat" adalah suatu kumpulan atau kelompok orang yang saling mengikat diri antara satu dan yang lain.


Pasal 7

Cukup jelas.


Pasal 8

Ayat (1)

Dengan adanya ketentuan ini, Komnas HAM perlu menyesuaikan struktur organisasinya.

Ayat (2)

Dalam ketentuan ini pengawasan dimaksudkan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah baik pusat atau daerah yang dilakukan secara berkala atau insidentil sesuai kebutuhan.
Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Komnas HAM mengusulkan kepada DPR RI dan DPRD untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan fungsi pengawasan yang dimilikinya jika dalam tenggang waktu yang telah ditentukan dalam keputusan Komnas HAM pemerintah tidak menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM.

Ayat (3)

Cukup jelas.


Pasal 9

Yang dimaksud dengan "hak-hak sipil", antara lain hak untuk:

a. bebas berpergian dan berpindah tempat dan berdomisili dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia;

b. meninggalkan dan kembali ke wilayah negara kesatuan Republik Indonesia;
c. mempertahankan kewarganegaraan;
d. membentuk keluarga, memilih pasangan hidup dan melanjutkan keturunan;
e. memiliki harta milik atas nama sendiri maupun bersama dengan orang lain;
f. berpikir, berperasaan, berekspresi dan mengeluarkan pendapat dengan bebas;
g. menggunakan bahasa apa pun dengan bebas;
h. berkumpul dan berserikat dengan bebas dan damai; dan
i. mendapatkan informasi.
Yang dimaksud dengan "hak-hak politik", antara lain hak untuk:

a. mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum, lembaga peradilan dan badan-badan administrasi publik lainnya;

b. mendapat rasa aman dan perlindungan dari negara terhadap kekerasan ras dan etnis baik kekerasan fisik, sosial maupun psikis baik disebabkan oleh aparatur pemerintah atau oleh perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi tertentu;

c. berpartisipasi dalam pemerintahan sebagaimana dalam kegiatan publik pada tingkat apa pun; dan

d. berpartisipasi dalam bela negara.
Yang dimaksud dengan "hak-hak ekonomi", antara lain hak untuk:

a. berusaha mencari penghidupan yang layak di seluruh wilayah negara Indonesia;

b. bekerja, memilih pekerjaan, memiliki kondisi kerja yang adil dan diinginkan;

c. mendapat gaji yang pantas sesuai dengan pekerjaan dan sistem penggajian;
d. membentuk dan menjadi anggota dari serikat pekerja;
e. memperoleh perlindungan terhadap pengangguran; dan
f. memiliki perumahan.
Yang dimaksud dengan "hak-hak sosial dan budaya", antara lain hak untuk:

a. memperoleh pelayanan kesehatan, pengobatan, jaminan sosial dan pelayanan-pelayanan sosial lainnya;

b. memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama atas segala bentuk pelayanan umum;

c. memperoleh kesempatan dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa budaya, sosial, dan ekonomi;

d. memperoleh kesempatan yang sama untuk mengekspresikan budayanya;

e. menikmati, mendapatkan dan memperoleh jaminan atas terselenggaranya pendidikan dan pelatihan yang bertujuan untuk mencerdaskan dan/atau menambah keterampilannya, tanpa membedakan ras dan etnis; dan

f. menyelenggarakan pendidikan tanpa memperhatikan ciri khas ras dan etnisnya.


Pasal 10

Huruf a

Ketentuan ini dimaksudkan jika akan terjadi diskriminasi ras dan etnis, warga negara secara bertanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan melaporkan kepada pihak yang berwenang.

Huruf b

Informasi yang disampaikan kepada pihak berwenang, dalam hal ini Komnas HAM, Kepolisian, dan Kejaksaan, dapat berupa keterangan dan barang bukti yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan yang bersifat diskriminasi ras dan etnis yang dilakukan oleh setiap orang atau korporasi.


Pasal 11

Ketentuan ini dimaksudkan agar setiap orang, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan dan organisasi nonpemerintah mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam menyelenggarakan segala upaya terarah dan bertanggung jawab dan yang bertujuan menghilangkan hambatan-hambatan dalam interaksi dan komunikasi antar-ras dan antar-etnis.


Pasal 12

Cukup jelas.


Pasal 13

Cukup jelas.


Pasal 14

Yang dimaksud dengan "mengajukan gugatan secara bersama-sama" adalah gugatan perwakilan (class action) dalam pasal ini adalah hak sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena kegiatan diskriminasi berdasarkan ras dan etnis.


Pasal 15

Cukup jelas.


Pasal 16

Cukup jelas.


Pasal 17

Cukup jelas.


Pasal 18

Cukup jelas


Pasal 19

Cukup jelas.


Pasal 20

Cukup jelas.


Pasal 21

Cukup jelas.


Pasal 21

Ketentuan ini dimaksudkan agar peraturan perundang-undangan yang terkait, misalnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merupakan peraturan perundang-undangan yang melengkapi atau saling melengkapi dalam rangka mempermudah penerapan hukum.


Pasal 23

Cukup jelas


LN. 171. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4919

[+/-] Read more...