Charity Fund

Bantulah Saudara-saudara kita yang menjad korban jebolnya tanggul di Situ Gintung, Tangerang, Banten-Indonesia Melalui Palang Merah Indonesia

Bantuan Bencana Umum:Bank Mandiri Cabang Wisma Baja a/c 070.00001.160.17 a/n Palang Merah Indonesia



NEWS and ARTICLES

Please read news and my articles this following :

Wednesday, January 10, 2007

Tanggung Jawab Negara terhadap Lingkungan

Bencana selalu datang menimpa bangsa Indonesia. Banjir, Longsor dan Gempa Bumi telah menjadi kata-kata yang akrab di telinga kita. Kerugian materiil yang begitu besar, korban tewas dan luka, para pengungsi, dan kehancuran ekonomi adalah istilah-istilah yang begitu sering terdengar dan terbaca diberbagai media massa setiap tahunnya bahkan hampir setiap bulan. Tetapi suatu hal yang sangat memalukan sekali bagi kita yang memiliki suatu pemerintahan dan seharusnya berkewajiban mengurus hal ini, justru hampir dikatakan telah gagal dalam mengatasi persoalan-persoalan ini. Sejak peristiwa Tsunami Aceh tanggal 24 Desember 2004, yang mengakibatkan kerugian materiil yang luar biasa dan jumlah korban tewas yang sangat besar, ternyata tidak juga menjadi pelajaran kita bersama khususnya pemerintah dalam mencegah dan menangani bencana alam yang sering terjadi di negeri potensial bencana ini.

Banjir dan Longsor, adalah dua kata yang dua bulan belakangan ini mulai terdengar lagi di telinga kita. Setiap hari hampir semua media massa cetak dan elektronik memuat berita-berita yang berkaitan dengan banjir dan longsor. Bacalah judul “Banjir di Sumatera Semakin Meluas” yang termuat sebagai headline di Harian Kompas tanggal 30 Desember 2006. Status headline berita ini seharusnya juga menjadi cambuk bagi pemerintah untuk bekerja lebih serius lagi dalam menangani persoalan ini. Bukan sekedar berwacana seperti yang dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat memberikan kata sambutan di Perayaan Hari Natal Bersama tahun 2006. Kita sebagai rakyat sudah muak dengan pernyataan-pernyataan para pemimpin negara ini yang terkadang tidak solutif bahkan cenderung kontraproduktif. Coba saja kita segarkan memori kita kembali ketika Pasca Gempa Bumi Yogya terjadi. Beberapa hari setelah gempa tersebut dengan mudahnya Wakil Presiden kita, Jusuf Kalla, mengatakan pemerintah akan memberikan kompensasi kepada warga yang menjadi korban sebesar 30 juta setiap kepala keluarga. Namun dikemudian hari dengan mudahnya juga beliau berkata, uang tersebut tidak bisa dikeluarkan karena harus membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mencairkannya dan sampai sekarang janji tersebut belum terealisir.

Masih segar dalam ingatan kita juga persoalan Semburan Lumpur Panas Lapindo yang sampai makalah ini dibuat tetap masih belum selesai. Padahal telah 7 bulan berlalu pasca semburan lumpur tersebut, belum menunjukkan tanda-tanda dapat diatasi. Kerugian miliaran rupiah dan hilangnya hak sipil serta hak ekonomi, sosial, budaya masyarakat sekitar belum juga menyadarkan pemerintah kita untuk melakukan sesuatu untuk mengatasi persoalan ini.

Kita semua seharusnya malu mengakui sebagai sebuah bangsa yang beradab karena kita tidak pernah mau belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu. Kita cenderung permisif dan pelupa atau sengaja melupakan atas peristiwa-peristiwa kerusakan lingkungan yang mengakibatkan terjadinya bencana-bencana ini. Namun, yang paling bertanggungjawab dalam hal ini adalah Pemerintah. Sebagai suatu representatif pelaksanaan kekuasaan negara seharusnya pemerintah dapat memenuhi kewajibannya untuk memberikan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun sebaliknya, pemerintah sering kali bertingkah tidak mau mendengar dan bersikap seolah-olah pihak yang paling mengetahui semua persoalan. Kritik dan masukan pendapat dari organisasi-organisasi pecinta lingkungan, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), seringkali diabaikan oleh pemerintah.

Kewajiban pemerintah atas pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini dapat kita baca pada Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”[1]. Hal yang sama dapat kita baca juga pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup[2] serta Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia[3].

Dari uraian pasal demi pasal diatas dapat kita terjemahkan bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dimiliki oleh setiap orang yang berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia. Sehingga menurut ajaran Universalitas Hak Asasi Manusia, kewajiban untuk hal tersebut ada pada negara dalam hal ini pemerintah[4]. Sejak Indonesia merdeka atau setidaknya sejak berlakunya semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, seharusnya pemerintah sudah memiliki agenda dan program yang jelas bagaimana langkah-langkah yang harus diambil untuk pemenuhan kewajibannya ini.Tetapi jika kita mengacu kepada bencana-bencana yang sering terjadi dan jatuhnya korban yang begitu luar biasa, menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengatasi persoalan ini. Bencana alam memang tidak dipungkiri sering terjadi, tetapi faktor kelalaian dan ketidakprofesionalan penanganan bencana dan pencegahannya yang justru menjadi faktor terbesar dalam menimbulkan korban. Permasalahan-permasalahan yang timbul seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk memperbaiki diri dalam hal penanganan dan pencegahan bencana.

[1] Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, SH, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hal. 50.
[2] Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi ketujuh, Cet. Ketujuh belas, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Lampiran II.
[3] Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Tahun 2000 dan Hak Asasi Manusia Tahun 1999, Bandung: Penerbit Citra Umbara, 2001
[4] Lembar Fakta HAM, Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia, Edisi II, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2002

No comments:

Post a Comment