“Temasek Holding (Pte) Ltd atau biasa disebut Temasek memiliki empat puluh satu persen saham di PT Indosat Tbk dan tiga puluh lima persen di PT Telkomsel”
Berdasarkan data kepemilikan saham ini, maka tidak salah jika masyarakat berasumsi bahwa ada konflik kepentingan dalam penanganan operasional manajemen di kedua perusahaan telekomunikasi tersebut, yang cukup besar market share-nya di Indonesia. Ketika sebuah perusahaan didirikan dan selanjutnya menjalankan kegiatannya, yang menjadi tujuan utama dari perusahaan tersebut adalah mencari keuntungan setinggi-tingginya dengan prinsip pengeluaran biaya yang seminimum mungkin. Begitu juga, dengan prinsip pemilikan saham. Pemilikan saham sama artinya dengan pemilikan perusahaan. Kepemilikan perusahaan oleh seseorang atau badan atau lembaga korporasi tentunya bertujuan bagaimana caranya kepemilikan tersebut dapat menghasilkan keuntungan terhadap diri si pemiliki saham tersebut. Bicara keuntungan tentunya kita tidak hanya bicara tentang keuntungan financial, tetapi juga tentang keuntungan non financial, seperti memiliki informasi penting, penguasaan efektif, pengatur kebijakan, dan lain-lainnya. Oleh sebab itu, kepemilikan saham Temasek di kedua perusahaan tersebut menarik untuk diamati dalam rangka mencermati apakah ada tercipta persaingan tidak sempurna untuk kepemilikan saham tersebut dalam bentuk OLIGOPOLI KOLUSIF?
Seperti halnya yang diketahui masyarakat bahwa Temasek adalah perusahaan holding yang sangat besar di Singapura dengan bentuk badan hukum Private Limited. Pada awalnya Temasek masuk ke pasar telekomunikasi Indonesia melalui divestasi PT Indosat Tbk pada tahun 2002 dengan cara pembelian saham tidak langsung, artinya pada saat itu yang membeli saham Indosat adalah Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) melalui suatu perusahaan yang khusus didirikan untuk membeli saham Indosat, yaitu Indonesia Communication Limited (ICL). Sedangkan STT sendiri adalah perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Singapura yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh Temasek Holding Pte Ltd. Jadi, dari susunan atau pola kepemilikan saham yang berlapis-lapis di Indosat, tersirat ada sesuatu kepentingan yang tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan financial semata tetapi lebih dari itu. Pertanyaannya adalah apakah keuntungan non financial yang sebenarnya dicari Temasek? Jawaban sederhana atas pertanyaan ini adalah : Perjalanan waktu yang akan menentukan. Tetapi sebenarnya tujuan tersebut dapat diketahui segera jika pihak Indonesia memiliki niat untuk mengetahuinya. Hal ini tentunya akan mudah menemukannya dengan berbagai metode atau teknik investigasi untuk menemukan maksud dan niat dibalik pembelian saham Indosat oleh Temasek tersebut.
Sepak terjang Temasek di dunia telekomunikasi Indonesia semakin lengkap, dengan masuknya Temasek ke Perusahaan PT Telkomsel melalui Singapore Telecommunications Mobile Pte Ltd (SingTel Mobile). Dimana kepemilikan saham SingTel Mobile di PT Telkomsel adalah sebesar tiga puluh lima persen. Sedangkan Temasek sendiri memiliki kepemilikan saham di SingTel Mobile.
Dengan adanya kepemilikan saham tidak langsung oleh Temasek pada PT Telkomsel dan PT Indosat Tbk telah memunculkan dugaan terjadinya praktek kartel dan oligopoli di bidang jasa layanan seluler. Hal ini disebabkan untuk jasa layanan seluler khususnya di jalur GSM, hanya ada tiga ‘pemain besar’ yaitu PT Telkomsel, PT Indosat dan PT Excelcomindo Pratama, Tbk (XL). Ini artinya sekitar 75 market share telekomunikasi Indonesia di “kuasai” oleh Temasek dan dugaan awal terjadinya praktek Oligopoli kolusif di pasar telekomunikasi Indonesia.
Selanjutnya, yang menjadi bahan pertanyaan kita semua adalah apakah yang dimaksud dengan Oligopoli kolusif? Di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Usaha Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dijelaskan bahwa yang dimaksud Oligopoli ialah Perjanjian yang dilarang antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa melebihi 75% dari market share atas satu jenis barang atau jasa tertentu. Jika ketentuan Undang-Undang ini ditafsirkan secara otentik maka pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha ekonomi baru dikatakan melakukan oligopoli kalau memenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur perjanjian dan unsur market share lebih dari 75%. Sehingga jika kemudian ditafsirkan secara a contrario maka, pelaku usaha yang tidak membuat perjanjian dan memiliki market share dibawah atau sama dengan 74%, tidak memenuhi definisi melakukan praktek oligopoli sehingga tidak melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dari ketentuan Undang-Undang ini jelas terlihat bahwa sesungguhnya Undang-Undang sendirilah yang membatasi pengertian dan ruang lingkup praktek oligopoli yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Pengertian dan ruang lingkup ini membuat penegakkan hukum terhadap praktek Oligopoli ini menjadi kaku dan merugikan kepentingan pesaing yang dimatikan dan juga bahkan mungkin konsumen barang atau jasa dari pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli tadi.
Istilah Oligopoli sendiri memiliki arti “beberapa penjual”. Hal ini bisa diartikan minimum 2 perusahaan dan maksimum 15 perusahaan. Hal ini terjadi disebabkan adanya barrier to entry yang mampu menghalangi pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar. Jumlah yang sedikit ini menyebabkan adanya saling ketergantungan (mutual interdepedence) antar pelaku usaha[1]. Ciri yang paling penting dari praktek oligopoli ialah bahwa setiap pelaku usaha dapat mempengaruhi harga pasar dan mutual interdependence. Praktek ini umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk ke dalam pasar dan untuk menikmati laba super normal di bawah tingkat maksimum dengan menetapkan harga jual terbatas (limiting process) sehingga menyebabkan kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli menjadi tidak ada[2]. Sehingga apabila pelaku-pelaku usaha yang tadi melakukan kolusi maka mereka akan bekerja seperti satu perusahaan yang bergabung untuk memaksimalkan laba dengan cara berlaku kolektif seperti layaknya perusahaan monopoli[3], inilah yang disebut disebut praktek oligopoli kolusif. Perilaku ini akan mematikan pesaing usaha lainnya dan sangat membebankan ekonomi masyarakat.
Kembali pada kasus pemilikan saham Temasek di PT Indosat, Tbk., dan PT Telkomsel. Walaupun tidak ada perjanjian diantara PT Telkomsel dengan PT Indosat, Tbk., tetapi persoalan oligopoli sebenarnya tidak boleh hanya dilihat dari sekedar apakah ada perjanjian atau tidak? atau berapa persentase market share-nya?. Di dalam dunia telekomunikasi Indonesia khususnya untuk provider GSM, hanya ada tiga perusahaan besar. Sehingga jelas jika terbukti kedua perusahaan tersebut melakukan “kerjasama”, maka akan ada praktek oligopoli yang kolusif. Sedikitnya perusahaan yang bergerak di sektor ini membuat mereka harus memiliki pilihan sikap, koperatif atau non koperatif. Suatu pelaku usaha/perusahaan akan bersikap non koperatif jika mereka berlaku sebagai diri sendiri tanpa ada perjanjian eksplisit maupun implisit dengan pelaku usaha/perusahaan lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya perang harga. Sedangkan beberapa pelaku usaha/perusahaan beroperasi dengan model koperatif untuk mencoba meminimalkan persaingan. Jika pelaku usaha dalam suatu oligopoli secara aktif bersikap koperatif satu sama lain, maka mereka telibat dalam KOLUSI.
Pada kasus Temasek, jelas terlihat sebagai pemegang saham tentunya menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Policy ‘mengeruk’ keuntungan ini tentunya dituangkan di seluruh aspek yang menjadi unit bisnis usahanya, termasuk didalamnya adalah PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk. Sehingga dengan status kepemilikan di dua perusahaan tersebut akan dapat mengoptimalkan maksud dan tujuan Temasek tersebut. Caranya memaksimumkan keuntungan tersebut adalah kolusi antara PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., dengan mempertimbangkan saling ketergantungan mereka, sehingga mereka menghasilkan output dan harga monopoli serta mendapatkan keuntungan monopoli. Hal ini dapat terlihat dari penentuan tarif pulsa GSM antara PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., dimana boleh dikatakan tarif harga pulsa GSM di Indonesia adalah salah satu yang termahal di dunia. Padahal, negara-negara tetangga sekitar sudah dapat menerapkan harga unit pulsa yang sangat murah dan menguntungkan masyarakat serta tidak mematikan persaingan usaha. Apalagi notabene-nya, di negara Temasek sendiri harga unit pulsa boleh dikatakan sangat murah. Lantas, kenapa di Indonesia harga pulsa menjadi sangat mahal?. Padahal secara konsep teknologi, dimungkinkan penggunaan untuk menekan harga unit pulsa menjadi sangat murah, contohnya adalah pada teknologi CDMA Flexi dan Esia yang sering dihambat perkembangan oleh “pihak-pihak tertentu” yang tidak menginginkan perkembangan bisnis usaha ini. Padahal jelas-jelas menguntungkan masyarakat.
Coba lihat selisih harga tarif pulsa antara produk PT Telkomsel dan PT Indosat yang tidak begitu jauh. Selisih tarif yang sangat kecil ini mengindikasikan dugaan awal terjadinya praktek Oligopoli Kolusif diantara mereka. Penentuan tarif harga yang sangat mahal ini, jelas adalah pengeksploitasian ekonomi masyarakat dan boleh dikatakan sebagai Kolonialisme Gaya Baru.
Jika indikasi awal sudah ditemukan, pertanyaan selanjutnya apakah pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mampu untuk menyelesaikan persoalan ini? Yang jelas adalah salah satu mandat dari KPPU adalah untuk mengawasi pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimana salah satu tujuan dari Undang-Undang ini adalah MENJAGA KEPENTINGAN UMUM DAN MENINGKATKAN EFISIENSI EKONOMI NASIONAL SEBAGAI SALAH SATU UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT. Jadi kita tunggu saja aksi dari KPPU melihat praktek oligopoli yang dilakukan PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., berani atau tidak? dan pertanyaan selanjutnya adalah berpihak ke rakyat (baca: kepentingan umum) atau tidak? Mari kita tunggu bersama-sama walaupun tanpa batas waktu..
Charity Fund
Bantulah Saudara-saudara kita yang menjad korban jebolnya tanggul di Situ Gintung, Tangerang, Banten-Indonesia Melalui Palang Merah Indonesia
Bantuan Bencana Umum:Bank Mandiri Cabang Wisma Baja a/c 070.00001.160.17 a/n Palang Merah Indonesia
NEWS and ARTICLES
Please read news and my articles this following :
Thursday, March 29, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Pak husendro, sejak berita ttg masalah ini pertama kali saya baca (sekitar 6 bulan lalu), hampir setiap media menyebut temasek menguasai 75% (ada yg menyebut sampai 80%) pangsa pasar seluler indonesia.
ReplyDeleteSebenarnya dari mana angka itu berasal? Apakah simply menambahkan market share telkomsel 50% dengan market share indosat sekitar 30%?
Padahal kalau dihitung, dari 50% market share telkomsel di indonesia, porsi Temasek (atau tepatnya SINGTEL) hanya sekitar 18% saja (50% pasar Telkomsel x 35% saham Singtel), selebihnya penguasaan pasar ini dinikmati TELKOM. Sedang dari indosat sekitar 12% saja (30% x 41%).
Janganlah langsung percaya sama yg dibilang pemerintah. Kalo dipikir2 kenapa sih KPPU getol bgt ngangkat isu monopoli temasek? Ini ada berita dari: http://hukumonline.com/detail.asp?id=16633&cl=Berita
ReplyDeleteMemang tdk bisa dijadikan acuan, tp paling tdk membuka mata kita utk melihat kemungkinan adanya agenda lain KPPU.
Ada Konspirasi di Balik Buy Back Indosat
[2/5/07]
Belum kelar kajian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap keberadaan Temasek di Indosat. Tiba-tiba muncul dugaan adanya konspirasi di balik buy back saham Temasek di Indosat.
Isu konspirasi ini bisa dikatakan cukup menghebohkan. Selain diduga melibatkan pejabat KPPU, juga diduga melibatkan pejabat di Kementerian Negara BUMN dan bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Munculnya dugaan konspirasi ini bermula dari dua lembar faksimili yang diterima Hukumonline akhir pekan lalu. Press release bertajuk ‘Konspirasi Perusahaan di Balik Isu Buy Back Indosat’ itu memaparkan secara gamblang sebuah konspirasi yang disponsori perusahaan asal Rusia, Altimo-Alfa Group—dalam skenario buy back Indosat.
“Setelah diselidiki, ternyata ada kepentingan kelompok usaha asal Rusia yaitu Altimo-AlfaGroup yang mendalangi gencarnya tuntutan buy back tersebut. Altimo-AlfaGroup mencoba menunggangi isu buy back Indosat untuk mengambil keuntungan bisnis mereka,” demikian petikan press release yang ditandatangani Musarman, Koordinator Institute for Analysis of Information and Technologies Business (IA-ITB).
Dalam press release itu disebutkan bahwa Altimo-AlfaGroup adalah bagian dari Alfa Group, sebuah konglomerat raksasa di Rusia. Altimo-Alfa menyediakan tak kurang AS$ 2 miliar untuk membeli saham Indosat. Dengan dana AS$ 2 miliar ini pemerintah akan membeli 41,9 persen saham Temasek di Indosat.
Rencananya, saham tersebut akan dibagi dua. Pemerintah akan mendapat 15 persen, dan Altimo-AlfaGroup mendapat 26,9 persen. Namun, saham senilai 15 persen ‘hadiah’ dari Altimo-AlfaGroup tersebut bukanlah gratis. Pemerintah harus membayar kembali melalui dividen yang didapat.
“Cara ini yang dilakukan Altimo-Alfa untuk mengambil alih saham-saham telekomunikasi di negara dunia ketiga. Dan, Altimo hendak menjadikan Indosat sebagai tempat pencucian uang (money laundering) hasil aktivitas bisnis ilegal mereka di Rusia,” demikian stateman lain press release itu.
Saat ini ditengarai perwakilan Altimo-Alfa di Jakarta tengah sibuk melakukan lobi untuk memuluskan rencana Altimo-Alfa membeli saham Indosat. Lobi itu ternyata juga didukung dengan kekuatan finansial.
Dalam press release itu dipaparkan bahwa dana Rp 10 miliar siap digelontorkan untuk setiap anggota DPR yang berhasil di lobi. Selain itu, pimpinan dan anggota KPPU juga menjadi target untuk memuluskan rencana Altimo tersebut. Kompensasi sebesar Rp 5 miliar untuk urusan lobi ini diyakini telah disiapkan.
Yang tak kalah menarik, lembaga INDEF disebut dalam press release itu diduga telah dibayar Altimo sebesar Rp 3 miliar. Dana sebesar itu dipakai untuk membuat kajian mengenai monopoli Temasek. Kajian ini akan dijadikan bukti pada pengadilan di KPPU nantinya
Bukan Isapan Jempol?
Belum jelas kebenaran dari isi press release itu. Musarman yang menandatangani press release bak ditelan bumi. Dihubungi sejak Senin (30/4) hingga berita ini diturunkan, telepon selulernya selalu bernada sibuk. Demikian juga dengan Suharto—seseorang yang disebut dalam press release itu sebagai perwakilan Altimo-Alfa di Jakarta—telepon selulernya selalu dalam posisi OFF.
Meski belum jelas, isu adanya perusahaan Rusia yang hendak membeli saham Temasek di Indosat telah bergulir cepat. Apalagi, sinyal keinginan perusahaan Rusia ini yang ingin menancapkan bisnisnya di industri telekomunikasi Indonesia telah lama dilontarkan. Boleh jadi, ini bukan isapan jempol semata.
“Kami menyadari tidak banyak investor asal Rusia yang menanamkan modalnya di Indonesia, tetapi bagaimanapun harus ada yang memulai,” kata Kirill Babaev, salah seorang Vice President ALTIMO, dalam kesempatan jumpa pers di Jakarta pada penghujung tahun lalu.
Kirill tidak memungkiri bahwa keputusan ALTIMO untuk melakukan investasi di Indonesia merupakan ‘buah’ positif dari kunjungan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono awal Desember lalu ke negeri Beruang Merah itu. Selain itu, ALTIMO juga melihat ada potensi pasar yang cukup besar pada bisnis telekomunikasi Indonesia.
Andrei Zemnitsky, Vice President ALTIMO, mengatakan ALTIMO sudah membidik beberapa perusahaan telekomunikasi Indonesia. Investasi akan dilakukan pada tahun 2007 dengan membeli 20 persen hingga 30 persen saham perusahaan telekomunikasi.
Dia mengisyaratkan pilihan ALTIMO tidak akan beranjak pada tiga perusahaan telekomunikasi terbesar di negeri ini, yakni Indosat, Telkomsel, dan Excelcomindo. Dana segar yang disediakan pun tidak tanggung-tanggung, 2 milyar dollar AS yang akan dikonversikan dalam bentuk kepemilikan saham di beberapa perusahaan telekomunikasi nasional.
Sinyal ini diperkuat dengan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam berbagai kesempatan menyatakan, pemerintah ingin membeli kembali saham Indosat. Tak hanya itu, sejumlah kalangan di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah terus berupaya menggalang dukungan untuk mendorong rencana tersebut.
Bahkan, ada dugaan pemerintah Indonesia telah mengadakan serangkaian pertemuan dengan Altimo, anak perusahaan Alfa Group. Berdasarkan dokumen yang ada, pertemuan itu digelar di Jakarta, Moskow, dan Dubai. Pemerintah diwakili Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sugiharto dan timnya. Dokumen internal Altimo itu berisi poin-poin yang mesti disampaikan oleh perwakilan Altimo di Jakarta kepada Wakil Presiden dan Menteri Negara BUMN.
Ramai-ramai Klarifikasi
Tentu saja, yang paling tersodok adanya isu di atas terutama soal ‘biaya lobi’ adalah Didik J Rachbini. Ketua Komisi VI—yang disebut dalam press release yang berhasil dilobi pihak Altimo-AlfaGroup--ini menandaskan bahwa itu bisa dikategorikan sebagai contempt of parliament. “Kalau perlu kita akan memanggil Musarman dan pihak terkait lainnya. Biar masalah ini kelar,” jawabnya melalui pesan singkatnya (SMS).
Jawaban hampir senada disampaikan oleh anggota Komisi VI lainnya, yakni Fachri Hamzah (Fraksi PKS), dan Nusron Wahid (Fraksi Partai Golkar). Keduanya, juga disebut dalam press release itu yang telah berhasil dilobi pihak Altimo-Alfa Group.
Ketua KPPU Muhammad Iqbal yang juga dituding telah menerima ‘pelicin’ sebesar Rp 5 miliar dalam pemeriksaan terhadap Temasek pun hanya geleng-geleng kepala. “Itu tidak masuk akal. Saya sendiri tidak tahu menahu soal tuduhan itu,” ujarnya.
KPPU, lanjut Iqbal hanya memeriksa, apakah kasus Temasek itu telah melanggar UU No. 5 Tahun 1999 atau tidak. Dan, apakah suatu persaingan usaha itu sehat atau tidak. Dalam perkara temasek ini, KPPU mendasarkan pemeriksaan pada 3 pasal, yaitu Pasal 17, Pasal 25 dan Pasal 27. “Lebih sedikit dari pasal-pasal yang dituduhkan FSP BUMN,” akunya.
Menanggapi tudingan bahwa KPPU terlalu memaksakan diri memeriksa kasus Temasek padahal kasus itu sudah kadaluarsa, Iqbal menjelaskan bahwa KPPU berpedoman pada Peraturan Komisi No.1 tahun 2006. Begitu ada laporan yang dilayangkan, hal itu tidak semerta-merta dianggap sebagai laporan resmi. Ada klarifikasi dulu sebelumnya, misalnya identitas pelapor.
Menurut Iqbal, KPPU secara resmi mencatat laporan dari FSP BUMN pada 22 Desember 2006. Setelah diterima, proses berikutnya adalah klarifikasi yang dapat memakan waktu selama 30 hari. Dan, jika dianggap perlu dapat ditambah 30 hari lagi. Disini KPPU-pun sudah memintakan cross-check kepada Indosat dan Telkomsel. Jika memang ada bukti awal pelangaran UU No. 5 tahun 1999, maka perkara masuk ke tahap pemberkasan, dimana rentang waktunya juga selama 30 hari.
Pemeriksaan pendahuluan merupakan kelanjutan dari proses pemberkasan. Awal April lalu, KPPU baru membentuk tim pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Temasek ini. “Jadi tidak ada itu daluwarsa. Semuanya on-time. Kalau ada yang bilang daluwarsa, hitungannya darimana?” seloroh Iqbal.
Sementara itu, Koordinator Federasi Serikat Pekerja BUMN (FSP BUMN) Arief Poyuono mengaku telah mendengar tentang adanya isu konspirasi di balik buy back Indosat. Bahkan, ia juga mendengar bahwa Altimo-Alfa ini telah menunggangi laporan FSP BUMN ke KPPU soal Temasek itu. Altimo-Alfa juga aktif mengkondisikan ekspose besar-besaran aktivitas FSP BUMN melaporkan Temasek ke KPPU.
Meski demikian, Arief mengaku tidak begitu mengenai sosok Musarman. “Ia pernah menelepon saya dan tanya soal kasus Temasek. Secara fisik, saya belum ketemu. Saya sih menduga, mungkin ada benarnya apa yang diungkap dalam press release itu,” paparnya. Nah, lo??
Perusahaan Asing Berebutan Pangsa Pasar Seluler di Indonesia
ReplyDeleteKonon beredar kabar bahwa issue monopoli TEMASEK HOLDING terhadap dua perusahaan seluler raksasa Indonesia (baca: TELKOMSEL dan INDOSAT), mulai tercetus dan disebarluaskan pertama kali oleh pihak Malaysia secara diam-diam.
Dahulu Malaysia hendak mencaplok TELKOMSEL dan/atau INDOSAT, namun mereka ternyata kalah cepat dari Singapura. Akhirnya, Malaysia “hanya kebagian jatah” mencaplok EXELCOMINDO PRATAMA (XL), dan menjadikan XL sebagai salah satu anak buah perusahaan mereka; a TM company (TM = Telecom Malaysia).
Dengan semakin kuatnya issue monopoli TEMASEK ini, mereka mengharapkan agar setidak-tidaknya pihak TEMASEK harus rela melepaskan saham-sahamnya dari TELKOMSEL atau INDOSAT. Kemungkinan saham-saham yang akan dilepas tersebut kemudian dibeli, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, oleh pihak Malaysia (selain di bawah bendera TM tentunya) adalah cukup besar.
Mengingat bahwa pemerintahan Malaysia dan kroni-kroninya, sedang gencar-gencarnya giat melakukan aksi “Malingsia” (baca: Malingin Indonesia) terhadap Indonesia semenjak beberapa tahun silam. Dari mulai Ambalat, Sipadan-Ligitan, Batik, Angklung, Tempe, Lagu Rasa Sayange, hingga Tari Reog Ponorogo yang beritanya kini sedang hangat-hangatnya.
Mereka pun berhasrat ingin mendominasi/menguasai pangsa pasar seluler kita (bukan selular = celana dalam, versi bahasa Malaysia). Kalian masih tidak percaya? Biarlah waktu yang akan membuktikannya!
Mari Kita Ganyang Malaysia!!!
MERDEKA!!!
See also:
http://www.temasekholdings.com.sg/media_centre.htm
http://www.temasekholdings.com.sg/pdf/1.%20Background%20summary.pdf