Sebuah kebijakan operasi militer bersandi Operasi Jaring Merah yang akhirnya menempatkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Kebijakan ini menyulut gejolak sosial yang dikemudian hari ternyata menjadi konflik bersenjata yang berkepanjangan. Target operasi ini semula bertujuan menumpas gerakan yang disebut Gerakan Aceh Merdeka yang selanjutnya disingkat GAM. Terkadang Pemerintah Republik Indonesia juga menyebut Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) untuk kelompok ini. Pelaksanaan lapangan operasi tersebut telah menyebabkan jatuhnya korban masyarakat sipil dalam jumlah yang sangat besar. Data dari Amnesty International selama pelaksanaan operasi militer (1989-1998) tercatat 871 orang tewas di tempat kejadian perkara, 387 orang hilang yang kemudian ditemukan tewas, 550 orang dinyatakan hilang, 368 orang korban penganiayaan, 120 korban dibakar rumahnya, 102 korban perkosaan serta kurang lebih 400 toko, lembaga pemerintahan dan sekolah-sekolah dibakar dan dirusak. Operasi militer ini bukan hanya telah menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (Gross Violation of Human Rights) yang begitu nyata, seperti tindak kekerasan/ penganiayaan yang langsung maupun tidak langsung dirasakan sendiri oleh masyarakat, namun juga suatu pembantaian peradaban religius dan kemanusiaan (Crime Againts Culture and Humanity) yang sudah berabad-abad dibangun oleh masyarakat Aceh. Ironisnya, fakta yang ada di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan GAM/GPK juga ikut menjadi korban. Operasi militer ini menjadi suatu hal yang menakutkan dan traumatik karena aparat militer (Baca: TNI, dulunya ABRI) cenderung bertindak semena-mena terhadap masyarakat yang dicurigai mempunyai hubungan dengan GAM/GPK, tetapi terkadang kasusnya banyak yang direkayasa seperti rakyat yang tidak terlibat tindak kriminalitas apalagi melanggar hukum, dianggap sebagai anggota GAM/GPK.
Penetapan Daerah Operasi Militer terhadap Aceh adalah kebijakan politik negara yang langsung berada di bawah tanggung jawab presiden saat itu. Penetapan ini berawal dari laporan gubernur Aceh saat itu, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, tentang situasi dan kondisi keamanan yang waktu itu mengalami gangguan teror keamanan yang dilakukan oleh GPK. Sebelum ditetapkan, langkah yang sudah diambil dan dilakukan adalah pendekatan kultural dan kemasyarakatan dengan mengedepankan tokoh-tokoh agama, seperti T. Ali Hasjmy. Namun belum juga mampu meredam aksi-aksi GPK, sehingga akhirnya pemerintah memutuskan pendekatan militer dan inilah awal tragedi kemanusian tersebut.
Memang ketegangan sudah lama terjadi dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat Aceh, yang memiliki warisan budaya yang kaya dan berbeda dengan kebudayaan Jawa, serta juga ada tradisi lama yang menolak dominasi yang dilakukan pihak dari luar daerah tersebut. Ketegangan ini bermula dari “penipuan” (kursif dari penulis) yang dilakukan oleh Presiden RI yang pertama, Ir. Soekarno. Sehingga tokoh masyarakat Aceh yang sangat dikagumi dan dihormati yaitu Muhamad Daud Beureuh, “mengangkat senjata” memberontak dan melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat, dengan DI/TII-nya. Disamping itu juga pemberlakuan yang tidak adil dalam pembagian keuangan pusat dan daerah membuat rakyat Aceh berontak. Hampir sebagian besar wilayah Aceh merupakan daerah penghasil minyak yang menyumbangkan pendapatan devisa negara lebih dari 20%. Terutama di Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Timur. Namun ternyata kekayaan alam yang sangat melimpah itu hanya sedikit sekali yang manfaatnya dirasakan oleh masyarakat Aceh. Contohnya adalah PT Arun LNG Co. dan ExxonMobil, dua perusahaan pengeksplorasian minyak di Aceh. Mereka sanggup membayar gaji karyawannya sampai dengan ratusan juta rupiah dan melengkapi fasilitas di perumahan karyawan mereka dengan fasilitas sekolah dan lingkungan yang sangat baik sekali, tetapi dilain sisi disekitar lokasi pengeksplorasian mereka terdapat sekolah-sekolah yang hanya berdindingkan kayu dan beratapkan seng serta siswa-siswanya banyak yang tidak memakai alas kaki, apalagi mempunyai buku sekolah dan buku tulis. Kenyataan dan kesenjangan sosial ini telah berlangsung puluhan tahun dan sangat menyakitkan hati sebagian besar orang Aceh.
Sehingga akhirnya atas desakan dan gelombang refomasi yang terjadi di Jakarta, dengan jatuhnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan, pada tanggal 7 Agustus 1998, Panglima TNI waktu itu, Jenderal Wiranto, mencabut status Daerah Operasi Militer. Hal ini menandai berakhirnya era sepuluh tahun sejak 1989 sejak operasi militer bersandi Operasi Jaring Merah yang penuh dengan catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia. Karena pada saat ditetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer adalah suatu keputusan politik, maka pencabutan status DOM harus diikuti dengan pertanggungjawaban politik, hukum, sosial dan ekonomi. Untuk semua hal itu maka presidenlah yang paling bertanggung jawab terhadap kejahatan kemanusiaan di Aceh, selain itu juga Panglima ABRI pada saat itu. Karena keputusan politik itu berada di tingkat presiden. Kalau kemudian secara teknis muncul persoalan-persoalan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, bisa saja diusut oknum lainnya. Tapi pertanggungjawaban paling makro adalah pemberlakuan status daerah operasi militer di Aceh.
Charity Fund
Bantulah Saudara-saudara kita yang menjad korban jebolnya tanggul di Situ Gintung, Tangerang, Banten-Indonesia Melalui Palang Merah Indonesia
Bantuan Bencana Umum:Bank Mandiri Cabang Wisma Baja a/c 070.00001.160.17 a/n Palang Merah Indonesia
NEWS and ARTICLES
Please read news and my articles this following :
Wednesday, January 10, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tetap semangat bung...tetap menulis dan bertahanlah dari godaan selingkuh..wakakaka
ReplyDelete