Oleh:
Husendro, S.H.[1]
(Dipresentasikan dalam Rapat Koordinasi Penyusunan Profil dan Laporan Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia, yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM RI pada tanggal 24-25 November 2008 di Hotel Bumikarsa, Bidakara, Jakarta)
A. Sejarah dan Latar Belakang Hak Sipil dan Politik di Indonesia
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok HAM dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik dikalangan rakyat Negara-negara anggota PBB sendiri maupun dikalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada dibawah yuridiksi mereka. Oleh sebab bentuknya sebagai acuan umum, maka diperlukan penjabaran isi dan makna DUHAM ke dalam instrumen internasional yang bersifat mengikat secara hukum.
Pada tahun 1950, Majelis Umum PBB mengesahkan sebuah resolusi yang menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung. Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A (XXI), Majelis Umum PBB mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) beserta Protokol Opsionalnya dan juga mengesahkan International Covenant on Economic, Social and Culture Rights (ICESR) beserta Protokol Opsional. Pembedaan kedua tema HAM ini yang melahirkan ICCPR merupakan hasil kompromi politik yang keras antara kekuatan negara-negara Blok Sosialis melawan kekuatan negara-negara Blok Kapitalis yang sedang terlibat Perang Dingin. Situasi ini mempengaruhi proses legislasi perjanjian internasional hak asasi manusia yang ketika itu sedang digarap Komisi HAM PBB (mulai bekerja tahun 1949). Akibatnya terjadi pemisahan kategori hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak dalam kategori ekonomi, sosial, dan budaya ke dalam dua kovenan atau perjanjian internasional, yang pada awalnya diusahakan dapat diintegrasikan ke dalam satu kovenan saja. Akibat pembedaan ini telah membawa implikasi-implikasi tertentu dalam penegakkan kedua kategori hak tersebut.
Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki banyak persoalan di bidang HAM, pada dasarnya telah memuat beberapa muatan hak yang menjadi materi di pasal-pasal ICCPR, jauh sebelum ICCPR itu sendiri disahkan. Hal ini dapat dibuktikan dari pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia materi hak sipil dan politik yang termuat dalam UUD 1945 tidak dapat dan atau tidak mau dijalankan sepenuhnya dengan baik oleh pemerintah-pemerintah yang berkuasa pada masanya, mulai dari rejim Presiden Soekarno sampai dengan Soeharto. Seiring dengan proses demokrasi yang terus tumbuh dan bergerak cepat di Indonesia, maka terjadilah sebuah ‘pemberontakan rakyat’ kepada rejim Presiden Soeharto yang korup dan otoriter pada tahun 1998 yang ditandai dengan lahirnya sebuah suasana politik yang ‘baru’ yang disebut orde reformasi.
Selanjutnya, penghormatan dan penegakkan HAM di Indonesia mulai membaik dengan ditandai adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : XVII/MPR/1998 tentang HAM, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Untuk hak sipil dan politik lebih konkrit lagi ditandai dengan Pengesahan ICCPR dengan UU Nomor 12 Tahun 2005. Akan tetapi realitas penegakkan instrumen-instrumen tersebut dalam kehidupan masyarakat, belum sepenuhnya berjalan dengan dengan baik. Hal ini tercermin dari beberapa kasus yang ada dimana terjadi pelanggaran hak sipil dan politik di dalamnya.
B. Jenis dan Muatan Hak dalam ICCPR, UU HAM, dan UUD 1945
B. 1. ICCPR
Pada dasarnya ICCPR memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparatur negara yang ingin bertindak refresif, khususnya negara-negara yang menjadi pihak dalam ICCPR. Oleh sebab itulah, hak-hak yang ada didalamnya sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights), artinya hak-hak dan kebebasan yang dijamin didalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat berkurang. Akan tetapi, apabila negara berperan sebagai intervensionis, maka hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Inilah yang membedakan dengan model legislasi ICESCR yang justru menuntut peran maksimal negara untuk memenuhi hak-hak dalam kovenan tersebut yang sering disebut juga sebagai hak-hak positif (positive rights).
1) hak atas hidup (right to life),
2) hak bebas dari penyiksaan (right to be free from torture),
3) hak bebas dari perbudakan (right to be free from slavery),
4) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian utang,
5) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut,
6) hak sebagai subjek hukum, dan
7) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama.
1) hak atas kebebasan berkumpul secara damai,
2) hak atas kebebasan berserikat; termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, dan
3) hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui tulisan maupun tulisan).
Negara-negara pihak ICCPR diperbolehkan mengurangi atau mengadakan penyimpangan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut, tetapi penyimpangan tersebut hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang mengganggu keamanan nasional atau situasi darurat yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif terhadap ras dan etnis.[3]
B. 2. Undang-Undang HAM
Konsep Non-Derogable Rights juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang dapat dibaca pada ketentuan Pasal 4 yang menyebutkan bahwa: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Pengaturan lebih konkrit dari hak sipil dan politik dapat dibaca mulai dari Pasal 9 s.d. 34 UU HAM, yakni hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk bebas memeluk agama, hak untuk berpendapat dan berorganisasi, hak atas rasa aman, hak untuk tidak disiksa, dan hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang.
B. 3. Undang-Undang Dasar 1945
Sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia, UUD 1945 menjadi acuan bagi seluruh peraturan perundang-undangan yang dibawahnya. Konsep HAM menjadi lebih jelas pengaturannya dalam arti mendapat tempat tersendiri, yakni pada Bab XA tentang HAM, ditambah beberapa pasal diluar Bab tersebut yang tetap memuat materi HAM. Muatan hak sipil dan politik di dalam UUD 1945 dapat dibaca pada Pasal 27 tentang persamaan dalam hukum, Pasal 28 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, Pasal 28A tentang hak hidup, Pasal 28B tentang hak berkeluarga, Pasal 28C tentang hak mengembangkan diri, Pasal 28D tentang hak mendapat perlakuan hukum yang adil dan kepastian hukum, Pasal 28E tentang hak beragama, Pasal 28F tentang hak berkomunikasi, dan Pasal 28G tentang hak atas rasa aman.
Konsep Non Derogable Rights juga dianut dalam UUD 1945, yakni pada Pasal 28I yang menyebutkan bahwa: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Penyebutan secara limitatif ini menimbulkan implikasi bahwa hak-hak lain diluar Pasal ini mengandung arti termasuk jenis derogable rights.
C. Tanggung Jawab Pemenuhan dan Implementasi Hak Sipil dan Politik di Indonesia
C. 1. Tanggung Jawab Pemenuhan Hak Sipil dan Politik
Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam ICCPR ada di pundak negara, khususnya yang menjadi Negara Pihak ICCPR. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) ICCRPR yang menyebutkan bahwa: “Setiap negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak yang diakui dalam kovenan ini bagi semua individu yang berada di dalam wilayahnya dan berada di wilayah yuridiksinya, tanpa pembedaan jenis apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya.” Kalau hak dan kebebasan yang terdapat dalam kovenan ini belum dijamin dalam yuridiksi suatu negara pihak, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektfkan perlindungan hak itu sebagaimana yang bunyi Pasal ayat (2) ICCPR. Kewajiban negara pihak lainnya adalah menjamin pemulihan hak yang efektif dari suatu pelanggaran hak sipil dan politiknya walaupun si pelaku bertindak sebagai pejabat negara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (3) ICCPR. Perlindungan dan pemenuhan kewajiban hak-hak dan kebebasan dalam ICCPR oleh negara adalah bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately) atau justiciable.
Menurut Pasal 8 jo. Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab negara. Kewajiban dan tanggung pemerintah tersebut menurut Pasal 72 UU HAM meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. Ketentuan-ketentuan ini juga berarti termasuk perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak dan kebebasan sipil dan politik. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28I ayat (4) juga menyebutkan bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
C. 2. Implementasi Hak Sipil dan Politik di Indonesia
Dalam makalah ini tidak semua hak sipil dan politik dibahas dan dianalisis mengingat luas dan banyaknya hak-hak dan kebebasan yang termasuk kategori hak ini. Namun demikian, tanpa bermaksud mengecilkan arti hak-hak tersebut, maka akan coba dibahas beberapa hak yang termasuk kategori hak sipil dan politik yang sangat sering dibicarakan dan diperdebatkan banyak pihak, diantaranya ialah:
a. Hak Hidup
Pasal 6 ICCPR menyatakan setiap manusia memiliki hak atas hidup yang bersifat melekat dan harus dilindungi oleh hukum. Keharusan melindungi ini berarti setiap negara pihak wajib memiliki hukum yang melindungi hak atas hidup dalam sistem hukum di negaranya. Berkaitan dengan hak hidup ini, maka isu yang paling sering diperdebatkan adalah apakah hukuman mati diijinkan atau tidak. Perdebatan kebolehan atau tidak ini terjadi diantara para ahli hukum dan HAM dan juga ditengah-tengah kehidupan masyarakat kita. Para pendukung atau pro hukuman mati berpendapat hukuman mati masih sangat diperlukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku-pelaku kejahatan yang dianggap melakukan suatu kejahatan yang sangat melukai rasa keadilan masyarakat atau biadab walaupun definisi mengenai arti melukai atau biadab itu sangat multi tafsir. Argumentasi Golongan Pro lainnya adalah Pasal 6 ICCPR sendiri membolehkan adanya hukuman mati dengan beberapa persyaratan atau kondisi yang khusus, yakni: dijatuhkan pada kejahatan yang sangat serius; harus sesuai hukum positif yang ada di negara tersebut; tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan lain dalam kovenan atau Konvensi Pemusnahan Suku Bangsa; hanya dapat dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan akhir yang diberikan oleh pengadilan yang berkompeten; dan tidak dijatuhkan kepada anak yang berusia dibawah 18 tahun dan wanita hamil. Untuk golongan yang kontra hukuman mati argumentasinya adalah bahwa hak hidup termasuk non derogable rights sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 dan UU HAM. Namun demikian, pro kontra mengenai hal ini sudah pernah diujikan di Mahkamah Konstitusi dan putusannya membolehkan hukuman mati sepanjang memenuhi syarat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak melanggar HAM.
b. Penerapan Peraturan Daerah
Kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengatur diri sendiri merupakan perwujudan dari semangat otonomi daerah. Untuk melaksanakan otonomi tersebut maka diperlukan peraturan daerah untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut. Landasan hukum Perda ini adalah berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Namun, dalam pelaksanaan dan penerbitannya, kewenangan Pemda ini telah memunculkan Perda hanya mementingkan golongan agama tertentu dan bersifat diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Contoh dari Perda tersebut adalah:
· Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Propinsi Banten. Perda ini mengakibatkan petugas trantib di lapangan bertindak sembarangan menangkap perempuan yang berada di jalan, di malam hari, yang dituduh sebagai pelacur. Perda ini perlu dicabut karena menimbulkan penyalahgunaan dan tindak sewenang-wenang karena tidak jelasnya criteria yang membedakan antara orang yang berada diluar rumah di malam hari dan yang bukan sehingga menimbulkan potensi pelanggaran HAM;
· Perda Nomor 17 Tahun 2003 tentang Pedagang Kaki Lima di Surabaya. Perda tersebut telah melanggar HAM karena mensyaratkan PKL harus memiliki KTP Surabaya sebagai syarat untuk mendapatkan tanda daftar usaha. Persyaratan ini merupakan pembatasan bagi penduduk di luar Surabaya untuk melakukan kegiatan sebagai PKL dan telah menghambat hak setiap orang untuk memperoleh pekerjaan yang layak serta hak setiap orang untuk bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dimanapun di wilayah negara RI.
Padahal dalam ketentuan Pasal 6 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menetapkan bahwa salah satu asas pembentukan suatu peraturan perundangan-undangan adalah ‘kemanusiaan’, yang berarti harus menghormati HAM.
c. Hak Mendirikan Organisasi Buruh dan Menjadi Anggotanya
Hak ini telah jelas dijamin UUD 1945 sebagai hak konstitusional warga negara dan juga di dalam UU HAM, serta lebih diperjelas lagi dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Pembentukan Serikat Buruh. Akan tetapi pada prakteknya, masih banyak pengusaha yang tidak menyukai keberadaan organisasi buruh di perusahaannya. Pengusaha ini baik secara sengaja atau tidak sengaja, diam-diam maupun terang-terangan berusaha untuk menghalangi terbentuknya organisasi buruh dan mengintimidasi pengurusnya atau buruh yang menjadi anggota serikat buruh. Kurangnya keberpihakan dan perlindungan dari instansi yang terkait dalam perlindungan hak ini membuat hak-hak ini menjadi terlanggar yang ditunjukkan dari indikasi banyaknya kasus-kasus yang terjadi dan masuk sebagai pengaduan ke Komnas HAM.
d. Hak untuk tidak Ditahan dan Ditangkap Serta Dijadikan Tersangka/Terdakwa Secara Sewenang-wenang
Penahanan adalah bentuk pengekangan kebebasan yang tidak boleh dilakukan kecuali memenuhi persyaratan yang secara ketat diberlakukan untuk membatasi penahanan tersebut. Kasus Asrori di Jombang menunjukkan penegakkan hak ini masih dilanggar dan di banyak kasus lainnya hak ini tidak begitu dihormati oleh aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk menahan/menangkap seseorang.
C. 3. Kendala Implementasi Hak Sipil dan Politik di Indonesia
a. Penegakan Hukum
Aparatur penegak hukum belum melaksanakan tugas dan pokok serta fungsinya secara maksimal.
b. Kelembagaan
- Belum responsifnya lembaga-lembaga negara terhadap tuntutan pemajuan dan penegakan HAM. Padahal tanggung jawab utama ada di pundak mereka;
- Belum sinerginya antara lembaga-lembaga negara dalam mengimplementasian hak sipil dan politik beserta pelaporannya kepada Dewan HAM PBB;
- Tidak fokusnya program-program HAM pemerintah dan terkadang hanya bersifat administratif.
c. Pemahaman (mindset) Aparatur Negara
Belum meratanya dan mendalamnya wawasanya dan pengetahuan aparatur negara terhadap instrumen-instrumen HAM nasional maupun internasional, dimana HAM masih dianggap ‘barang asing’.
d. Pengkebirian UU HAM Nasional
Tidak berjalannya norma-norma hukum HAM nasional akibat kurang tegasnya komitmen politik dan moral para penyelenggara negara;
Tidak kooperatifnya orang/kelompok yang diduga pelaku pelanggaran HAM terhadap pengusutan kasus-kasus HAM masa lalu sehingga berdampak pada semakin menguatnya akar impunitas.
e. Anggaran
Tidak tersedianya anggaran yang memadai bagi lembaga-lembaga yang terkait dengan pemajuan HAM. Misalnya keterbatasan anggaran Kepolisian untuk menangani suatu perkara.
D. Penutup
Pemenuhan dan penegakan Hak Sipil dan Politik di Indonesia secara umum dapat dikatakan mulai membaik walaupun disana-sini masih banyak terjadinya pelanggaran. Oleh sebab itu, perlu terus ditingkatkan sosialisasi mengenai hak sipil dan politik kepada aparat penegak hukum agar mereka dalam menjalankan kewenangannya tidak bertindak sewenang-wenang.
No comments:
Post a Comment