Hari Selasa, 9 Desember 2008, saya diundang oleh Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Univesitas Indonesia untuk mendiskusikan masalah hukum yang sedang menimpa beberapa orang mahasiswa di Kampus tersebut. Permasalahan tersebut terkait dengan Pendapat salah seorang mahasiswi terhadap mutu dan pelayanan sebuah rumah sakit swasta di daerah Margonda Depok yang membuat pihak rumah sakit kecewa atas pendapat mahasiswi tersebut.
Awalnya diskusi hendak dilaksanakan di kampus, tetapi dengan alasan waktu akhirnya diadakan di Starbuck Margo City Depok. Diskusi dimulai pukul 18.00 dan diakhiri pukul 20.30 dengan dihadiri sekitar 15 orang mahasiswi FKM UI. Berikut adalah posisi kasus terhadap masalah yang mereka hadapi:
”Pada awalnya adalah adanya salah seorang mahasiswi (sebut saja inisialnya R) yang mendampingi temannya pergi ke sebuah rumah sakit swasta di margonda (sebut saja B). Singkat cerita, pasca kunjungannya ke rumah sakit ini R menuliskan opininya mengenai mutu dan pelayanan rumah sakit B tersebut di kolom opini dari sebuah surat kabar nasional yang cukup punya nama juga. Di dalam opini tersebut dia menceritakan bahwa pada saat R datang membawa temannya ke bagian Unit Gawat Darurat, dia mendapati pelayanan yang tidak sesuai standar manajemen rumah sakit (R mengetahui hal ini karena merupakan mahasiswa yang mengambil jurusan manajemen rumah sakit). Ketidakstandaran tersebut terlihat dari ruang UGD yang terletak di-basement, bercampur dengan tempat parkir mobil, udaranya yang pengap, dan sesampainya disanapun teman R yang sakit pun tidak dilayani dengan segera melainkan disuruh menunggu terlebih dahulu.”
Akibat dari pemuatan opini ini disurat kabar, mahasiswi R dengan ditemani dengan 2 orang temannya diundang pihak manajemen rumah sakit B untuk mendiskusikan masalah opini ini. Awalnya dijanjikan hanya bertemu pimpinan RS saja, namun pada kenyataannya ketiga orang mahasiswi dikelilingi puluhan orang dari pihak rumah sakit, yang terdiri dari Dokter-dokter senior, administrasi, perawat, pimpinan rumah sakit. Menurut pengakuan para mahasiswi di dalam pertemuan ini mereka mendapat beberapa intimidasi yang menurut mereka tidak wajar. Mereka diancam akan dilaporkan kepada pihak Kepolisian atas tuduhan PENCEMARAN NAMA BAIK. Atas dasar ancaman itulah mereka bermaksud mendiskusikan masalah ini dengan saya.
Analisis Hukum Singkat terhadap masalah ini:
Permasalahan yang sedang menimpa para mahasiswi hampir mirip dengan salah seorang penghuni perumahan Rumah susun yang kecewa terhadap manajemennya dan dimuat di sebuah surat kabar. Orang ini juga dituduh pencemaran nama baik dan oleh pihak Polisi diproses hukum dan dijadikan tersangka namun kasus ini tidak pernah sampai ke pemeriksaan pengadilan. ANEH!!!. Ada 4 dimensi hukum yang coba dikaitkan dengan masalah ini, yakni 1) masalah hak asasi manusia yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM; 2) masalah Pers yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers; 3) masalah perlindungan konsumen yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; dan 4) Pasal 310 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik.
A. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
Kritik dari mahasiswi R terhadap mutu dan pelayanan rumah sakit R adalah bagian dari haknya sebagai warga negara untuk berpendapat dan berekspresi. Pasal 4 menyebutkan hak ini sebagai hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights), yang lebih jelasnya disebutkan sebagai berikut: ”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak bebasan beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
B. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
Karena pendapat mahasiswi R tersebut dimuat dalam media Pers tentu hal ini menjadi terkait dengan UU Pers. Pasal 2 menyebutkan bahwa Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Salah satu Peran Pers Nasional adalah melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (Pasal 6 huruf d). Setiap orang atau sekelompok orang yang merasa keberatan dengan dengan pemberitaan Pers dapat menggunakan hak jawabnya. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 1 angka 11). Dalam kasus delik Pers yang dihubungkan dengan dugaan pencemaran nama baik, maka pada umumnya UU Pers bersifat Lex Specialis dari KUHP. Ada beberapa putusan pengadilan yang setuju dengan doktrin ini dan juga beberapa hukum pidana, diantaranya adalah DR Rudi Satriyo (FHUI). Walaupun demikian, ketentuan ini belumlah menjadi suatu yurisprudensi dan dapat dijadikan patokan dalam memutus jenis perkara ini karena alasan sistem hukum Indonesia dan pemikiran hakim yang memeriksa.
C. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Posisi R dan temannya dalam permasalahannya adalah sebagai konsumen yang memakai jasa pelayanan rumah sakit B. Selaku konsumen, R, berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa yang digunakan (Pasal 4 huruf d). Dan selaku Pelaku Usaha, rumah sakit B, berkewajiban untuk menjamin mutu jasa yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu jasa yang berlaku (Pasal 7 huruf d).
D. Pasal 310 KUHP
- ayat (1) menyebutkan bahwa: ”Barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-”;
- ayat (2) menyebutkan bahwa: ”Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-”
- ayat (3) menyebutkan bahwa: ”Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri”.
E. Fakta Hukum
Dari alat bukti yang ada berupa guntingan koran opini mahasiswi R dikoran tersebut ditambah dengan kesaksian yang ada, maka saya tidak setuju jika permasalahan ini dibawa ke ranah pidana. Alasannya adalah:
- dalam pemuatan opini tersebut, mahasiswi secara jelas tidak menggambarkan secara jelas nama rumah sakit tersebut, hanya inisialnya aja berikut dengan petugas-petugas rumah sakit tersebut juga hanya disebutkan inisialnya saja;
- apa yang digambarkan dalam opini tersebut lebih kepada kekecewaan mahasiswi R selaku konsumen yang tidak mendapatkan pelayanan yang baik dari pihak rumah sakit selaku pelaku usaha;
- Niat baik untuk mencemarkan baik rumah sakit B tidak ada. Sebab jika mahasiswi R berniat maka ia tidak akan mencantumkan nama dan alamat lengkapnya di kolom opini tersebut;
- Apa yang dilakukan mahasiswi R adalah lebih kepada haknya selaku warga negara dan juga konsumen untuk melakukan atau memperjuangkan sesuatu yang memang telah menjadi haknya tanpa bermaksud melanggar hak pihak lain juga dan juga untuk menjadi perhatian serta kepentingan umum;
- Dikarenakan pemuatan opini tersebut menggunakan media pers, maka seharusnya jika pihak rumah sakit tidak puas akan pemberitaan tersebut, yang seharusnya dilakukan adalah dengan menggunakan hak jawab terkait opini tersebut.
Demikian resume pendapat saya. terima kasih.
No comments:
Post a Comment